TWILIGHT'S LAST GLEAMING
Cerita: Walter Wager
Skenario: Ronald M. Cohen & Edward Huebsch
Sutradara: Fobert Aldrich.
MULANYA adalah novel laris Walter Wager. Dengan judul Viper
Three. Walter berkisah tentang kepanikan yang melanda pusat
pemerintahan Amerika Serikat, tatkala sebuah kelompok kecil
berhasil menguasai suatu pusat peluncuran roket antar benua yang
berkepala nuklir. Kelompok tersebut mengancam akan meluncurkan
roket-roket maut itu -- sasarannya adalah pusat-pusat industri
Uni Soviet -- kecuali jika Presiden Amerika memberi mereka
jutaan dolar serta jaminan keluar dari Amerika dengan selamat.
Untuk yang terakhir ini, Presiden sendiri yang akan dan harus
jadi sanderanya.
"Kisah itu merupakan cerita achon yang bagus, tapi saya tidak
mau memfilmkannya seperti itu. Di situ saya melihat satu
kesempatan untuk melakukan perubahan ke arah suatu bentuk yang
punya arti penting bagi Amerika." Begitu komentar Sutradara
Robert Aldrich. Perubahan memang ia lakukan. Pada versi Aldrich,
kelompok kecil itu masih tetap mengambil alih pusat peluncuran,
meminta sejumlah uang, dan Presiden harus jadi sandera.
Tambahannya: yang memimpin kelompok adalah seorang bekas
jenderal, yang menuntut agar Presiden mengungkapkan sebuah
rahasia yang menyangkut keterlibatan militer Amerika di Asia
Tenggara.
Dengan perubahan yang dilakukannya, Aldrich dengan yakin
berkata: "Film saya ini bukan sebuah kisah teroris, sebagai yang
banyak dibuat orang sekarang ini. Ini sebuah film tentang
kebenaran dalam menjalankan pemerintahan, suatu hal yang makin
banyak ingin diketahui rakyat." Dan dalam film ini, ternyata
"kebenaran" dalam bentuk dokumen rahasia itu, terlambat
diketahui bahkan oleh Presiden sendiri. Dalam saat kritis,
ketika sang presiden harus mengumumkan putusannya di depan para
pembantu dekatnya, setengah berteriak ia berkata: "Bagaimana
saya harus bertanggungjawab terhadap apa yang diputuskan
pemerintah sebelumnya?"
Cerita bermain tahun 1981. Ketika itu presiden Amerika adalah
David T. Stevens (Charles Durning). Lewat dialog para pemain
diketahui bahwa perang Vietnam masih merupakan trauma yang
menghantui bangsa Amerika saat itu. Lawrence Dell (Burt
Lancaster) adalah veteran Vietnam yang pernah dipenjarakan
secara tak semena-mena karena fikiran-fikiran liberalnya. Bahkan
ketika masih menjadi tentara, Dell terus-menerus mengirimkan
memo --menceritakan keadaan sebenarnya di medan perang serta
sejumlah saran kepada pemerintah -- yang selalu disabot
atasannya, Jenderal MacKenzie (Richard Widmark). Maka di samping
masalah prinsipil, antara Dell yang veteran dan MacKenzie yang
Panglima Angkatan Udara juga ada permusuhan pribadi. Dua masalah
itu dengan rapi dan halus terjalin erat dalam sebuah karya yang
skenarionya ditulis bersama oleh Ronald M. Cohen dan Edward
Huebsch.
Presiden Stevens terkejut. Dan pembantunya -- yang juga bekerja
untuk pemerintahan sebelumnya -- tenang, dingin dan penuh
keyakianan memberi penjelasan. "Keputusan militer itu dulu
diambil untuk membuktikan kepada Rusia bahwa kita bisa bertindak
melewati batas-batas prikemanusiaan," kata salah seorang dalam
ruangan itu. Presiden Stevens bertekad mengakhiri cara
pemerintahan yang bersifat rahasia yang mengandung risiko
menumpahkan darah banyak anak manusia itu. Berhasilkah dia?
Ke Gedung Putih
Pertanyaan itulah rupanya yang menjadi tema utama film ini.
Dibuat pada masa pemerintahan Nixon (dengan cara memerintah
penuh kerahasiaan lewat diplomasi Kissinger) baru saja berakhir,
film ini jelas suatu kritik terhadap pemerintahan yang
dijalankan dengan tertutup. Ada semangat Daniel Elsberg -- orang
yang membocorkan dokumen Pentagon mengenai perang Vietnam -- di
sini. Tapi sekaligus, Aldrich -- dikenal di Indonesia lewat The
Dirt Dozens melalui karyanya yang satu ini mengecam habis kaum
militer Amerika yang selalu mendesakkan jalan fikirannya ke
Gedung Putih.
Lalu ada sesuatu yang menyentuh. Di Amerika, negara besar yang
makin jelimet administrasi dan sistim pengambilan keputusannya
itu, hasrat untuk betul-betul terbuka dan jujur tetap hidup dan
menyala. Tapi kehendak baik itu nampaknya harus menyadari suatu
kenyataan yang barangkali memang tidak bisa tidak, telah dan
harus menjadi komponen tak terpisahkan dari suatu pemerintahan
negeri yang besar itu. Sutradara Aldrich, setelah secara
berapi-api menyerang pemerintahan tertutup dandominasi kaum
militer, di akhir cerita tidak bisa berbuat lain kecuali
mematikan Dell.
Di tengah gegap-gempitanya MacKenzie memberi perintah "tembak",
para penonton tidak perlu lagi tahu nasib Presiden yang menjadi
sandera. Di sini yang menang adalah Jenderal MacKenie. Di luar
pengetahuan Presiden yang juga panglima tertinggi -- ia
mempunyai rencana lain terhadap Dell.
Sebuah film dengan sebuah problem yang serius? Bisa dilihat
demikian. Aldrich, yang terkenal dalam menangani film-film
tegang macam ini, kali inipun berhasil mengkombinasikan
bintang-bintang besar Widmark dan Lancaster. Pemunculan -- dalam
posisi yang berlawanan -- kedua bintang besar ini mengingatkan
kita kembali pada pemunculan mereka yang sama dan bersama pada
film Judgement At Nuremberg hampir 20 tahun lalu.
Salim Said
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini