EX oriente lux. Cahaya dari timur. Begitulah semboyan yang
terpampang di lambang kepausan Kiril I, tokoh paus dari Eropa
Timur yang pertama (imajiner) dalam novel Morris L. West, The
Shoes of the Fisherman.
Empat belas tahun sesudah buku tersebut terbit, ramalan novelis
Katolik yang banyak tahu seluk-beluk kepausan itu menjadi
kenyataan. Paus pertama dari Eropa Timur terpilih, 9 Oktober
lalu. Seperti yang dibayangkan Morris West, orangnya tergolong
sangat muda untuk memangku jabatan tertinggi itu - 58 tahun.
Hanya saja Kardinal Karol Wojtyla yang orang Polandia tentu saja
bukan berasal dari Ukrainia, Uni Soviet. Juga bukan Kiril Lakota
yang "masih asing di Roma", malah "baru ke luar dari penjara
Siberia." Paus baru yang memilih nama Johannes Paulus II ini
sudah sering menghadap Tahta Suci mendampingi Ketua Majelis
Agung Wali gereja Polandia, Kardinal Wyszynski. Ia, yang adalah
Uskup Agung Krakow dan orang kedua dalam Gereja Katolik
Polandia, juga belum pernah dipenjara. Malah di negerinya, di
mana 33 juta dari 35 juta penduduknya tercatat sebagai pemeluk
Katolik Roma, Gereja Katolik cukup disegani pemerintah Partai
Buruh yang dipimpin Edward Gierek.
Toh pilihan ke-III kardinal dalam konklaf tiga hari dua malam
itu cukup mengejutkan -- tentu saja. Selama 4« abad terakhir ini
kedudukan tertinggi Gereja Katolik dipegang oleh tokoh-tokoh
Italia. Juga, kenyataan bahwa yang terpilih berasal dari suatu
negara komunis, yang masih termasuk dalam radius pengaruh
Kremlin dan malah merupakan markas blok pertahanan Pakta
Warsawa, besar artinya. Hingga ada yang menulis dalam koran
Inggeris The International Herald Tribune: "Reaksi para penguasa
Polandia terhadap pemilihan Kardinal Wojtyla, boleh jadi sama
dengan reaksi Leonid Brezhnev seandainya Alexander Solzhenitsyn
terpilih menjadi Sekjen PBB."
Mungkin agak dilebih-lebihkan. Sebab tanggapan terbuka
pemerintah Polandia terdengar cukup simpatik. Sekjen Partai
Buruh Edward Gierek dan P.M. Piotr Jaroszewicz mengirimkan kawat
ucapan selamat. Sedang Kazimierz Kakol, Direktur Urusan
Agama-Agama, setingkat menteri, menyatakan pemilihan itu
"memuaskan ambisi dan kebanggaan nasional kami" -- meskipun dia
menambahkan bahwa tak dengan sendirinya "masalah-masalah yang
ada" antara Pemerintah dan Gereja Katolik di Polandia
terselesaikan.
Sensor Pers
Walau hubungan antara Gereja dan Negara di Polandia semakin
membaik sejak Gierek memimpin Partai Buruh, kerikil-kerikil
pengganjal memang banyak. Dua mmggu sebelum berangkat ke Roma,
Kardinal Wojtyla dalam surat kegembalaannya kepada para uskup
se-Polandia kembali menuntut penghapusan sensor pers -- dan
seruan Wakil Ketua Majelis Agung Wali gereja Polandia itu
disiarkan terbuka. Sementara tahun lalu, seruan serupa lewat
mimbar gerejanya di Krakow ibukota lama Polandia, masih
disebarluaskan lewat majalah bawah tanah Opinia.
Tahun 1976-1977 itu memang masa-masa krisis buat seluruh negeri.
Juga dalam hubungan Gereja dan Negara. Juni 1976, harga bahan
pokok dinaikkan secara drastis. Meletus keresahan sosial di
kota-kota Radom dan Plock. Buruh pabrik raksasa Ursus di Warsawa
bergolak. Gereja bersuara membela kepentingan buruh serta rakyat
kecil. Keresahan agak mengendor setelah di penghujung 1976 itu
pemerintah mengumumkan kenaikan anggaran pembangunan pertanian,
perumahan dan barang-barang konsumsi yang tadinya dianaktirikan
demi penggalakan industri barang ekspor.
Namun menjelang pertengahan 1977 Gereja tampil lagi. Bulan Mei
uskup-uskup Kattowitz mendesak Gierek untuk menghapuskan wajib
kerja di hari Minggu bagi buruh tambang. Penguasa bereaksi
justru dengan merampas sumber keuangan kelompok katolik-liberal
Znak di Parlemen.
Kelompok minoritas itu, yang di lual parlemen didukung oleh
sekitar 2000 rohaniwan dan cendekiawan, dan memiliki satu media
massa bernama wiez yang punya oplah 5000 eksemplar, kegiatan
politiknya sebagian besar dibiayai oleh sekerumun perusahaan
listrik dan kimia, Libella. yang berstatus setengah swasta.
Ketika oposisi orang Katolik dirasa tambah santer, Libella
diambil-alih dan diserahkan kepada satu kelompok cendekiawan
Katolik pro-pemerintah.
Karol Wojryla sendiri tampaknya lebih berkiblat ke bawah. Ketika
sejumlah cendekiawan dan mahasiswa dikejar-kejar dan diadili di
Polandia, 1968, Uskup Agung Krakow itu segera tampil. Juga
buruh-buruh yang diadili lantaran mogok massal di bulan Juni
1976 dibela oleh anak buruh pabrik kelahiran Wadowice itu. Dan
paling akhir ia bersuara untuk kepentingan petani -- basis
tradisionil Gereja Katolik di Polandia -- ketika orang-orang
desa itu dirugikan oleh keputusan para politikus urban di
Warsawa.
Pluralisme Politik
Kendati demikian, ke luar negeri pemerintah Polandia tak mau
mencerminkan adanya konfrontasi. Terbukti sesudah kunjungan
Dubes Keliling Vatikan, Mgr. Poggi, 'Menteri Agama' Polandia
Kazimierz Kakol dalam suatu konperensi pers menyatakan "tak ada
konflik antara Gereja dan Pemerintah di Polandia". Hanya saja,
untuk menuju normalisasi total ada satu syarat pokok: Gereja
dalam segala kegiatannya, sampai dengan pengajaran agama, harus
mengakui "watak sosialistis" Republik Polandia.
Mungkin inilah yang menjadi kerikil utama. Sebab seperti di
semua negara sosialis, ideologi negara identik dengan hegemoni
pemerintahan partai buruh, partai pekerja, partai komunis atau
apa namanya. Padahal seperti dikemukakan Kardinal Wyszynski
ketika menolak rancangan konstitusi baru Polandia, awal 1976,
Gereja menghendaki "pluralisme politik" di negeri itu dan
menolak pemaksaan suatu ideologi negara. Juga kebebasan individu
harus terjamin dalam konstitusi baru.
Tentu saja jalan rekonsiliasi masih panjang. Meskipun perlu juga
dicatat bahwa Gierek-lah pemimpin komunis pertama yang pergi ke
Roma dan beraudiensi denganPaus PaulusVI, 1 Desember 1977. Waktu
itu Kardinal Wyszynski maupun Kardinal Wojtyla, yang kini Paus,
hadir.
Bahkan pada misa kudus untuk pelantikan paus baru di alun-alun
Santo Petrus, Vatikan, dari Polandia hadir tak kurang dari
Presiden Henryk Jablonski. Keesokan harinya Jablonski
beraudiensi pula dengan Paus bersama para pemimpin luar negeri
lainnya. Dan Johannes Paulus II sendiri sudah dipastikan tahun
depan akan berkunjung ke Polandia-kunjungan pertama seorang paus
ke sebuah negara komunis. Benarkah warga sebuah negara berhaluan
komunis dengan sendirinya meninggalkan agama? Atau bahwa
komunisme selalu sukses menghadapi agama?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini