Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka memainkan musik dalam nada-nada minor. Bagi telinga awam, komposisi mereka cukup menantang untuk dinikmati dan harus menahan kebosanan. Kuartet Carte-blance Quotuor Bozzini di Black Box Salihara, Jakarta, Sabtu lalu, menghadirkan musik yang tak biasa. Mereka memainkan komposisi-komposisi dengan alat gesek biola, viola, dan selo, yang melahirkan bunyi dengan tempo yang lambat dan cenderung tidak memperdengarkan gerakan naik-turun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Quatuor Bozzini, yang dibentuk di Montréal, Québec, pada 1999 itu beranggotakan Isablele Bozzini (selo), Stephanie Bozzini (biola), Clemens Merkel (biola), dan Alissa Cheung (biola). Mereka sering tampil dalam berbagai festival dan menggelar konser di Amerika Serikat, Amerika Selatan, serta Eropa. Mereka telah meraih sejumlah penghargaan, salah satunya yang terbaru diraih pada tahun ini, yakni The Performer of the Year Opus Prize oleh Conseil quebecois de la musique.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka tampil dua kali dalam acara SIPFest (Salihara International Performing-arts Festival) itu. Pada hari pertama, Jumat, mereka membawakan karya empat komposer muda Indonesia. Ada Bali Miniatures (2018) karya Marisa Sharon Hartanto, String Quartet No. 2 (2018) karya Matius Shan Boone, Counter Noise No. 3 (2018) karya M. Arham Aryadi, In Memory (2018) karya Stevie Jonathan Sutanto, dan satu karya James Tenney, yaitu Koan for String Quartet (1984).
Pada hari kedua, Sabtu malam itu, mereka membawakan tiga komposisi, yakni Folkestone (1999) karya Linda Catlin Smith, About Bach (2015) karya Cassandra Miller, dan Pulau Dewata (1977) karya Claude Vivier. Folkestone mendapat giliran dibawakan dalam setengah jam pertama penampilan mereka. Karya itu terinspirasi oleh sebuah buku gambar cat air.
Linda Catlin Smith menyebut komposisi ini sebagai sketsa buku untuk melihat dan melihat lagi lanskap musik gesek kuartet. Nomor ini terdiri atas 24 seksi atau panel dengan jeda di antaranya. Musiknya terdengar kontemplatif sekaligus mengingatkan kita pada komposisi yang filmis, mengiringi adegan perjalanan jauh.
Komposisi kedua, yang dimainkan selepas jeda, adalah About Bach (2015) karya Cassandra Miller. Nomor ini merupakan perluasan karya dari komposisi solo untuk viola. Komposisi ini diawali dengan frasa sederhana dari Bach. Miller mengubahnya ke dalam frasa yang lembut dan anggun. Namun suara yang keluar menjadi nada gesekan yang konstan dan sederhana. Seperti sebuah aliran yang mengalir tapi lama-lama seperti terbendung dan menekan. Nada pada frekuensi tinggi melengking diulang hampir separuh komposisi berdurasi sekitar 25 menit itu.
Komposisi ketiga yang berjudul Pulau Dewata karya Calude Vivier terdengar dinamis dan familiar di telinga. Dari nada yang keluar dari biola, viola, dan selo, telinga penonton langsung disergap bebunyian selayaknya gending dari Bali yang atraktif.
Komposisi lawas (1977) ini diciptakan Vivier saat perjalanannya ke Bali. Dia ingin menulis sebuah komposisi musik yang berisi spirit Bali. Tidak ada instrumen khusus yang mengindikasikan komposisi aslinya. Komposisi ini pernah dimainkan oleh beberapa ensambel di Montreal. Bozzini Quartet pun telah memberi tempat khusus untuk karya ini.
Komponis sekaligus pengajar musik di Institut Kesenian Jakarta, Otto Sidharta, memuji penampilan Quatuor Bozzini. Menurut dia, penampilan kuartet asal Kanada ini menarik dinikmati. "Inilah yang disebut sebagai spectral music. Perkembangan terbaru dari musik," ujarnya kepada Tempo seusai pementasan. Ia menjelaskan bahwa musik spektral merupakan perjalanan musik terkini.
Biasanya musik terdiri atas melodi atau iringan, tapi ini gumpalan-gumpalan spektrum. "Lapisan bunyi itulah yang terus bergerak, jalinan-jalinan spektrum bunyi menjadi sebuah komposisi," ujarnya.
Menurut Otto, pada umumnya kita lazim mendengar melodi atau motif bunyi. Tapi perkembangan musik terus berjalan dan sudah melampaui itu semua. Perjalanan musik spektral ini pun sudah di luar urusan tangga nada. "Setiap satu bunyi punya spektrum dan harmoninya. Lapisan itulah yang diamati para komponis. Jadi, apa yang kita dengar, nikmati saja."
Apresiasi penonton terhadap ketiga nomor yang ditampilkan itu berbeda-beda. Ada yang begitu menikmati, ada pula yang sebaliknya. Seorang penonton mengaku hampir tertidur saat mendengarkan Folkestone. Seorang penonton lain, Selvi, mengaku, "Saya suka yang kedua (About Bach), seperti musik atau sesuatu yang tertekan entah bagaimana mengeluarkannya."
Nada yang keluar dari gesekan biola, viola, dan selo mereka cenderung statis, yang boleh jadi ada penonton yang merasa monoton. Namun pada komposisi kedua, About Bach, ada bagian nada atau frekuensi tinggi dari gesekan biola yang repetitif. Diulang, saling menyambung oleh dua musikus. Sementara itu, di frekuensi yang rendah, bergerak pula dari gesekan viola dan selo, sehingga nomor ini terasa atraktif dan "hidup". DIAN YULIASTUTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo