BERTAHUN-TAHUN Sandy Suwardi hanja menempati kedudukan figuran
ketika diberi peran oleh Nawi Ismail dalam Marina di tahun 1960.
Dari sana timbul hasrat bikin film, dan dengan kerdjasama
Usmar Ismail, Anak Perawan Disarang Penjamun beredar ditahun
1964. Film atas karja Sutan Takdir Ali Sjahbana itulah jang
membawa Sandy kepusat perhatian dunia film. la ditjemooh,
pagi-pagi sudah berani ikut ikut bikin film. "Tapi Sandy keras
hasrat", kata seorang sutradara. Dan ketika Si Pitung lolos
sensor, Sandy telah membintangi 36 film.
Nampaknja jang ke-37 masih lama kalau masih ada. Mengapa? "Saja
berniat djadi sutradara sadja", katanja: Rakit memang sudah
rampung. Dan disana dia tidak hanja sutradara, tapi djuga
produser, penulis tjerita serta skenario sekaligus. "Tapi film
berikutnja bukan saja jang tulis skenarionja. Pietradjaja
Burnama". Produsernja tetap Sandy, tentu maka CV Indonesia Film
Products -- punja dia djuga -- akan segera memulai produksi
keduanja.
Dibentak. Bagaimana djadi sutradara? Inilah kata Sandy: "Setiap
saja main film, selalu saja memperhatikan semua crew.
Kadang-kadang saja di bentak oleh djuru-kamera kalau saja tjoba
sekali-sekali mengintip untuk mengetahui posisi saja dalam
pemotretan nanti". Dan kisah jang kemudian terungkapkan dalam
Rakit itu, lewat dikepala Sandy ketika tahun 1966 ia
beristirahat dari kelelahan opname film Tantangan jang
dibintanginja. Sebuah rakit liwat, dan fantasipun melarat-larat.
Ketika sibuk dengan Si Pitung Sandy punja kerdja sendiri:
menulis skenario.
"Mulanja saja hanja ingin djadi asfsten sutradara untuk skenario
saja itu, tapi kompanjon saja malah mempertjajakan
penjutra-daraannja sekaligus", katanja pula, Konon itu Rakyat
dibikin dengan kerdjasama se-orang pemilik modal untuk mana
Sandy mempertaruhkan semua miliknja sebagai djaminan.
Anak kelahiran Lampung inf mengaku tidak pernah mendapat
pendidikan formil dalam dunia film. Di lahirkan ditahun 1929,
menamatkan sekolah Dasar didjaman Belanda, berantakan didjaman
Djepang, ikut Laskar Rakjat didjaman revolusi, tak berketentuan
sebagai demobilisan peladjar ditahun limapuluhan di Djakarta.
"'Terachir saja STM, itupun tidak sampai tamat", tjerita Sandy
pula, ia menganggap Usmar Ismail sebagai orang jang banjak
memberi bekal di droping Alam Surawidjaja jang di sebutnja
sebagai sutradara jang baik. Tetapi Bambang Hermanto djuga punja
andil: "Bermain bersama dia, kita mendapatkan banjak", katanja.
Kotot. Dirumahnja, dibilangan Djatinegara. Sandy tinggal dan
berkantor. Anaknja 3, semua perempuan, isterinja bekas bintaug
film Terror di Sulawesi Selatan, Fauziah, Bahaswan. Duduk
di-ruang tamu terasa sulit berandjak dan Sandy tak
putus-putusnja bitjara tentang berbagai ide jang meskipun tidak
seluruhnja baru, tjukup mengasjikkan bagi orang-orang jang
berharap mendapat tambahan produser ataupun sutradara berselera.
"Asah dia ingat sadja kisah Kotot Sukardi", kata seorang teman.
Apa kisah itu? Konon setelah sukses pertama dengan Si Pintjang,
almarhum Kotot tak pernah lagi bikin film jang patut ditonton.
Apakah Sandy djuga akan begitu? Entahlah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini