Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kostum Jadi-jadian Mella

Galeri Nadi memamerkan "retropeksi" kostum-kostum aneh bikinan Mella Jaarsma. Bahannya dari gunting sampai kulit buaya.

7 April 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"The senses cheat you day and night"
"The sleep of reason produces monsters"
"The senses cheat you day and night"
"The sleep of reason produces monsters"

Lelaki itu mengenakan gaun bertulisan kalimat-kalimat di atas. Kalimat pertama adalah perkataan seorang spiritualis India, Swami Vivekananda. Sedangkan yang kedua diambil dari judul lukisan karya pelukis Spanyol, Francisco Goya. Gaun itu adalah karya Mella Jaarsma yang dirangkai dari puluhan kain hitam selebar ruas jari. Kalimat di atas dibordir di sekujur gaun.

Laki-laki bergaun itu memegang gunting raksasa. Snap.… Tiba-tiba ia memotong udara menggunakan gunting yang digenggamnya dengan dua tangan, yang mengejutkan semua orang di ruang pameran. "Gunting itu jadi simbol memotong waktu," ujar Mella pada 27 Maret lalu. "Kita punya kebebasan untuk memotong waktu kalau dirasa berjalan terlalu cepat."

Mella memberi judul gaun jadi-jadian itu Potong Waktu. Susah memaknakan judul Potong Waktu itu dengan karya gaun yang disodorkan. Yang jelas, Mella membuat empat kostum lain. Semuanya masih dengan judul Potong Waktu. Ada dua kolor dari kulit berwarna putih dengan sarung gunting yang sengaja ditempatkan di depan bagian kelamin, satu rok kulit dengan tank top yang terbuat dari gunting dan rantai, pasangan rok hitam yang terbuat dari gunting dan rantai, serta beha kulit dengan gunting pemotong bunga untuk menutupi payudara.

Di sudut tembok lain, ada karya berjudul Lubang Buaya. Wujudnya menyeramkan. Dua buaya dua meter nemplok di dinding. Buaya itu tak punya kepala. Yang ada justru tubuh manusia yang menyelipkan kepalanya ke dalam rahang si buaya. Seperti tudung kepala berukuran jumbo. Meski tak menutupi seluruh badan, karya yang dibuat dari kulit buaya Kalimantan Timur itu disebut sebagai kostum juga.

Tepat di belakang dua buaya itu ada karya berjudul High Tea. Ia terdiri atas teko dan meja bertaplak gambar serba-serbi teh. Seseorang yang mengenakan celemek bergambar aneka bungkus teh menawarkan tuangan teko kepada siapa saja. "Teh yang halus, yang bagus, selalu diimpor. Sedangkan bangsa sendiri mendapat teh yang kasar," kata Mella. Melalui karya ini, ia ingin mengangkat persoalan hubungan hierarkis antara bangsa Indonesia dan Belanda. Tapi, melihat karya ini, kita akan kesulitan menangkap apa yang dimaksud Mella. Butuh penjelasan lebih dulu untuk memahami kira-kira yang diinginkan Mella.

Potong Waktu, Lubang Buaya, dan High Tea adalah karya terbaru Mella yang dibikin pada 2014. Membuat kostum bukan hal baru bagi perempuan kelahiran Emmeloord, Belanda, ini. Ia melakukannya sejak 1998. Yang baru adalah soal materi kostum. Baru kali ini Mella menggunakan kulit buaya dan gunting sebagai materi karyanya. Dalam berkarya, ia tak bergantung pada penguasaan terhadap materi, tapi ide yang berseliweran di kepalanya. "Yang penting itu idenya," ujarnya.

Pameran yang digelar di Galeri Nadi, Jakarta Barat, itu bertajuk Potong Waktu. Pameran berlangsung hingga 17 April mendatang. Ini pameran pertama Mella pada 2014. Kurator Enin Supriyanto sengaja memilih karya-karya Mella lima tahun terakhir. Dia ingin menunjukkan kreativitas Mella dalam membuat kostum. "Materi yang digunakan selalu berganti-ganti," kata Enin.

Untuk menunjukkan ragam materi yang digunakan Mella, karya-karya lama ikut dipamerkan juga, seperti This Shirt Fits Us All (2009), Communicating with the Forces I-II (2010), Animals Have No Religion (2011), dan How Human (2012). "Kostum memang selalu jadi tema utama karya Mella," ujar Enin. "Tapi yang menarik dilihat adalah materi kostum yang macam-macam."

Dalam kurun empat bulan terakhir saja kita bisa melihat berbagai materi digunakan Mella. Dari kulit buaya, loncat ke teh, loncat lagi ke gunting, sampai rantai. Jika dibandingkan dengan karya-karya tahun sebelumnya, bisa dilihat lompatan yang lebih acak lagi. Dalam Communicating with the Forces I, misalnya, Mella menggunakan baju dari ritsleting-ritsleting yang dijahit menjadi satu digabung dengan topeng Asmat yang mirip kepala buaya. Atau, pada Animals Have No Religion I, Mella menggunakan akar-akar bahar berwarna hitam serta antena televisi yang dirangkai jadi tameng penutup tubuh.

Benang merah karya Mella, kata Enin, terletak pada isu yang dikandung tiap kostum. Pada 1998, Mella membuat kostum dari kulit kodok sebagai respons terhadap kekerasan berbau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang terjadi di Indonesia pada pengujung masa Orde Baru. Sekarang yang serupa muncul lagi sebagai respons terhadap kejadian pembantaian jenderal-jenderal pada masa menjelang lahirnya Orde Baru. "Ada muatan sejarah di dalamnya," ucap Enin.

Mella juga mengangkat tema hubungan manusia dengan alam melalui karya-karyanya. Dalam This Shirt Fits Us All, misalnya, ia membuat tas kain bermodel token-tas kantong khas Papua yang digantungkan di jidat. Tas itu bergambar foto-foto orang Asmat dari Papua. Tas-tas tersebut kemudian dikenakan para model cantik bersepatu hak tinggi yang kemudian berjalan hilir-mudik. Mella agaknya ingin membuat semacam ironi.

Simaklah karya Communicating with the Forces. Di sini Mella lebih "iseng" lagi. Ia menggabungkan topeng buaya orang Asmat dengan jubah berbahan ritsleting. "Ritsleting baru ada di pakaian modern. Fungsinya agar pakaian bisa dibuka dan ditutup dengan mudah. Anda di sini juga bisa memilih keluar atau masuk ke kostum dengan mudah," kata Mella. Ya, inilah kostum-kostum ala Mella yang tentu saja tidak ready to wear. Di balik kostum ini, ia berpretensi membicarakan antara lain benturan peradaban, kritik politik, dan isu SARA. Meski kadang orang kesulitan jika langsung mengasosiasikannya ke sana.

Ananda Badudu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus