Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menyusuri jejak pembajak

Sebuah perusahaan piringan hitam merasa dirugikan karena lagu-lagu indonesia direkam di kaset tanpa izinnya. pembajakan lagu-lagu secara moral tak benar, dapat merugikan pihak lain.

26 Juni 1971 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEBERAPA pemantjar radio mulai menanggalkan kekuasaan piringan hitam dengan kaset. Kantor-kantor memerlukan untuk memiliki sebuah tape recorder kaset untuk merekam pidato-pidato dan menghibur pegawai-pegawainja. Dirumah tangga orang mulai tradisi baru mengabadikan pesta perkawinan, kematian, peristiwa-peristiwa keluarga lainnja dengan rekaman kaset. Djuga telah menggantikan peranan gamelan dalam upatjara adat seperti misalnja tampak dibeberapa tempat di Bali. Dan dengan tak tersangka-sangka dikampung-kampung jang tidak kaja satu dua orang memiliki tape recorder kaset. Tukang warung, tukang bukur, tukang pidjat dan pemilik toko menjembunjikan kaset diantara dagangannja untuk menghibur diri langsung pula servis buat para langganan. Bus-bus malam, sedan-sedan pribadi menutup kedjemuan dalam perdjalanannja dengan pita kaset. Industri. Bangkitnja kebudajaan kaset membangunkan mata pentjaharian baru. Jang terpenting diantaranja adalah penjediaan djasa perekaman lagu-lagu. Sedjak dua tahun terachir ini kemadjuannja demikian galak. Disetiap kota dimana listrik tidak merupakan soal bangkit-lah usaha-usaha perekaman. Ia tumbuh umpama industri ketjil. Mula-mula mereka menjediakan diri merekam lagu-lagu jang diminta. Kemudian mereka mehhat kemungkinan untuk menjediakan rekaman sudah djadi. inisiatif inilah jang mendjadi biangnja industri perekaman itu. Setjara ramai-ramai piringan-piringan hitam di-kaset-kan lalu diperdagangkan. Perbedaan harganja dengan sebuah piringan hitam sedemikian memikatnja, sehingga lakunja keras. Sebuah C60 jang dapat merekam dua buah long play dapat didjual dengan harga Rp 500 sampai Rp 600. Sedangkan piringan hitam long play sendiri jang masih baru harganja berkisar antara Rp 1000 sampai Rp 1750 perbuah. Angka-angka ini mendjadi alasan kenapa sekarang usaha-usaha perekaman itu perlahan-lahan berguling mendjadi toko-toko musik kaset, toko jang tidak melajani rekaman tetapi mendjual hasil-hasil rekaman. Rekaman-rekaman pesanan mendjadi lebih sepi meskipun masih tetap mendapat pelajanan. Untuk sebuah rekaman C60 stereo menghabiskan ongkos antara Rp 400 sampai Rp 500, ini kalau digabung dengan harga kaset kosongnja jang bernilai sekitar Rp 400 sampai Rp 500, bisa mendjadi 1 kali rekaman jang sudah djadi. Meskipun rekaman-rekaman djadi jang direkam setjara masal, (sampai 10-20 kali rekam) suaranja tidak sedjernih rekaman-rekaman pesanan, orang mempunjai alasan tertentu untuk membelinja. Disamping harganja seperti jang disebutkan tadi djuga karena tidak perlu menunggu sampai dua tiga hari. Terutama mereka jang berasal dari luar kota, mereka jang tak banjak punja waktu untuk mengurus dan memilih, mereka tjukup senang mendengarkan bunji-bunji jang tidak djernih itu, Seorang pedagang kaset dipertokoan projek Senen menjatakan, dalam satu hari ia bisa mendjual sampai 30 buah kaset djadi. Sementara itu Wilihardi ditoko Kartika Blok M Kebajoran Baru jang pernah menerima pesanan rekaman sampai 100 kaset menjatakan dengan sedih bahwa achir-achir ini pesanan-pesanan sepi, sampai-sampai ia memberikan korting sebesar 20%. Pembadjakan. Diseluruh Djakarta hampir disetiap kompleks pertokoan dapat diketemukan toko-toko kaset jang serius maupun jang sekedar njilmbi. Agaknja keuntungannja dan kemadjuannja mendjadi musabab wabah, sehingga mereka semua latah untuk menggantungkan seperiuk nasinja pada pendjualan kaset. Sudah tentu mereka banjak jang kurang pengalaman sehingga kwalitas rekaman rekamannja tidak djempol Pada suatu hari ditahun 1970 tersebutlah seorang laki-laki membeli kaset berisi rekaman lagu-lagu Indonesia disalah sebuah toko jang banjak itu. Dengan tak tersangka beberapa hari kemudian terdjadilah serangan mendadak kepada toko-toko perekam itu jang dilakukan oleh pihak kepolisiam hasil-hasil rekaman lagu-lagu Indonesia ditjari-tjari untuk didjadikan bukti. Rupa-rupanja pem beli kaset jang ditjeritakan tadi adalah dari salah sebuah perusahaan piringan hitam jang merasa dirugikan dengan makin madjunja industri perekaman. Maka dalam kehidupan hukum di Indonesia lahirlah sebuah kasus baru, jang sampai sekarang masih dalam proses pengadilan. Seorang djurubitjara diseksi Reskrim Komdak VII/Djaya jang mengaku berbitjara atas nama AKBP Darwo Sugondo menolak untuk memakai istilah "pembadjakan" untuk menamakan kasus baru dalam perbendaharaan pengadilan Indonesia itu. Djubir jang tak suka menjebutkan namanja itu menjatakan bahwa "pembadjakan" hanja istilah kaum kuli tinta. Ia lebih suka memakai istilah "pemalsuan". "Setiap pendjiplakan jang dilakukan tanpa seidjin pentjiptallja, dimana ada orang lain jang dirugikan, dinamakan pemalsuan", katanja. "Dan setiap pemalsuan itu termasuk kasus kriminil". Iapun tak lupa memmdjukkan kasus Remaco jang sedang dimasak di Pengadilan. "Dasar bertindak Kepolisian adalah atas alasan pemalsuan dan pcrsaingan tidak djudjur. Dan dalam hal ini kami hanja dapat melakukan penindakan bila ada orang atau perusahaan yang melapor kepada kami", katanja. Sang djubir jang mengenakan hem sport berwama putih diatas tjelananja jang tjoklat itu ternjata pendapatnja berbeda dengan Ir. Martono Socmodinoto Kepala Dinas Perindustrian DCI. Sang insinjur tidak menolak istilah "pembadjakan". "Membadjak itu adalah mengambil setjara paksa atau tanpa seidjin jang empunja", katanja. Lalu diberikannja sebuah batasan: "Pembadjakan musik, adalah pendjiplakan jang dilakukan terhadap karya orang lain, tanpa seidjinnja". Tjontohnja apa jang dilakukan oleh perusahaan piringan hitam terhadap perusahaan piringan hitam jang lalu. Dengan semakin banjaknja pemakaian dan pendjualan kaset, harga-harga piringan hitam merosot sampai 40, dari jang semestinja", katanja kemudian. Baru ia mengambil antjer-antjer tahun 1969 sebagai tahun mulai menandjaknja pamor kaset-kaset. Ia melukiskan pada kenjataannja tjukup tuanja pentjurian melalui pita di Indonesia. Hanja sadja dahulu belum mendjadi industri, dikalangan jang tertentu sadja sehingga tak menimbulkan sakit hati pemilik perusahaan piringan hitam. Kentut. Eugene Timothy marah dengan dahsjat sambil menghamburkan kedjengkelan: "Pembadjakan, pemalsuan, pentjurian, pengambilan hak patent, ah, pendeknja kedjahatan komplit!" serunja menghadapi bangkitnja industri perekaman Direktur perusahan piringan hitam Recmaco jang berdjambul rapi itu membelalak dibelakang medjanja berkata dengan keras: "Disedot djerih pajah kita selama ini seenaknja. Kalau dibidang rekaman-rekaman itu bantu kita, bantu kentut!". Direktur muda jang merasa terantjam nasibnja itu pada kesempatan jang lain di Pengadilan menjatakan kepada Hakim bahwa ia harus mendjawab "sekedar tanja" dari artis-artis jang telah merekam suaranja. Ia memandang usaha perekaman tersebut jang tak pernah mendapat idjin dari perusahaannja menimbulkan suasana jang memodjokkan dia. Didalam menghadapi pengadilan tampaknja ia antosias tetapi djuga agak gugup. Ia menghadapkan kepada Hakim setumpukan mantel piringan jang telah dipotret oleh djuragan-djuragan kaset didalam melengkapi bumbu barang dagangannja. Sebuah pengadilan jang tjukup terlambat, karena setelah setahun berdjalan ketika masuknja pengaduan, pengadilan kepada pembadjak-pembadjak kaliber teri itu baru dimulai. Lutju kelihatannja, karena sementara pengadilan berlangsung, di Glodok, Projek Senen, Majestik, Blok M dan mungkin entah dimana lagi saudagar-saudagar kaliber kakap sedang melipat uang pembadjakannja. "Saja sedang perdjuangkan agar hukum Internasional berlaku", kata Eugene dengan bersemangat. Dengan tidak begitu galak, Sugito Karsono Managing Direktor perusahaan piringan hitam J & B Enterprises ikut mengakui turunnja pamor piringan hitam setelah muntjul kaset. Meskipun tidak menimbulkan adjal. Diberikannja angka 1000-2000 jang seharusnja bisa laku dalam waktu jang lebih singkat dari dua bulan. Keterlambatan waktu ini menimbulkan semangat djuga bagi perusahaannja untuk memaklumkan perang kepada kaum pembadjak. Hanja sadja dengan lembut ia mengakui kemunduran pendjualan piringan njanji itu tidak semata-mata karena dimakan oleh kaset, tetapi djuga karena persaingan antara piringan itu sendiri. "Perekaman kaset dengan djalan pemindahan dari piringan hitam kekaset setjara utuh memang merugikan, patut dituntut ganti kerugian. Tapi soal sebenarnja bisa dimengerti, jaitu toko-toko dan perusahaan kaset itu ingin memberikan servis jang baik kepada pembeli dan langganannja", katanja. Lalu ia sodorkan sebuah djalan keluar. Bahwasanja keruwetan itu dapat diselesaikan dengan kerdja sama antara tukang rekam dan pemilik piringan hitam, dalam bentuk idjin jang resmi. Dengan kata lain: ada pembagian keuntungan. Tapi, seperti dikatakannja: belum tentu semua tukang rekam bersedia membagi untungnja. Tetap segar. "Pembadjak-pembadjak itu akan tanja kepada produser, apakah sudah ada larangan tentang perekaman di Indonesia? Apakah produser-produser itu telah menggedeponirkan hasil produksinja ke Departemen Kehakiman?" tanja Rudy Pirngadie dengan tertawa. Djendral hampir pensiun jang. Iebih tekun main kerontjong itu mendjawabnja sendiri: "Karena tak ada hukum, maka legalitas merekam begitu seolah-olah ada, tetapi setjara moral itu tak benar" katanja sambil terus mengkaitkan dengan keuntungan besar jang diperoleh para pembadjak sementara perusahaan piringan hitam hanja bisa menghapus liur. Tidak adanja tanggungan honorarium untuk penjanji, pemain musik, penulis lagu aranser dari kaum pembadjak dapat diterima sebagai alasan kenapa kaset isian djauh lebih murah dari sebuah piringan hitam, Pemimpin Orkes Kerontjong Tetap Segar dengan nama aliasnja "Ever Green" ini menerangkan dua hal jang dideritanja akibat pembadja-kan. Kerugian batin jang bernama ketjurigaan dari pihak seniman karena Tetap Segar dalam membajar seniman-seniman itu tidak memakai sistim flat pay seperti umumnja dilakukan tetapi pakai sistim prosentase oplah. Dengan banjaknja tersebar lagu-lagu artis-artis itu sang Djendral seolah-olah telah melakukan penggelapan. Lantas diganjang lagi oleh kerugian materiil berupa tiadanja imbalan, atas pajahnja sementara pembadjak-pembadjak itu panen duit. Penderitaan ini memang sedikit mendapat hiburan karena dengan demikian luasnja penjebaran lagu-lagu artis-artis mendjadi terkenal. Tetapi hiburan begitu bagi Pirngadie sudah ketinggalan sepur. Seharusnja tahun 1965 sadja pada saat Tetap Segar masih mlemerlukan publikasi. "Sekarang pikir-pikir dahulu", katanja sambil senjum. Mungkin karena tak berdaja menghadapi tingkahlaku pembadjak-pembadjak di Indonesia jang sekarang dengan mandjanja meradjalela, sang Djendral hanja menolehkan akalnja untuk mengatasi pembadjakan Tetap Segar diluar negeri. Untuk keperluan itu dengan terus terang ia menerangkan bahwa rekaman Tetap Segar jang dilakukan di Indonesia diangkut ke Djepang untuk ditjetak dan digedeponir lewat Toshiba. Katanja, hal itu akan membebaskan piringan itu dari antjaman pembadjakan dari sementara negara jang menandatangani Konvensi Bern. "Jah, terpaksa minta tolong saudara tua karena di Indonesia ada kevakuman soal ini" katanja dengan agak lutju, sambil menundjukkan long play "Old Time Melodies in Keromtjong Beat" dengan nama "Ever Green" janga berisi antara lain lagu-lagu: Mengapa Menangis, Bunga Anggrek, Kerontjong Moritsko dan sebagainja. Plagiat. Menjusuri djedjak pembadjak lagu-lagu ini, Tety Kadi jang sedang beladjar dirumahnja berkata kepada Sunarja Hamid, koresponden di Bandung: "Bagi Tety pembadjakan musik tidak ada kerugiannja. Tety tidak memakai sistim royalty karena susah pengontrolannja. Untuk sebuah lagu jang direkam Tety mendapat Rp 10.000, tidak soal berapa jang akan ditjetak, djadi jang rugi dalam hal ini perusahaannja!" Pertanjaan ini diperkuat oleh pengantin baru Enteng Tanamal jang mendjelaskan bahwa ia tidak begitu mengerti mengapa harus mendjadi saksi dalam perkara "pengadilan kaset". "Toch saja dan Tanty tidak merasa dirugikan, karena lagu kami telah dibeli oleh Remaco dengan sistim flat pay' katanja. Bahkan baginja apa jang dilakukan oleh usaha perekaman itu menguntung-kan, karena kaset itu menambah publisitas dirinja "Tentang pembadjakan itu kami tidak ambil pusing", katanja lebih djauh, "Bukan sadja perekam-perekam itu jang bisa disebut pembadjak, tetapi pengusaha-pengusaha piringan hitam djuga ada jang membadjak. Buktinja kami diforsir agar membawakan lagu-lagu djiplakan atau terdjemahan dari lagu-lagu India, Barat, Tjina atau Melaju". Sementara itu dalam umurnja jang ketigapuluh, seorang pentjipta lagu pop Indonesia, Jessy Wenas membenarkan bahwa ada dua djenis pembadjakan jang sekarang berdjangkit. Pembadjakan dengan sistim kaset jang memukul perusahaan piringan hitam hingga sakit. Dari pembadjakan jang timbul akibat sakitnja perusahaan-perusahaan itu, jang memaksa mereka membeli hasil-hasil karja jang semurah mungkin. Maka terbitlah fadjar pembadjakan djenis kedua, jang diisi oleh lagu-lagu terdjemahan, lagu-lagu plagiat jang murah harganja dan murah pula nilainja, namun laku. Dengan akal baru ini maka beramai-ramailah lagu-lagu Barat, India, Hongkong dipaksa memakai kain kebaja dan batik Indonesia. Misalnja lagu-lagu terkenal seperti Release me, La Paloma, I can't stop Loving you, Hey Jde, Aldilla sekarang tidak hanja dinjanjikan oleh jang tahu bahasa Inggeris djuga oleh rakjat kampung dalam bahasa Indonesia. Belum lagi lagu-lagu jang diambil dari lagu daerah dengan pengarang jang tak dikenal (NN) atau jang pura-pura tak dikenal. Tidak tjukup itu sadja. Beberapa aransemen lagu asing dengan setjara terang-terangan dioper dalam membuka lagu-lagu Indonesia. Tidak djarang orang ketjewa karena salah duga. Mengira lagu barat, tahunja muntjul dendang si Melaju. Semuanja dilakukan dengan tenang oleh para pengusaha piringan hitam. Apa mereka tak gentar? Apa mereka tak merasa mendjadi pembadjak? "Saja marah sekali bila saja dikatakan pembadjak" kata Eugene Timothy. Tetapi ia mengakui telah melakukan rekaman lagu-lagu terdjemahan, meskipun ia hanja mengakui bahwa itu hanja aransemennja. Tetapi ia tidak memperlihatkan bukti idjin resmi dari pentjipta lagu asli, sesigap ia memperlihatkan bukti kontrak dan :tanda pendaftaran labelnja, didalam sidang pengadilam Sugito Karsono lebih djudjur sedikit. Ia mengakui bahwa segala matjam terdjemahan itu sebenarnja tidak boleh, karena tidak adanja suatu ikatan berupa Association. Namun ia membantah untuk mengatakan pentjelakan piringan hitam lagu-lagu terdjemahan itu sebagai pembadjakan. Alasannja tidak begitu djelas. Ia menghindarkan suatu kasus jang berada dibawah kata: badjak-membadjak -- dengan alasan peniruan jang hanja meliputi beberapa bar tidak dapat dikatakan sebagai pembadjakan. Koinsidensi. Rudy Pirngadie didalam suatu diskui jang diselenggarakan oleh Tetap Segar pernah mengatakan bahwa ada kemungkinan koinsidensi dalam hubungannja dengan tjiptaan musik. Ia memberi tjontoh dengan lagu Bengawan Solo jang menurut pendapatnja dapat ditarik unsur-unsur garis paralelnja dengan LaPalonta. Sedangkan Amir Pasaribu dalam diskusi itu mengemukakan istilah keilmuan jang bemama "reminisensi", jang katanja berarti ingatan. Ingatan ini sebara tak sadar muntjul dalam setiap pentjiptaan, sehingga ada kemungkinan kedjadian milik orang jang disita dalam tjiptaan seseorang. Ia menundjukkan tjiptaan-tjiptaan Beethoven dan Mozart jang mempunjai ratusan reminisens. Bedanja dengan plagiat oleh Amir Pasaribu dikatakan, lagu-lagu plagiat setjara sadar diketahui milik orang lain, hanja dirubah disana sini, remini-sensi tidak. Pada achirnja ia memberi resep untuk tidal berketjil hati, karena Mozart dan Beethoven pun melakukan reminisensi. Tetapi soalnja bukan itu. Soal lagu-lagu pop di Indonesia sekarang bukan reminisensi tetapi djelas pembadjakam Seharusnja ia ditindak sama dengan pembadjakan lain. Iapun merupakan pelanggaran hak tjipta. Hanja soalnja tidak akan mungkin ada tindakan bila tidak ada pengaduan. Notaris. Rudy Pingadie terus terang mengakui bahwa ia telah melakukan pembadjakan. Tetapi ia bersikap lunak. Ia berkata: "Saja merekam begitu sadja, karena toh tak ada tulisan atau peringatan dalam lagu itu bahwa kita dilarang untuk mengutip atau menjanjikan tanpa idjin pentjipta". Dan sebagai pertanggungdjawaban moral kepada pembadjakannja, ia bersedia untuk membajar hasil tjiptaan itu seandainja ada jang datang menuntut pembajaran. Dengan sjarat agar jang datang itu dapat membuktikan memang ia pentjipta lagu tersebut. Ia menundjukkan sebuah tjontoh, lagu Dondong Opo Salak jang pernah direkamnja. Penjanji Kus Biantoro pernah datang untuk minta bajaran, tetapi ia gagal karena tak punja bukti akte notaris sebagai pentjipta. Tjontoh keadilan jang ditundjukkan oleh pimpinan Tetap Segar itu kedengarannja tjukup mengceikan. Karena apabila kebudajaan "bukti otentik" belum meresap atau katakanlah dengan tjara lain kalau pentjipta-pentjipta Indonesia terutama pentjipta lagu-lagu daerah belum merasa gandrung mendaftarkan hasil-hasil karjanja, besar kemungkinan bahwa pembadjakan-pembadjakan itu akan meradjalela djustru karena berlindung pada hukum. Tak terlalu pagi untuk mengatakan bahwa tiada meratanja kesadaran hukum dalam masjarakat musik, mendjadi peluang satu fihak untuk memukul fihak lain dengan sendjata hukum. Hukum jang tidak merata akan menimbulkan ketidakadilan djadinja. Seperti halnja pengadjuan pembadjakan piringan hitam oleh perekam kaset kepengadilan itu. Peristiwa itu nampak agak lutju karena hanja peristiwa pemalsuan jang diadili. Sedangkan peristiwa jang lebih pokok lagi jaitu pelanggaran hak tjipta tidak ada kabar, hanja karena tidak ada jang menuntut. Seolah-olah keadilan hanja terlimpah kepada para pengusaha piringan hitam, begitulah kelihatannja dari katja mata umum. Dengan adanja pengadilan atas tuntutan perusahaan piringan hitam jang sampai ini belum usai, masjarakat pedagang kaset mendjadi gontjang. Rekaman-rekaman lagu Indonesia tiba-tiba menghilang. Perekam-perekam menghentikan kegiatannja. Bahkan disebuah tempat seorang tukang rekam berbuat over acting dengan menjimpan tulisan dimedjanja jang berbunji: "disini tidak merekam lagu-lagu Indonesia". Dan sementara itu dari Dinas Perindusirian DCI, Ir. Martomo Soemodinoto memberi kabar bahwa masih diberikan kesempatan kepada tukang-tukang rekam itu untuk mendaftarkan dirinja sampai bulan Agustus. "Sampai sekarang baru 10 -- djadi kira-kira baru 10% jang mendaftarkan" katanja. Dinjatakannja pula bahwa para pembadjak itu disamping merugikan perusahaan piringan hitam, mereka djuga telah merugikan negara karena tidak membajar padjak perusahaan dan royalty. Tidak dinjatakan apakah pemba-djakan jang dilakukan oleh pcrusahaan-perusahaan piringan hitam sendiri tidak merugikan negara .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus