Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Surabaya - Konsulat Jenderal Australia untuk Jawa Timur dan Jawa Tengah menggelar 25 foto berita serta 8 buah lukisan sketsa perang Surabaya 45 karya seniman Tony Rafty. Mengangkat tema “Two Nations: a Friendship in Born,” sejumlah foto dan lukisan bersejarah itu dipamerkan di Museum De Javasche Bank, kawasan Kota Lama Surabaya sejak 19 November hingga 6 Desember 2024.
Konsul Jenderal Australia untuk Jawa Timur dan Jawa Tengah, Glen Askew, menuturkan pameran tersebut sekaligus menandai 75 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Australia. Hubungan kedua negara, kata Askew, sangat erat karena tak lama setelah proklamasi 17 Agustus 1945 Australia merupakan negara asing pertama yang mengirim misi diplomatik untuk menemui Presiden Sukarno.
Australia kemudian dipilih Indonesia sebagai wakilnya dalam negosiasi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang akhirnya menghasilkan kemerdekaan. “Jadi hubungan Indonesia-Australia ini sesungguhnya sudah terjalin lama, lebih dari 75 tahun. Hubungan antarmasyarakatnya bahkan terjalin sejak sebelum Indonesia merdeka,” tutur Askew di sela-sela pembukaan pameran, Selasa malam, 19 November 2024.
Askew berujar maskapai penerbangan nasional Asutralia, Qantas, melakukan penerbangan internasional pertamanya pada 1935 sebagai bagian dari apa yang dikenal sebagai jalur kangguru. Perjalanan pertama itu berhenti di Surabaya dalam perjalanan ke Singapura.
“Minggu lalu saya juga mengunjungi asrama Inggrisan di Banyuwangi yang sekitar 1870 merupakan stasiun kabel telegraf bawah laut yang menjadi penghubung komunukasi antara Australia dengan Asia dan Eropa, serta merupakan jalur kabel bawah laut di Indonesia dari Kota Darwin (Australia) ke Banyuwangi,” kata Askew.
Bentuk dukungan warga Australia pada kemerdekaan Indonesia juga dipamerkan dalam narasi foto-foto bersejarah tersebut. Dinyatakan bahwa pada Agustus 1945 di luar Kota Sydney, Woolloomooloo, sekelompok warga Indonesia berkerumun mengitari radio gelombang pendek di kantor Serikat Buruh Pelaut Indonesia.
Mereka memonitor setiap kata dari Radio Batavia. Ketika berita disiarkan untuk mengumumkan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, mereka menari-nari gembira. Pada akhir Perang Dunia II, deklarasi tersebut berdampak kecil di berita dunia, sehingga siaran radio sangat penting.
Tukliwon adalah pelaut Indonesia berusia 20 tahun, di salah satu kapal Belanda yang melarikan diri ke Australia setelah serangan Jepang pada 1942. Ia bekerja di feri Pelabuhan Sydney selama perang. Sehari setelah ia mendengar siaran proklamasi tersebut, ia berjalan ke kota untuk memberitahu Serikat Buruh Pelaut Australia, yang menjanjikan dukungan mereka.
Beberapa hari kemudian Tukliwon dan kawan-kawan pelautnya diberitahu bahwa Belanda menginginkan para awak kapal Indonesia untuk membawa kapal-kapal tersebut kembali ke Jawa. Mereka pun menolak. Serikat Buruh Pelaut Australia meminta para anggotanya untuk menerapkan “embargo pada semua kapal yang membawa amunisi atau bahan-bahan lain yang digunakan untuk melawan pemerintah Indonesia.
Pada 24 September 1945 boikot terhadap pelayaran Belanda yang telah diadakan di Brisbane dan Sydney meluas ke Melbourne dan Fremantle. Boikot ini dengan cepat meluas ke serikat-serikat buruh industri maritim terkait –tukang ketel, teknisi, pekerja-besi, tukang cat kapal dan petugas dok, tukang kayu, petugas gudang, juru tulis dan awak kapal pandu.
Di Brisbane, kapal Belanda Van Heutz, yang berisi para pejabat pemerintah, tentara dan senjata Hindia Belanda tidak dapat meninggalkan pelabuhan. Pada akhirnya, tanpa perahu pandu, sedikit batubara dan perbekalan, Van Heutz tertatih-tatih berlayar dari Brisbane ke Jawa.
Pada 28 September 1945 para pekerja pelabuhan di Sydney membawa spanduk bertuliskan “Lepaskan Indonesia” melakukan demonstrasi di luar kantor-kantor perusahaan pelayaran dan diplomatik Belanda. Pada Oktober aksi-aksi tersebut semakin meningkat. Dewan Perdagangan dan Buruh mengeluarkan selebaran dengan perintah kepada para anggota serikat buruh. Berita tersebut muncul di koran The Sydney Morning Herald edisi Sabtu, 26 Juli 1947.
Menariknya, dalam pameran tersebut juga dimunculkan delapan buah lukisan sketsa Tony Rafty yang merekam suasana perang Surabaya 1945. Seniman asal Australia itu menggambar langsung apa yang ia saksikan di depan mata. Pada semua lukisan Rafty tertera bahwa karya seni itu dibuat pada November 1945.
Rafty, yang meninggal pada 9 Oktober 2015 lalu, juga pernah menggelar pameran sketsa perang Surabaya tersebut di Gedung AJBS dan Hotel Majapahit beberapa tahun yang lalu.
Pilihan Editor: Australia Donasi 500 Ribu Vaksin Lumpy Skin Disease ke Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini