Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
|
Di edisi kedua buku itu, C.P. Snow menyertakan satu esai penutup dan mengharapkan lahirnya budaya ketiga, yang menyatukan budaya ilmiah dan budaya literer. Pertama kali mendengar Supernova, saya pikir inilah novel budaya ketiga di Indonesia. Begitu membacanya, dengan sedikit tersendat-sendat, terasa bahwa penulis Supernova cukup memiliki potensi untuk jadi bagian penting dari impian C.P. Snow itu. Supernova adalah novel yang ditulis dengan bakat yang lumayan, yang ditandingi oleh semangat menggebu seorang pemula yang takjub.
Bakat sastra Dee cukup terlihat pada penggunaan bahasanya. Konon, sastra, setidaknya bagi kaum formalis Rusia menurut Terry Eagleton, tak ditentukan oleh sifatnya yang fiksional atau imajinatif. Yang menentukan adalah penggunaan bahasanya yang ganjil, yang istimewa. Dengan enteng, Dee mengaduk-aduk bahasa Indonesia dengan bahasa esoterik dunia sains, diselang-selingi dengan bahasa kolokial (bahasa sehari-hari) kaum remaja. Bersama empati pada kelompok masyarakat tertentu, spontanitas, kelincahan, dan kehangatan bahasa orang muda menjelujur di sepanjang novel.
Masalahnya adalah, penggunaan bahasa Dee yang menarik itu belum bergerak jauh. Padanya tak ditemukan adanya kesadaran untuk melakukan penyimpangan sistematis dan "kekerasan" terkendali atas bahasa, yang membuat orang mampu memiliki kesadaran dramatik atas bahasa dan dunia. Kemampuan bahasa Dee bertumpu pada bakat dan intuisinya, bukan pada keterampilan yang terasah lewat pergulatan dan perenungan. Metafora-metafora yang dipilih beberapa memang mengejutkan, beberapa lagi kurang kena, misalnya, "Wajah itu datar seperti waterpas" (hlm. 21). Datar tanpa emosi dan unsur dramatis adalah satu hal, dan datar dengan presisi horizontal adalah hal yang lain lagi.
Tapi, yang paling menarik adalah bagaimana novel ini bermain dengan teori-teori ilmiah mutakhir. Tanpa teori-teori itu, novel ini menjadi sekadar kisah lika-liku cinta orang dewasa yang dibayangkan oleh se- orang kutu buku yang baru lewat akil balig. Alur novel ini sendiri mirip botol topologis Klein, tempat bagian luar botol itu sekaligus juga menjadi bagian dalamnya. Ruben dan Dhimas, yang bekerja sama menciptakan cerita, akhirnya masuk dalam cerita.
Namun, seperti halnya dengan bahasanya, pergaulan Dee dengan teori-teori itu lebih merupakan pergulatan seorang amatir yang mabuk kepayang. Bagi pembaca yang tak cukup intim dengan khazanah sains utakhir, kehadiran teori-teori yang sungguh membeludak ini pasti memukau, dan bisa jadi mengintimidasi. Tapi, efek pembacaan bisa berbeda bagi mereka yang cukup kenal sejarah dan terminologi teknis teori-teori tersebut, yang paham bahwa teori adalah skema konseptual yang terletak di pusat pemikiran yang memberi gambaran utuh hanya dalam wilayah validitasnya.
Ambil, misalnya, kalimat sains, yang sering kali harus subyektif (hlm. 4). Jika watak subyektif mendasari sains, bagaimana menjelaskan proses perumusan mekanika kuantum baru yang mengakhiri kemelut ilmu fisika di awal abad ke-20? Antara Juni 1925 dan Juni 1926, tiga teori kuantum yang berlainan lahir. Werner Heisenberg melahirkan mekanika matriks, Erwin Schrödinger melahirkan mekanika gelombang, dan Paul Dirac melahirkan aljabar kuantum. Meski dikerjakan terpisah, ketiganya secara obyektif setara. Ketiga ilmuwan ini memiliki perangai dan perilaku seksual yang berbeda. Jika sains itu subyektif, mestinya pergulatan teoretis mereka menghasilkan buah yang berbeda dan tak setara menurut subyektivitas masing-masing.
Sebenarnya, subyektivitas muncul hanya pada pengukuran kuantum, paling tidak menurut Mazhab Kopenhagen. Tapi, melakukan generalisasi pengukuran kuantum ke seluruh sains, yakni bangunan pengetahuan yang disusun sistematis lewat metode ilmiah, adalah tindakan keliru. Dee memang sempat juga menyebut Mazhab Kopenhagen, yang menurut dia memiliki interpretasi yang mirip dengan solusi Niels Bohr. Mustahil tafsir Bohr, yang berkedudukan di Kopenhagen itu, hanya mirip dengan Tafsir Kopenhagen. Di jantung interpretasi Kopenhagen itu adalah Niels Bohr. Dialah sang penggagas, sang penafsir epistemologis utama atas Teori Kuantum, yang merangkum mekanika matriks dan asas ketakpastian Heisenberg, tafsir Max Born atas mekanika gelombang Schrödinger, dan asas komplementer yang ditemukan sendiri oleh Bohr.
Perlu juga diingat bahwa Tafsir Kopenhagen bukanlah solusi atas paradoks kucing Schrödinger. Kucing Schrödinger bukanlah dilema terbesar fisikawan, dan tujuannya bukan untuk mendeteksi perjalanan partikel kuantum (hlm. 154). Teka-teki kucing dalam kotak yang disusun Schrödinger, yang tak mengira adanya kamera video itu, muncul justru untuk menunjukkan betapa tak masuk akalnya Tafsir Kopenhagen. Di ranah makroskopik, Teori Kuantum benar menampik akal dan pengalaman intuitif. Meski demikian, Tafsir Kopenhagen dengan bagus menjelaskan konsistensi internal Teori Kuantum yang tak disuka Einstein itu, yang menjadikannya teori paling akurat yang ditemukan manusia.
Erudisi yang tak diimbangi refleksi, ketakjuban yang tidak dibarengi skeptisisme, bisa dengan mudah menekuk sains jadi pseudosains. Sains dan pseudosains memang sama-sama ingin menjelaskan dunia. Tapi, sementara teori sains menyadari batas-batas penjelasannya dan berniat membuat yang rumit jadi tampak sederhana, pseudosains justru sebaliknya. Mereka membuat yang sederhana jadi tampak rumit, dan mengklaim adanya wawasan baru yang mencakup semua alam nyata dan gaib yang membawa manusia bertatap muka dengan realitas puncak.
Pseudosains gampang menggoda penulis untuk merangkai alur dan karakter yang hidupnya ditentukan oleh kejadian-kejadian kosmik sebentuk astrologi baru yang tak dapat difalsifikasi.
Teori Chaos menarik, antara lain karena ia mengaitkan pengalaman sehari-hari dengan hukum-hukum alam, lewat pengungkapan kaitan samar antara kesederhanaan dan kompleksitas, antara keteraturan dan keacakan. Tapi, belakangan, seperti dikatakan matematikawan Ian Stewart, chaos telah menjadi dalih atas tiadanya keteraturan atau kendali. Padahal, Teori Chaos adalah suatu teknik memperlihatkan keteraturan yang tersembunyi atau metode untuk mengendalikan suatu sistem yang mula-mula disangka tak teratur. Chaos pun merosot nilainya karena diobral sebagai hakikat kenyataan. Setinggi apa pun tingkat kesempurnaan sebuah tatanan, demikian yang ditulis dalam Supernova, dapat dipastikan chaos selalu ada, membayangi seperti siluman abadi (hlm. 3).
Karena chaos dikira hakikat kenyataan, mudah saja untuk menjadikan kekacauan, juga ketaklogisan, menjadi bangunan cerita. Di sini, chaos, seperti juga relativitas, jadi peluang untuk memperalat, bahkan menindas, cerita dan karakter sesuai dengan prasangka sang penulis. Diva adalah karakter paling menarik di novel ini. Cerdas, berwatak, dan cantik, ia dengan semena-mena dijadikan pelacur. Selain berguna menyebarkan pengertian salah tentang relativitas, pelacuran Diva dikira berguna untuk memprovokasi pengertian pembaca akan pelacuran. Diva, toh, cuma melacurkan tubuhnya, sementara banyak orang melacurkan pikirannya. Seakan-akan pikiran dan tubuh adalah dua hal yang terpisahkan, seakan-akan mereka yang melacurkan tubuhnya tidaklah melacurkan pikirannya.
Bagi mereka yang bersikap serius dan setia pada sejarah, konvensi, dan perkembangan faktual sains, oplosan teori-teori mutakhir sains pada novel Supernova akan terasa mengganggu, bagai kerikil mungil dalam mulut. Saya mencoba mengatasi dengan menangguhkan dulu pengetahuan tentang sains, bersikap reseptif, dan berupaya memahami apa yang sebenarnya ingin ia katakan, bukan apa yang tertulis. Juga dengan melihat bagaimana kata-kata besar dan teori-teori esoterik memabukkan pikiran, dan bagaimana pikiran aktif mengonsolidasi diri dengan informasi yang tak lengkap dan konsep-konsep yang spekulatif. Hasilnya, kerikil-kerikil itu jadi poin penghibur yang dengan periodik memancing tawa lepas.
Semangat Dee memperkenalkan sains layak mendapat pujian. Memperkenalkan sainsterutama metodenya, yang jauh lebih bernilai dari pencapaiannyaadalah keharusan di negeri yang relatif buta sains ini.
Menyalakan rasa penasaran publik akan batas terjauh penjelajahan sains, meski lewat paparan yang tak lengkap, bahkan lumayan nekat, mungkin masih bisa diterima. Sekali obor keingintahuan menyala, orang bisa mencari sendiri penjelasan yang lebih mantap. Upaya menghidupkan api ini sudah pernah dilakukan oleh sejumlah pakar, termasuk Daoed Joesoef. Tapi, dua tulisan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu, tentang krisis metafisis ilmu pengetahuan dan geometri fraktal, yang disampaikan di ITB, tak mendapat sambutan seheboh novel Supernova. Dee memang memiliki sesuatu yang lebih, yang akan menjulang jika ia mendapat komunitas literer dan ilmiah yang terus menempanya.
Nirwan Ahmad Arsuka *) Sarjana nuklir UGM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo