PRODUKSI film nasional kini memang terasa lesu. Sebagian besar
orang film -- terus-terang maupun secara tak langsung --
menunjuk SK Menteri Penerangan tertanggal 30 Nopember tahun lalu
sebagai penyebabnya. Komentar-komentar mereka tentang SK
tersebut disuguhkan dalam TEMPO 17 Maret 1979, dalam laporan
utamanya. Tapi bagaimana suara Deppen sendiri? Di bawah ini
sebagian hasil wawancara tertulis TEMPO dengan Menteri
Penerangan Ali Moertopo, beberapa hari setelah FFI Palembang
usai.
Orang film melihat SK Menpen No. 224 sebagai penyebab
berkurangnya produksi film kita. Apakah ini memang
diperhitungkan pemerintah mengingat kebanyakan film kita selama
ini rendah mutunya?
SK Menpen No. 224 adalah suatu koreksi terhadap kebijaksanaan
terdahulu, yaitu-kebijaksanaan Wajib Produksi. Perlu dikemukakan
bahwa kebijaksanaan tersebut telah berhasil meningkatkan jumlah
produksi film nasional, tapi justru sebagian besar dari
film-film tersebut tidak pantas lahir dan bertentangan sekali
dengan usaha bangsa Indonesia dalam meningkatkan derajatnya.
Kebijaksanaan Wajib Produksi oleh kebanyakan importir lebih
banyak dijadikan sekedar alat untuk memperoleh keuntungan dari
usaha perdagangan film impor. Keuntungan importir dari satu film
impor sekitar Rp 20 juta. Bila dia membuat satu film nasional,
jadi mendapat hak memasukkan tiga film impor, equivalet dengan
3 x Rp 20 juta = Rp 60 juta. Jadi sejauh mungkin produksi film
nasionalnya harus di bawah Rp 60 juta itu. Akibamya film-film
nasional tersebut harus dibuat: semurah, selaris dan secepat
mungkin.
Sekarang, dengan enam copy film, apakah ini tidak mengutangi
kesempatan ekshibisi film nasional?
6 copy film adalah angka mutlak. Artinya tak akan lagi diberi
copy tambahan/pengganti. Ketentuan sebelumnya, tahun pertama
dibenarkan dengan 3 copy dan apabila rusak dapat diganti dengan
3 copy lagi dari jumlah yang 6 copy tersebut. Tujuannya
pemutaran di daerah terpencil masih dengan film yang cukup baik.
Perkiraan film ex impor yang diedarkan 6 copy sekaligus akan
menyempitkan ruang gerak film nasional, perlu ditelaah mendalam.
Jumlah film impor 1978 sampai dengan Mei 1979 ialah 260 judul,
film nasional sekitar 100 judul. Total, 360 judul. Jumlah gedung
bioskop di Indonesia - 1.024, dan pembagian filmnya
sekurang-kurangnya melalui 3 jalur utama yang saling beroposisi.
Jadi setiap jalur kebagian 120 judul. Jadi dalam waktu setahun,
diperkirakan setiap judul akan diputar di satu gedung bioskop
selama 360: 120 = 3 hari. Film yang sukses tentu saja lebih dari
tiga hari. Perlu dikemukakan bahwa gedung bioskop tentulah
enggan memutar film ulangan jika tidak terpaksa sekali. Dan
untuk memutar film yang telah menjadi milik pihak oposisi jelas
tak akan terjadi. Dari angka-angka tersebut jelaslah bahwa
'orang film' kemarin-kemarin ini punya kekhawatiran yang
tidak/kurang beralasan.
Film nasional dianjurkan agar ber konsep kultural-edukatif.
Bagaimana sikap Pemerintah terhadap film impor?
Sama saja. Misalnya terlihat denga penghapusan sikap penyensoran
yang sebelumnya dapat disebut 'mendua'. Sekarang dalam
melaksanakan tugasnya Badan Sensor Film tidak mengadaka
perbedaan antara film produksi nasion dan film impor. Yang
menjadi poko pertimbangan ialah bagaimana kemungkinan pengaruh
film itu kepada penonton. Jika akan jelas negatif, maka film
mana pun harus dipotong atau ditolak sama sekali. Untuk ini BSF
tak pandan bulu: film impor ataukah film produks kita sendiri.
Apakah akan ada semacam mekani me yang akan mengatur film impor
sehubungan dengan pertanyaan No. 4 -- hingga film impor pun
termasuk dalam kategori kultural edukatif dan tidak sekedar
memenuhi jumlah saja Mekanisme ialah Asosiasi Film Impor, yang
merupakan peningkatan dari Kon sorsium Film Impor, yang pada
masanya hanya bekerja sekedar memenuhi jumlah quota sehingga
yang masuk hanyalah film kelas B ke bawah yang orientasinya
komersial semata-mata. Misalnya film Edwige Fenech dan
sejenisnya. Melalui Assiasi pengertian sistim single buying
agency mulai benar-benar dilaksanakan, dalam arti hanya atau 3
orang saja yang ditugaskan membeli film impor. Hingga apabila
mereka cudah dibekali dengan petunjuk-petunjuk film impor yang
sebagaimana yang boleh dimasukkan ke Indonesia, maka Insya Allah
jenis-jenis, film yang maka kalaupun tidak 100 prosen bernilai
kultural edukatif, yang pasti tak akan bertentangan dengan
konsep kultural edukatif yang sedang digalakkan.
Dewan Film gaya baru yang akan dibentuk nanti kabarnya mempunyai
hal-hal khusus. Apa bedanya dengan Dewan Film gaya lama? Dan
kapan yang gaya baru ini akan dibentuk? Banyak bedanya, tapi
yang penting ada tiga perbedaan pokok. Satu, DF gaya baru tidak
lagi berfungsi sebagai Badan Penasehat, tapi langsung menjadi
lembaga perfilman tertinggi yang punya wenang eksekutif. Kedua,
keanggotaan yang lebih mencerminkan interaksi yang sifatnya
integral dan Itomprehensif karena melibatkan seluruh unsur yang
terlibat dalam rnasalah perfilman, baik Pemerintah, masyarakat
perfilman dan masyarakat pada umumnya. Yang ketiga, peningkatan
aktivitas Dewan Harian yang langsung membawahi tiga Konlisi
Tetap dengan bidang nugas idiil, struktural dan sosial ekonomi.
Diharapkan paling lama satu bulan DF gaya baru telah dibentuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini