Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Metamorfosis Gregor Samsa

Stock Teater mementaskan Metamorfosis, adaptasi dari novel karya Franz Kafka yang suram dan kelam, menjadi ringan.

7 April 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gregor Samsa menemukan keganjilan ketika bangun tidur pada sebuah pagi yang cerah. Dia mendapati dirinya telah berubah menjadi seekor kecoa raksasa. Dia berusaha bangun dari ranjang, tapi badannya sulit digerakkan. Tangan dan kakinya berubah menjadi banyak dan lebih panjang.

Semula Gregor mengira dia sedang bermimpi. Tapi jelas-jelas dia mendengar Samsa, ayahnya, yang tengah menonton televisi dan ibunya serta sang kakak, Grete. Gregor berusaha menghibur diri bahwa itu hanya mimpi buruk, karena terlalu capek bekerja keliling menjajakan sepatu dagangannya. Hingga akhirnya dia menyadari apa yang menimpanya bukanlah mimpi. "Tuhan..., apa yang terjadi?" teriak Gregor sambil menangis.

Perubahan Gregor Samsa itu-diperankan Ramadhan al-Rasyid-menjadi salah satu babak pementasan Stock Teater membawakan lakon Metamorfosis di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat dan Sabtu dua pekan lalu. Kelompok teater dari Jakarta itu mementaskan lakon yang diadaptasi dari novel karya sastrawan Cek, Franz Kafka, berjudul Metamorfosis. Pentas itu merupakan adaptasi bebas dari karya Kafka. Di panggung, pemeran Gregor mengenakan kostum seperti serangga, melenguh di kamar, hilir-mudik di ruang tamu.

Novel Kafka itu pertama kali diterbitkan pada 1915 dengan judul Die Verwandlung. Dalam novelnya, Kafka menceritakan ihwal perubahan pemuda penjual kain keliling menjadi seekor serangga raksasa yang memenuhi ruangan. Ibunya pingsan mengetahui ada makhluk tersebut, sedangkan ayahnya berusaha menyingkirkannya. Grete, sang kakak, mencoba merawat adiknya dengan memberi makan dan minum. Hidup keluarga ini bertambah susah karena Gregor tak bisa lagi bekerja.

Sutradara Stock Teater, Totos Rasiti, menghadirkan suasana interior rumah kumuh di gang-gang sempit Jakarta. Set menampilkan dua kamar sekatan, satu ruang tamu dengan sebuah televisi tabung lawas. Gregor, sebelum menjadi binatang, sehari-hari bekerja sebagai penjual sepatu Adidas tapi kualitas KW. Hidup ibu Gregor (Sri Handini) dan ayahnya (Faisal Aidid) yang pemalas bergantung pada Gregor. Agar dekat dengan kesumpekan Jakarta, Totos menampilkan sorotan video yang menggambarkan Gregor sedang berdesakan di kereta listrik Jabodetabek.

Namun, sedari detik pertama, suasana menekan, suram, dan mengerikan, yang menjadi spirit novel Kafka, tak menguasai panggung. Kemunculan awal serangga itu juga tak mengguncang. Malah bisa mengingatkan kita bahwa cerita tentang manusia yang berubah menjadi binatang, apakah itu yuyu, katak, ikan, atau kupu-kupu, sudah sangat lazim dalam dongeng tradisional kita.

Dalam novel Kafka, sang serangga tubuhnya sangat besar sehingga memenuhi ruangan. Bisa dibayangkan bila ini diwujudkan secara visual di panggung, tentunya akan menciptakan dramaturgi yang lain. Tapi Totos tampaknya menghindari penggambaran serangga yang membuat eksplorasi dan blocking ruang berbeda. Skenografinya tak mengejutkan. Ia memilih pendekatan "realis". Struktur adegan juga lurus-lurus saja.

Totos mewujudkan sosok Gregor dalam seekor kecoa seukuran manusia yang masih lincah melompat ke sana-kemari. Kita tiba-tiba menyaksikan ada sebuah keluarga yang anaknya berubah menjadi makhluk aneh. Ketika kecoa itu naik ke meja makan berusaha mendekat ke keluarganya, mereka malah lari menabrak barang di sana-sini. Beberapa penonton tertawa menyaksikan adegan ini. Kecoa raksasa itu menjadi "komedi". Atmosfer tragis, panik akibat perubahan psikologi keluarga yang bahagia menjadi keluarga tercabik-cabik setelah metamorfosis sang anak, kurang mewujud secara kental di panggung.

Sesungguhnya puncak tekanan jiwa keluarga itu terjadi pada keputusan pembunuhan Gregor. Grete, yang pandai menggesek cello (dimainkan pemusik Arini), pada awalnya merawat adiknya dengan kasih sayang. Tapi sang kakak pun lama-lama bosan mengurus serangga. Hingga suatu ketika Grete bermaksud menyingkirkan adiknya. Gregor si serangga dijerat lehernya. Namun adegan ini sama sekali tak menggedor, hanya seperti sebuah konsekuensi dari kekesalan biasa. Bagaimanapun, Stock Teater telah berusaha mengangkat naskah berat Kafka menjadi encer. Upaya Totos mengadaptasi serangga Kafka menjadi potret kekerasan hidup warga kecil Jabotabek merupakan nilai lebih pentas ini.

Dian Yuliastuti, Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus