LEBIH dahulu sebuah tjontoh. Tentang surat Paus tertanggal 14
Mei bulan lalu kepada Maurice Cardinal Roy Ketua Komite Vatikan
untuk Keadilan dan Perdamaian, mingguan Le Monde, Paris menulis:
"Orang-orang Kristen jang menentang usaha-usaha Geredja untuk
bergerak bersama dunia modern boleh terganggu karenanja. Tapi
dipihak lain". terhadap dokumen jang berbitjara tentang sikap
politik Kristian dan mengetjam baik Marxisme atheistis maupun
Kapitalisme dan Sosialisme itu, "soalnja apakah ia akan
memuaskan harapan mereka jang ingin memodernisir Geredja dan
mereka jang djustru begitu familier dengan dunia politik".
Progressio. Tak ajal lagi itulah dua pola pandangan jang
ditudjukan kepada Geredja Katolik: pertama dari mereka jang
berharap Geredja tak usah melibatkan diri begitu djauh kedalam
urusan-urusan non-rohani. Kedua dari mereka jang mengharapkan
Geredja, dengan membaharui diri, tjukup elastis mendjawab
perkembangan jang menjangkut nasib umat manusia dan tidak urung
kaum Kristian sendiri. Kemudian keluarlah dari Vatikan pada 23
bulan itu. Communio Proressio, dokumen penting tentang
kemerde-kaan pers dan hak tiap orang untuk mendapat berita,
berikut kutukan kepada mereka jang memakai praktek-praktek
kekerasan kepada pihak pers plus pemberian tempat bagi sensor
hanja pada instansi terachir. Dengan dokumen jang urutannja
dinilai sebagai tak terduga bisa keluar dari Vatikan dimana
bertjokol pendapat-pendapat kolot ini, maka tuntutan-tuntutan
mendesak seperti jang selalu ditondjol-tondjolkan pihak jang
menghendaki pembaharuan Geredja tampaknja dirasa lebih patut
untuk didjawab dan dituruti setjara tidak terlalu menjimpang
dari tradisi lembaga agama jang tua.
Dan kini Indonesia. Chususnja bagi kalangan kedua, jang tetap
menaruh harapan pada kemungkinan-kemungkinan baru dari Geredja,
tjukup alasan untuk bersjukur bahwa achirnja bapa-bapa jang
biasa bergerak tenang dalam djubah-djubah surgawi itu menaruh
minat terhadap pennilu dari seginja jang paling aktuil.
Pernjataan 5 Djuni dari Presidium MAWI atau Madjelis Agung
Waligeredja Indonesia jang dikeluarkan pada achir sidang jang
diselenggarakan sedjak lima hari sebelumnja, dan jang mendesak
pemerintah agar menghindarkan segala bentuk intimidasi dan
paksaan dan manipulasi dan permainan tjurang sekitar pelaksanaan
pemilu, tampaknja bukan didorong oleh satu ilham jang datang
tiba-tiba. Sebab Mgr Leo Sukoto SJ, Uskup Agung Djakarta dan
Sekretaris Presidium MAWI boleh diperkirakan bukan orang
satu-satunja jang bisa mentjer-minkan sernatjam perasaan, umum
dikalangan para monsigneur itu ketjemasan melihat
dipraktekkannja tingkah laku jidak terpudji jang, menurut Leo
Sukoto kepada reporter Harian Kami, boleh didapat dengan segera
begitu orang pergi kedaerah-daerah "dan tidak hanja
berputar-putar di Djakarta".
Sembahan. Tapi berbareng dengan itu adalah rasa ketjewa karena,
senada dengan sikap pihak Protestan dalam Sidang Raja VII Dewan
Geredja-Geredja di Indonesia (DGI) 1971 dan tidak sama dengan
sikap beberapa kalangan jang menganggap pemilu sebagai kesibukan
jang sia-sia, Geredja Katolik jakin "ikut serta dalam pemilihan
umum (bagi umatnja) merupakan salah satu djalan untuk ikut serta
menjelenggarakan tudjuan negara demokrasi", seperti ditulis
dalam Pedoman Kerdja Umat Katolik Indonesia MAWI 1970. Namun
apa daja. Tingkah laku negatip runtjing jang mendorong Justinus
Cardinal Darmojuwono, pemimpin tertinggi Geredja Katolik di
Indonesia membubuhkan tandatangannja pada pernjataan Presidium
dari madjelis 33 Uskup, dan tingkahlaku jang didjadikan objek
ketjaman Mgr. Sukoto pribadi, telah memberikan warna-warna guram
pada harapan jang relatif tjerah.
Dan harapan jang dikandung para wali geredja boleh dipertjajai
lebih dari sekedar "menangnja orang Katolik dalam pemilu" jang
memang tak pernah diidamkan (setidak-tidaknja Geredja tidak
mewadjibkan umatnja menusuk gambar tasbih), tapi adalah
harapan jang didukung oleh rumusan Pedoman Kerdja MAWI sendiri:
"Wadjib kerdjasama dengan pemerintah dalam usahanja untuk
terus-menerus menjehatkan struktur politik, sehingga program
pembangunan diutamakan dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknja".
Namun, walaupun perombakan struktur politik diidamkan dan
walaupun ia ternjata -- setidak-tidaknja dalam utjapan -- bukan
tjita-tjita jang tjuma dikandung satu golongan, ia samasekali
bukan barang sembahan. Sebab "baik pemilihan umum maupun
demokrasi sendiri harus kita anggap sebagai alat sadja, bukan
sebagai tudjuan". Karena itulah segala tjara gagah-gagahan dan
pengandalan kekuasaan demi keinginan apapun dan harapan baik
apapun, tak dibenarkan.
Prioritas. Sebab orang akan segera teringat hak azasi, jang
sepandjang dipertjajai dari adjaran demi adjaran, termasuk hal
paling penting dalam missi semua agama. Maka, adalah satu
pertemuan internasional jang disebut World Conference Religion
and Peace, diselenggarakan di Kyoto pada Oktober tahun kemarin.
Dalam konperensi jang dihadiri sedikitnja 206 tokoh-tokoh dari
setidak-tidaknja 10 agama, bukannja tidak diserukan kembali
masalah jang peka ini. Bukannja tidak diandjurkan agar seluruh
peserta mengambil bagian dalam usaha-usaha membangkitkan
perhatian terus-menerus tentang hak-hak azasi seperti djuga
tentang perdamaian dan keadilan sosial. Sjahdan ada ditegaskan
bahwa apabila timbul masalah tentang prioritas antara keadilan
sosial dan pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial harus
didahulu-kan. Bagaimana lagi tentang hak azasi?
Alhasil apapun anggapan orang terhadap Geredja Katolik, jang
dalam soal-soal jang disepakati membawa nama kaum agama, ia
telah bitjara. Tidak mustahil bahwa ada kalangan Katolik sendiri
jang tidak bermuka ramah terhadap pernjataan MAWI. Lebih-lebih
terhadap utjapan-utjapan Mgr. Sukoto pribadi jang bukan tidak
mungkin dituduh kekanak-kanakan dan tak bidjaksana. Seperti
djuga tidak mustahil kalangan jang memberengut terhadap
tjampur-tangan Vatikan dalam soal-soal jang dirasa kelewat
aktuil, ketjewa terhadap sebagian sikap sang Paus. Namun sungguh
mati bukan sekedar untuk memberi angin kepada kalangan Katolik
jang menginginkan pemburuan Geredja apabila Arbischop Angelo
Fernandes pada pembukaan konperensi di Kyoto menjatakan, bahwa
"orang-orang agama tidak boleh hanja melihat dan tinggal
mendoakan sadja bagi hari esok jang lebih baik".
Dalam pendjelasannja empat hari setelah wawantjara "Harian Kami"
dimuat dan di kutip koran-koran lain, Sukoto menolak celah
mengutjapkan "Kata-kata jang kurang halus".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini