Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Karol Dan Sepatu Sang Nelayan

Terpilihnya kardinal Karol Wojtyla sebagai paus mengejuntukan, mengingat negeri asalnya yang sosialis. Hubungan pemerintah dan gereja katolik di Polandia membaik meskipun banyak masalah yang dihadapi.(ag)

28 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EX oriente lux. Cahaya dari timur. Begitulah semboyan yang terpampang di lambang kepausan Kiril I, tokoh paus dari Eropa Timur yang pertama (imajiner) dalam novel Morris L. West, The Shoes of the Fisherman. Empat belas tahun sesudah buku tersebut terbit, ramalan novelis Katolik yang banyak tahu seluk-beluk kepausan itu menjadi kenyataan. Paus pertama dari Eropa Timur terpilih, 9 Oktober lalu. Seperti yang dibayangkan Morris West, orangnya tergolong sangat muda untuk memangku jabatan tertinggi itu - 58 tahun. Hanya saja Kardinal Karol Wojtyla yang orang Polandia tentu saja bukan berasal dari Ukrainia, Uni Soviet. Juga bukan Kiril Lakota yang "masih asing di Roma", malah "baru ke luar dari penjara Siberia." Paus baru yang memilih nama Johannes Paulus II ini sudah sering menghadap Tahta Suci mendampingi Ketua Majelis Agung Wali gereja Polandia, Kardinal Wyszynski. Ia, yang adalah Uskup Agung Krakow dan orang kedua dalam Gereja Katolik Polandia, juga belum pernah dipenjara. Malah di negerinya, di mana 33 juta dari 35 juta penduduknya tercatat sebagai pemeluk Katolik Roma, Gereja Katolik cukup disegani pemerintah Partai Buruh yang dipimpin Edward Gierek. Toh pilihan ke-III kardinal dalam konklaf tiga hari dua malam itu cukup mengejutkan -- tentu saja. Selama 4« abad terakhir ini kedudukan tertinggi Gereja Katolik dipegang oleh tokoh-tokoh Italia. Juga, kenyataan bahwa yang terpilih berasal dari suatu negara komunis, yang masih termasuk dalam radius pengaruh Kremlin dan malah merupakan markas blok pertahanan Pakta Warsawa, besar artinya. Hingga ada yang menulis dalam koran Inggeris The International Herald Tribune: "Reaksi para penguasa Polandia terhadap pemilihan Kardinal Wojtyla, boleh jadi sama dengan reaksi Leonid Brezhnev seandainya Alexander Solzhenitsyn terpilih menjadi Sekjen PBB." Mungkin agak dilebih-lebihkan. Sebab tanggapan terbuka pemerintah Polandia terdengar cukup simpatik. Sekjen Partai Buruh Edward Gierek dan P.M. Piotr Jaroszewicz mengirimkan kawat ucapan selamat. Sedang Kazimierz Kakol, Direktur Urusan Agama-Agama, setingkat menteri, menyatakan pemilihan itu "memuaskan ambisi dan kebanggaan nasional kami" -- meskipun dia menambahkan bahwa tak dengan sendirinya "masalah-masalah yang ada" antara Pemerintah dan Gereja Katolik di Polandia terselesaikan. Sensor Pers Walau hubungan antara Gereja dan Negara di Polandia semakin membaik sejak Gierek memimpin Partai Buruh, kerikil-kerikil pengganjal memang banyak. Dua mmggu sebelum berangkat ke Roma, Kardinal Wojtyla dalam surat kegembalaannya kepada para uskup se-Polandia kembali menuntut penghapusan sensor pers -- dan seruan Wakil Ketua Majelis Agung Wali gereja Polandia itu disiarkan terbuka. Sementara tahun lalu, seruan serupa lewat mimbar gerejanya di Krakow ibukota lama Polandia, masih disebarluaskan lewat majalah bawah tanah Opinia. Tahun 1976-1977 itu memang masa-masa krisis buat seluruh negeri. Juga dalam hubungan Gereja dan Negara. Juni 1976, harga bahan pokok dinaikkan secara drastis. Meletus keresahan sosial di kota-kota Radom dan Plock. Buruh pabrik raksasa Ursus di Warsawa bergolak. Gereja bersuara membela kepentingan buruh serta rakyat kecil. Keresahan agak mengendor setelah di penghujung 1976 itu pemerintah mengumumkan kenaikan anggaran pembangunan pertanian, perumahan dan barang-barang konsumsi yang tadinya dianaktirikan demi penggalakan industri barang ekspor. Namun menjelang pertengahan 1977 Gereja tampil lagi. Bulan Mei uskup-uskup Kattowitz mendesak Gierek untuk menghapuskan wajib kerja di hari Minggu bagi buruh tambang. Penguasa bereaksi justru dengan merampas sumber keuangan kelompok katolik-liberal Znak di Parlemen. Kelompok minoritas itu, yang di lual parlemen didukung oleh sekitar 2000 rohaniwan dan cendekiawan, dan memiliki satu media massa bernama wiez yang punya oplah 5000 eksemplar, kegiatan politiknya sebagian besar dibiayai oleh sekerumun perusahaan listrik dan kimia, Libella. yang berstatus setengah swasta. Ketika oposisi orang Katolik dirasa tambah santer, Libella diambil-alih dan diserahkan kepada satu kelompok cendekiawan Katolik pro-pemerintah. Karol Wojryla sendiri tampaknya lebih berkiblat ke bawah. Ketika sejumlah cendekiawan dan mahasiswa dikejar-kejar dan diadili di Polandia, 1968, Uskup Agung Krakow itu segera tampil. Juga buruh-buruh yang diadili lantaran mogok massal di bulan Juni 1976 dibela oleh anak buruh pabrik kelahiran Wadowice itu. Dan paling akhir ia bersuara untuk kepentingan petani -- basis tradisionil Gereja Katolik di Polandia -- ketika orang-orang desa itu dirugikan oleh keputusan para politikus urban di Warsawa. Pluralisme Politik Kendati demikian, ke luar negeri pemerintah Polandia tak mau mencerminkan adanya konfrontasi. Terbukti sesudah kunjungan Dubes Keliling Vatikan, Mgr. Poggi, 'Menteri Agama' Polandia Kazimierz Kakol dalam suatu konperensi pers menyatakan "tak ada konflik antara Gereja dan Pemerintah di Polandia". Hanya saja, untuk menuju normalisasi total ada satu syarat pokok: Gereja dalam segala kegiatannya, sampai dengan pengajaran agama, harus mengakui "watak sosialistis" Republik Polandia. Mungkin inilah yang menjadi kerikil utama. Sebab seperti di semua negara sosialis, ideologi negara identik dengan hegemoni pemerintahan partai buruh, partai pekerja, partai komunis atau apa namanya. Padahal seperti dikemukakan Kardinal Wyszynski ketika menolak rancangan konstitusi baru Polandia, awal 1976, Gereja menghendaki "pluralisme politik" di negeri itu dan menolak pemaksaan suatu ideologi negara. Juga kebebasan individu harus terjamin dalam konstitusi baru. Tentu saja jalan rekonsiliasi masih panjang. Meskipun perlu juga dicatat bahwa Gierek-lah pemimpin komunis pertama yang pergi ke Roma dan beraudiensi denganPaus PaulusVI, 1 Desember 1977. Waktu itu Kardinal Wyszynski maupun Kardinal Wojtyla, yang kini Paus, hadir. Bahkan pada misa kudus untuk pelantikan paus baru di alun-alun Santo Petrus, Vatikan, dari Polandia hadir tak kurang dari Presiden Henryk Jablonski. Keesokan harinya Jablonski beraudiensi pula dengan Paus bersama para pemimpin luar negeri lainnya. Dan Johannes Paulus II sendiri sudah dipastikan tahun depan akan berkunjung ke Polandia-kunjungan pertama seorang paus ke sebuah negara komunis. Benarkah warga sebuah negara berhaluan komunis dengan sendirinya meninggalkan agama? Atau bahwa komunisme selalu sukses menghadapi agama?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus