Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SENYUM kini lebih banyak menghiasi wajah Mahardi Efendi. Sebelumnya, hari-hari wakil rakyat DPRD Sumatera Barat dari Fraksi Partai Amanat Nasional ini diliputi rasa waswas, tapi kini kekhawatiran sirna sudah. Beban yang selama ini seperti mengimpitnya telah terbang melayang. "Saya seperti disiram es," ujarnya kepada Tempo, Senin pekan lalu, memberikan tamsil tentang kabar yang membuatnya serasa segar itu.
Kabar itu diterima tiga hari menjelang Lebaran lalu. Waktu itu Mahardi dalam perjalanan dari kampung halamannya di Pasaman Barat menuju Padang. Pesan singkat dikirim kenalannya di Jakarta. Ada kabar baik. Hari itu Mahkamah Agung mengabulkan kasasi sepuluh terdakwa anggota DPRD Sumatera Barat periode 1999-2004 yang terjerat kasus korupsi APBD Provinsi Sumatera Barat Rp 5,9 miliar.
Selain Mahardi, sembilan terdakwa lain yang bebas adalah Marfendi, Hilma Hamid, Sueb Karsono, Hendra Irawan Rahim, Djufri Hadi, Alfian, dan Syahril B.B. Dua orang lain, Lief Warda dan Muhamad Yunus Said, sudah meninggal. Majelis hakim kasasi pimpinan Bagir Manan, dengan anggota Iskandar Kamil dan Djoko Sarwoko, membebaskan mereka dari segala tuntutan hukum. "Saya bersyukur," ujar Hendra Irawan Rahim, yang kini masih menjabat anggota DPRD Sumatera Barat. "Walau belum menjalani hukuman, hukuman dari masyarakat sangat menekan," kata Ketua Golkar Kabupaten Tanah Datar ini lagi.
Kasus korupsi APBD Sumatera Barat yang memiliki happy ending bagi 10 terdakwa ini terjadi pada 2002. Dari 55 anggota DPRD periode 1999-2004, 43 orang (40 anggota plus tiga pimpinan) terseret kasus ini. Pada Juni 2003, kasus ini masuk ruang sidang. Mereka diadili di Pengadilan Negeri Padang dan sebagian di pengadilan militer untuk anggota Fraksi TNI-Polri. Jaksa mendakwa mereka melawan hukum dalam menyusun dan menetapkan APBD 2002. Para wakil rakyat itu dinilai tidak berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD yang saat itu berlaku. Dewan malah membuat tata tertib sendiri.
Akibatnya, anggaran DPRD membengkak dari seharusnya 17 jadi 27 butir. Pembengkakan ini meliputi pemakaian dana premi asuransi jiwa dan biaya penunjang kegiatan Dewan, seperti biaya taktis, biaya telepon genggam, sampai uang kehormatan. Total penyimpangan Rp 5,9 miliar. "Tiap anggota rata-rata menerima Rp 112 juta," kata jaksa.
Jaksa tetap mendakwa anggota dan pimpinan DPRD Sumatera Barat itu melanggar PP No. 110/2000, meski pada September 2002 MA telah membatalkan aturan tersebut. Pembatalan itu juga terkait uji materi yang diajukan 43 terdakwa sebelumnya. Tapi pencabutan aturan keuangan DPRD itu tak mempengaruhi putusan.
Pada Mei 2004, hakim memutus mereka bersalah karena terbukti korupsi. Tiga pimpinan Dewan, Arwan Kasri, Titi Nazif Lubuk, dan Masfar Rasyid, dihukum penjara 2 tahun 3 bulan. Sedangkan 40 anggota divonis 2 tahun. Para terdakwa juga didenda Rp 100 juta plus membayar ganti rugi uang yang dikorupsi.
Atas putusan itu mereka banding ke Pengadilan Tinggi Sumatera Barat. Pada 24 Desember 2004, hakim pengadilan tinggi justru menambah hukuman. Tiga pimpinan DPRD dihukum 5 tahun penjara dan denda Rp 250 juta. Sedangkan 40 anggota Dewan lainnya divonis 4 tahun plus denda Rp 200 juta.
Kalah di pengadilan, para wakil rakyat lantas mengajukan kasasi ke MA. Namun putusan terhadap 43 orang itu tidak turun bersamaan. Kasasi 33 terdakwa, termasuk tiga pimpinan DPRD, diputus sejak Agustus 2005. Majelis hakim pimpinan Parman Suparman menolak kasasi tersebut.
Meski ditolak, bukan berarti 33 anggota DPRD itu masuk bui. Mereka mengajukan peninjauan kembali (PK). Lagi pula, jaksa masih menunggu putusan 10 rekan mereka lainnya di MA. Nah, setelah dua tahun lebih, pada 10 Oktober lalu, kasasi 10 terdakwa itu akhirnya diputuskan. Tapi kali ini hasilnya mengejutkan. Kasasi mereka diterima. Menurut Bagir Manan, kesepuluh orang itu terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan. Hanya, perbuatan tersebut bukan kejahatan atau pelanggaran (ontslag).
Putusan yang berbeda ini tentu saja menimbulkan tanda tanya. "Kalau ada pihak yang keberatan, ya, silakan mengajukan upaya hukum lain," kata Kepala Biro Humas Mahkamah Agung, Nurhadi. "Kedua putusan yang kontradiktif itu sama-sama produk institusi MA. Mari kita hormati."
Kepada Tempo, Bagir Manan menunjuk, banyak pertimbangan yang membuat kasasi 10 terdakwa dikabulkan. Tapi, apa pertimbangannya, ia emoh mengungkapkan. "Pertimbangannya berlembar-lembar," ujar Bagir. Djoko Sarwoko juga memilih tak berkomentar ketika ditanya mengapa ada dua putusan yang berbeda. "Hakim tak boleh mengomentari putusannya sendiri. Itu kode etik." Yang pasti, ujar Iskandar Kamil, putusan itu mereka ambil dengan suara bulat. "Naskah putusannya sampai sekarang masih disusun."
Menurut Nurhadi, inti pertimbangan majelis mengabulkan kasasi 10 terdakwa, sebelum mereka divonis bersalah oleh pengadilan negeri, PP No.110/2000 itu sudah dicabut MA. "Semestinya kan dakwaan batal demi hukum," ujarnya. Hanya, kata Nurhadi, MA tidak bisa begitu saja menyatakan dakwaan jaksa batal. Apalagi pengadilan tingkat pertama dan banding menyatakan terdakwa terbukti melakukan tindakan yang didakwakan. "Maka MA menganggap dakwaan terbukti, tapi bukan tindak pidana."
Ahli hukum tata negara Universitas Andalas Padang, Saldi Isra, tak sependapat bahwa dicabutnya PP itu sebagai alasan pembebasan. Aturan itu, ujarnya, masih berkekuatan hukum mengikat. "Kasus ini terjadi saat PP 110 Tahun 2000 masih berlaku," ujarnya. Putusan MA, ujarnya, menjungkir-balikkan logika hukum. "Tidak konsisten."
Saldi menduga ada desakan politik di balik itu. Jika kasus sama, ujarnya, seharusnya diputus bersamaan untuk menghindari perbedaan putusan. Meski berkas terpisah, itu hanya menyederhanakan, bukan memisah putusan. "Putusan ini alat pembunuh massal gerakan antikorupsi." Saldi meminta jaksa mengajukan peninjauan kembali (PK) terhadap putusan kasasi 10 terdakwa ini. "Jaksa bisa memakai putusan 33 terdakwa yang ditolak sebagai novum."
Zenwen Pador, Koordinator Forum Peduli Sumatera Barat, lembaga yang membongkar kasus ini, menduga ada skenario untuk membebaskan seluruh terdakwa. Dengan pertimbangan 10 sudah bebas, 33 terdakwa lain yang kini menunggu putusan PK bisa jadi bebas. "Jika terjadi, lengkap sudah happy ending kasus korupsi APBD Sumatera Barat."
Kejaksaan Agung sampai kini belum menentukan sikap, melakukan PK atau tidak atas putusan Mahkamah Agung. Kepada Tempo, Rabu pekan lalu, Jaksa Agung Hendarman Supandji menyatakan dirinya masih menunggu putusan PK yang diajukan 33 terdakwa lain. "Kita lihat apa putusan MA. Perbuatan mereka kan sama," kata Hendarman. Jika putusan MA itu sudah keluar, menurut Hendarman, pihaknya baru menentukan sikap.
Dimas Adityo, Febrianti (Padang)
Satu Kasus, Beda Putusan. Sampai kini ada setidaknya 67 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPRD dengan tuduhan melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000. Dari jumlah itu, 38 kasus sudah divonis pengadilan dengan putusan beragam. Ada yang bebas, ada yang harus masuk bui. Inilah di antaranya.
Kasus | Terdakwa | Proses hukum terakhir |
Korupsi Rp 4,4 miliar APBD Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah | 18 pemimpin dan anggota DPRD Kabupaten Buol periode 1999-2004 | 10 Oktober 2007, Mahkamah Agung mengabulkan kasasi 18 terdakwa dengan putusan onslag. (terbukti, tapi bukan pelanggaran pidana dan dibebaskan dari tuntutan hukum) |
Korupsi Rp 13,3 miliar | 22 anggota DPRD Bali periode 1999-2004 | Desember 2006, Pengadilan Negeri Denpasar memutus onslag. |
Korupsi Rp 6,6 miliar APBD Garut tahun 2001-2003 | 16 anggota DPRD Garut periode 1999-2004 | Desember 2006, Pengadilan Negeri Garut, Jawa Barat, memvonis bebas. |
Korupsi Rp 14 miliar APBD Provinsi Banten tahun 2003 | 3 pemimpin DPRD Banten periode 1999-2004 (Dharmono K. Lawi cs.) | Januari 2007, Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali. Mereka tetap dihukum rata-rata 4 tahun. |
Korupsi Rp 4,5 miliar APBD Toli-Toli, Sulawesi Tengah | 14 anggota DPRD Toli-Toli periode 1999-2004 | Juli 2007, MA menolak kasasi 7 anggota DPRD. Mereka tetap dihukum 5-6 tahun. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo