Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Selamat Tinggal (?) Sumpah Pemuda

Peristiwa 28 okt adalah puncak kematangan sikap & kebulatan penciptaan suatu bangsa baru telah tercapai. Rasionalitas telah berkembang, sejarah & mitos sumpah pemuda hilang. Kini sama dengan hari lain.

28 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU peristiwa terjadi. Dan ia sesungguhnya hanyalah sebuah titik dalam lautan peristiwa. Tetapi barangkali perisiwa itu secara riil ataupun dalam anggapan terkait pada yang lain, hingga ia menjadi bagian dari suatu proses yang menentukan arah perkembangan masyarakat. Barangkali pula peristiwa itu makin dirasakan sebagai sesuatu yang penting, sesuatu yang berarti dalam kesadaran. Maka peristiwa itupun disebut peristiwa "sejarah". Peristiwa itu dicatat dan kadang-kadang dikenang. Jika nasibnya baik, ya, jika nasib peristiwa itu baik, maka ia pun dirayakan pada saat-saat tertentu. Peristiwa itupun diceritakan berulang-ulang. Ia telah jadi bagian dari proses sosialisasi. Padanya telah dilekatkan berbagai nilai yang dianggap mendukung norma yang berlaku. Maka peristiwa itupun telah dinaikkan kepada tingkat yang lain -- ia telah menjadi bagian dari simbol. Ia dianggap sebagai perwujudan nilai-nilai yang demikian tinggi dan demikian sulit untuk dirumuskan. Maka tersebutlah suatu peristiwa di Krarnat Raya 106 (Jakarta) pada tanggal 28 Oktober 1928, mengalami nasib baik. Peristiwa itu dikenang dan semacam "supra-sejarah" dilekatkan padanya. Sepintas lalu pengkaitan nilai-nilai mulia terhadapnya mungkin hanyalah hasil karya para myth-makers saja. Peristiwa sederhana, ketika beberapa puluh anak muda berjanji dan mengakui tentang bangsa dan tanah air yang satu dan tentang hahasa persatuan yang harus dijunjung, telah "diangkat" ke tingkat yang jauh melampaui kesederhanaannya. Mungkin saja peristiwa itu dipakai karena diperlukan bagi sutu tujuan tertentu -- peneguhan integrasi nasional, dan entah berapa lagi nilai lain. Jika begitu apa salahnya kalau padanya dilekatkan nilai lain, seandainya tujuan lama telah tercapai dan sekiranya tujuan baru harus dirintis? Katakan saja bahwa peristiwa tersebut dipakai untuk jadi Hari Pemuda (dan kaitkanlah nilai apa yang dicitakan). Memang, jika masalahnya hanya sesederhana itu tak ada salahnya. Kita "menemukan" saja, tanpa perlu "mengenangnya". (Ada yang mengatakan sejarah itu tak hanya "dikenang", tetapi juga 'ditemukan"). Persetankanlah rekaman para peserta dari peristiwa yang kini disebut "Sumpah Pemuda" itu. Dan tak usahlah digubris ocehan para ahli sejarah tentang "peristiwa kimiawi" yang diciptakan "sumpah" tersebut dalam perkembangan masyarakat dan pembentukan kesadaran kita. Lupakan saja. Bukankah para peserta peristiwa biasanya terbuai dengan nostalgia? Dan, bukankah ahli sejarah, konon, tak sepenuhnya terbebas dari konvensi zamannya? Puncak Kesungguhan, Keprihatinan Tetapi inilah soalnya, masalahnya tidaklah sesederhana ini. Peristiwa "Sumpah Pemuda" itu jadi penting bukan pada apa yang terlekat di dirinya sendiri. Tetapi pada kaitannya dengan apa yang mendahului dan apa yang mengikutinya. Jika soal tekad "Indonesia" yang jadi soal, peristiwa itu memang tidaklah terlalu penting. Jauh sebelumnya, Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda, di bawah pimpinan Bung Hatta, telah gigih berjuang dan mengumandangkan ide yang kemudian tertuang sebagai mantra dalam "Sumpah Pemuda" itu. Dan di tahun 192, Bung Karno telah mendirikan Partai Nasional Indonesia, tanpa hari lahirnya harus dirayakan oleh yang bukan anggota PI (baru) -- yang kini telah "marhum" itu. Jadi, bagaimana? Peristiwa 28 Oktober adalah puncak dari usaha yang dengan penuh kesungguhan, malah, keprihatinan, menghadapi masalah "penciptaan" suatu bansa yan baru. Peristiwa itu bermula dengan keterharuan akan perasaan atas tak berlakunya lagi makna dan pengertian "bangsa" yang selama ini dihayati. Dari keharuan ini dan dalam usaha pencarian atas "bangsa" yang baru ini konfrontasi pikiran diadakan. Malah konflik dari berbagai organisasi pemuda yang tengah sibuk mempertanyakan identitas diri itupun terjadi. "Sumpah Pemuda" tidak keluar dari renungan ilmiah, yang dijiwai oleh nasionalisme saja. Juga tidak hanya alat perjuangan untuk melawan kolonialisme. Peristiwa itu bermula dengan mempertentangkan segala anggapan dan prasangka tradisional. Dan, kemudian, ketika segala kemacetan yang menjenuhkan telah berentetan, maka terjadilah itu -- ikrar dipatrikan. Mungkin ini juga tak akan ada artinya apa-apa. Tetapi itulah, ikrar ini kemudian menjadi patokan dari sikap yang diambil organisasi-organisasi pemuda. Mereka meleburkan diri pada sesuatu yang baru. Kematangan sikap dan kebulatan nilai telah tercapai. Karena itulah perisitwa tersebut dikenang, dirayakan. Ikrar tersebut bukanlah suatu hasil renungan kontemplatif belaka, tetapi didahului oleh pencarian, konflik dan, pertentangan. Peristiwa itu didukung oleh pengorbanan yang luar biasa - kisah sepuluh tahun dari organisasi-organisasi pemuda, dileburkan pada halaman baru sejarah. Dan, bukan itu saja, malah lebih penting lagi, pertanyaan sederhana harus pula dijawab. Apakah artinya bahasa kesatuan dalam penciptaan bangsa dan negara kita? Biarlah para ahli mengukurnya, dan biarlah yang menghayatinya merenungkannya. Demikianlah jadinya, pada peristiwa 50 tahun yang lalu itu berbagai cita kebangsaan -- "bangsa" baru yang kini telah diciptakan -- dilekatkan. Dengan begini, antara "peristiwa-sebagaimana-terjadinya" dan "makna-yang-terlekat-padanya" telah menampakkan dua hal yang berbeda, yang tak lagi bisa dipersamakan. Tetapi keduanya telah menjadi mithos nasional. Dan sebagai mithos ia telah makin menjadi kenyataan -- ia makin riil dalam kesadaran kita. ("Kita", tanpa pembatasan generasi). Tidak Lagi Terpana Bila rasionalitas telah berkembang, kata orang, maka "dunia tak lagi terpana". Mungkinkah kita tak lagi terpana pada mithos "Sumpah Pemuda" karena kita sudah tambah rasional? Hanya saja dalam ke-rasional-an ini, apakah telah terasa pula bahwa nilai yang dianggap yang mewakilinya tak lagi sesuai dengan tuntutan keadaan dan tuntutan kesadaran? Baik, hilangkanlah segala romantik sejarah itu, dan marilah kita menuju hari depan lugas dan berperhitungan. Program yang penting. Kita hilangkan "Sumpah" yang keramat. Hari Pemuda kita canangkan. Cuma dengan begini ke-irrasional-an yang tanpa romantika telah di hadapan kita. Seakan-akan dengan memberikan makna baru pada 28 Oktober itu dan menjadikannya mithos baru (ya, mithos, kalau tidak mengapa harus pakai Hari Pemuda segala?) masalahnya telah selesai. Cuma saja pelepasan keterpanaan kepada "Sumpah Pemuda" tidaklah menjamin, malah jauh daripada itu, kelekatan hati kepada sesuatu yang baru itu. Hari Pemuda hanya akan sama dengan hari-hari lain, Hari Kanak-kanak, Hari Ibu, Hari Wanita, dan apa lagi, tanpa keprihatinan historis yang dirasakan semua. Maka yang lama terlepas yang baru kececeran. Begitulah. Mestikah kita ucapkan "Selamat Tinggal, Sumpah Pemuda"?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus