Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Merayakan Sketsa

Garis tak hanya digoreskan di kertas, tapi juga di medium yang beragam.

11 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Karya seni sketsa pada acara Festival Sketsa Indonesia yang bertajuk "SKETSAFORIA URBAN" di Galeri Nasional, Jakarta, Kamis, 12 September 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua tumpukan kardus setinggi hampir 3 meter diletakkan di ujung ruangan Gedung A, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Kardus itu bukan sembarang kardus. Di medium itulah KaNa, perempuan perupa, menggoreskan tinta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sketsa pemandangan keseharian di dekat rumahnya, di Pasar Mayestik, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, menjadi obyek yang digoreskan di kardus itu. Ada pojok halaman masjid, jalan menuju pasar, serta pemandangan di depan pasar swalayan lawas, lengkap dengan lapak-lapak dan papan toko. Tak ketinggalan deretan pedagang kaki lima yang memenuhi emperan toko.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KaNa tak menggunakan kertas biasa untuk membuat sketsa pemandangan yang ditemuinya. Ia memanfaatkan kardus-kardus bekas yang sering ia temui ketika pergi ke pasar. "Kadang tinggal jalan, banyak kardus di pasar, saya pungut, dan saya langsung menyeket,” ujar KaNa, ketika ditemui di sela tur media pada Kamis, 12 September lalu.

Perupa lain, Iqbal Amirddha, yang kerap melaju dengan kereta listrik, selalu menggoreskan pena atau pulpennya ketika punya kesempatan membuat sketsa di kereta. Ada saja obyek yang dia gambar di buku note yang selalu dibawanya. Lihat saja seorang laki-laki berkacamata dengan masker buff kotak yang menutup rapat wajahnya. Kepala lelaki itu terkulai, lelap dalam tidurnya. Atau seorang lelaki tua yang tertunduk tidur dalam posisi duduknya dan sketsa penumpang yang berdesakan berdiri di kereta. Obyek-obyek itulah yang ditemuinya dalam perjalanan.

Ada pula Aryo Sunaryo dan X-Ling, yang membuat sketsa sudut-sudut kota tua di Semarang, termasuk gedung Lawang Sewu di depan Monumen Tugu Muda Semarang. Sementara itu, Yulianto Qin membuat sketsa suasana Pasar Pringgan di Medan, Sumatera Utara. I Gede Wira Sena memotret sebuah bangunan sudut Kota Yogyakarta atau bangunan-bangunan lawas yang eksotik.

Karya-karya mereka merupakan bagian dari karya puluhan sketcher dan belasan komunitas sketsa dari berbagai kota di dalam dan luar negeri yang ikut meramaikan pameran Festival Sketsa Nasional bertajuk "Sketsaforia Urban”. Pesta sketsa itu diadakan di Galeri Nasional Indonesia pada 12 September-12 Oktober 2019. Para pelaku dan pecinta sketsa merayakan garis dan spontanitas dalam goresan pena di kertas atau medium sketsanya.

Karya para sketcher dipasang di Gedung A, B, C, dan D. Sketsa-sketsa di Gedung A merupakan karya para seniman yang diundang kurator. Sedangkan sketsa di gedung lain dipilih dari para sketcher dari seluruh Indonesia, ratusan anggota komunitas, atau pencinta sketsa yang mendaftar.

Umumnya, penonton akan melihat garis-garis spontan dalam lukisan gedung, situasi sebuah tempat, atau momen kegiatan manusia. Sketsa tersebut umumnya muncul dari para arsitek, desainer grafis, dan para sketcher. Namun jangan heran jika Anda menemukan sebuah goresan cat air yang membentuk layaknya tubuh seseorang, seperti milik Ugo Untoro, atau goresan abstrak dengan warna milik Dzikkra Affifah, juga goresan milik Hanafi. "Sketsa yang seperti ini sudah masuk sketsa akademik,” ujar Bambang Bujono, salah seorang kurator pameran.

Hal lain yang juga menarik dalam pameran ini adalah sketsa para maestro dan seniman lama, seperti Srihadi Soedarsono, S. Sudjojono, Henk Ngantung, dan Rusli. Karya-karya mereka memperlihatkan bahwa sketsa bukan hal baru dalam ranah seni Indonesia. "Sketsa juga merupakan bagian dari sejarah seni rupa Indonesia, tidak tiba-tiba muncul atau menjadi tren. Tapi memang sudah ada sejak dulu,” ujar Beng Rahadian, kurator lainnya.

Hal ini dibuktikan dengan sketsa yang dibuat di sanggar-sanggar seni rupa di Keimin Bunka Sidhoso saat pendudukan Jepang dan ramai dipublikasikan di majalah kebudayaan pada era 1950-1960-an.

Tak hanya dalam medium kertas, kanvas, dan kardus, sketsa juga bisa dinikmati pada karya-karya instalasi para seniman. Mereka menorehkan tinta Cina membentuk sketsa pada pecahan genting, seperti karya Annissa Fadillah dengan karya berjudul Grogol!!. Sketsa baju sekolah yang dilapis dengan akrilik itu membentuk instalasi yang mengkritik pendidikan.

Lihat pula sketsa yang memperlihatkan gambaran kumuhnya Kali Ciliwung dengan cara tak biasa karya Asmoadji berjudul Rumah Pinggir Kali. Karya sketsa Asmoadji dipotong dan ditempelkan pada bilah-bilah kayu. Untuk menikmatinya pun butuh perhatian ekstra, sehingga menggiring persepsi pada karya tiga dimensi. DIAN YULIASTUTI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus