Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Panggung, Sebuah Karya Seni

Perkembangan seni rupa di Jerman saling mempengaruhi dengan perkembangan dunia teater. Di Taman Budaya Yogya digelar pameran besar karya para perupa Jerman yang pernah bekerja di teater.

26 September 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua kontainer berisi materi instalasi seni rupa dari Jerman ”mendarat” di Taman Budaya Yogyakarta, pekan lalu. Telah hampir sembilan tahun ”obyek-obyek” itu berkeliling, dipamerkan di negara-negara Eropa dan Asia. Dan kini, atas jasa Goethe Institut Jakarta, mereka di depan kita.

Pameran ini menyajikan berbagai karya para perupa Jerman yang pernah menjadi perancang set (skenografi) teater modern Jerman, minimal terinspirasi oleh naskah-naskah teater. Panggung sebermula adalah ruang kosong. Ia adalah wilayah tak bertuan. Set, tata cahaya, properti, akan membuat para aktor yang berlaga berada dalam sebuah ruang imajiner. Di Jerman, gagasan visual dari dunia seni rupa disadari semakin penting untuk menggairahkan fantasi tata panggung pertunjukan teater.

Pameran ini digagas oleh kurator Wolfgang Storch. Pria tinggi besar ini, dalam ceramahnya di Taman Budaya Yogya, menayangkan pelbagai film pendek tentang karya perupa Jerman terkini. Ia ingin membuktikan kecenderungan para perupa Jerman kontemporer yang sangat bervisi teater.

Menurut Storch, dalam sejarah seni Jerman, hubungan para perupa dengan teaterwan sangat dekat. Bertold Brecht, dramawan besar, misalnya, memiliki teman karib seorang pelukis bernama Caspar Neher yang banyak memberi inspirasi untuk karyanya. Tapi Brecht tak pernah menempatkan Caspar dalam posisi layak. Ia tetap menganggap, dalam teater, sutradaralah yang paling berkuasa.

Dunia berubah. ”Para penata panggung Jerman kini sejajar dengan sutradara,” kata Yudi Tajudin, sutradara Teater Garasi yang belum lama ini berkelana ke sarang-sarang teater Berlin. Daya tawar para penata panggung Jerman kuat. Teater bukan lagi teater sutradara—seperti zaman Brecht yang semua dikendalikan secara artistik oleh sutradara.

Pameran bertajuk Mata Panggung ini menampilkan karya 19 perupa. Memasuki ruang pameran, pengunjung dipaksa berpikir keras. Bayangan bahwa karya-karya yang tampil akan berupa maket atau setidaknya punya kaitan praktis dengan set panggung menjadi buyar. Betul-betul karya personal yang membuat kita merenung: di mana letak hubungannya dengan teater? Tapi, justru di sinilah daya tariknya. Ketika perupa itu terlibat dalam kerja teater, ia menyadari betul bahwa karyanya untuk kepentingan kolektif. Sementara itu, bila ia mengambil jarak, ia akan mampu mengambil ekstraknya. ”Bentuk tafsirannya atas teks teater malah menyegarkan,” kata Yudi Tajudin.

Sebuah katalog, untungnya, memberikan panduan kepada kita. Katalog itu menjelaskan riwayat karier para perupa itu berhubungan dengan dunia teater. Gunther Uecker, perupa yang baru saja berpameran tunggal di Bentara Budaya, Jakarta, dengan tema kekerasan itu ternyata pernah menggarap set drama seperti Tristan und Isolde. Dalam pameran kali ini, ia menafsirkan opera Der Ring des Nibelungen (Cincin Nibelungen) karya Richard Wagner. Karyanya berupa drawing dalam bingkai-bingkai kecil.

Yang paling menunjukkan hubungannya dengan teater adalah karya Klaus von Bruch berjudul Artaud Sprich vor den Soldaten (Artaud Bicara tentang Para Serdadu). Kita tahu, Antonin Artaud adalah pelopor Poor Theater (Teater Melarat) yang mencari berbagai insting purbawi. Von Bruch menampilkan karya materi sebuah rumah kaca. Di tembok dan sisi-sisi ”rumah kaca” itu tersorot slide film. Satu bergambar tengkorak yang meloncat-loncat dan bernyanyi aneh—sebuah tarian kematian. Yang lainnya, wajah para remaja yang menjadi tentara.

Ada perupa yang menggunakan boks-boks perlengkapan teater. Karya Rainer Gross berjudul Skene & Eos Dramata mengolah peti-peti kemas bekas pengangkut properti teater. Satu boks petinya masih mempunyai cap ”theater exhibition”—ia memasang rangkaian lampu di dalamnya. Lalu peti kemas lain dibentangkan seperti salib. Di atas papan salib itu ada topi-topi dari kayu, sementara di bawahnya ada model sepatu-sepatu kayu. Salib itu seperti menindas sepatu itu.

Paling menarik adalah karya yang menampilkan permainan ruang, bidang-bidang, dan instalasi suara. Tengoklah karya Carlfriedrich Claus, Sehen? Horen? Melihat? Mendengar? Ia menciptakan ruangan seperti sebuah ruang tunggu dengan posisi melingkar. Di situ ada bangku-bangku, kaca tembus pandang, dan sketsa-sketsa. Bila kita duduk, terdengarlah gemerisik suara. Juga Mittle Platz karya Hans Peter Kuhn. Empat balok kayu membentuk bidang bujur sangkar, di tengahnya sebuah kursi. Bila kita duduk, dari empat penjuru mengalir suara yang berbeda, yang seolah terangkum pada diri kita.

Karya Ute Weiss Leder, Walking Down the Street, juga menampilkan karya dengan konsep serupa. Empat bidang cembung dari materi plexiglass. Di tiap bidang itu kita bisa berdiri, mengintip, dan mendengarkan gemeresak suara seperti ocehan. Ketika tentara Rusia meninggalkan Jerman, banyak benda peninggalan Rusia dijadikan materi instalasi oleh para seniman Jerman. Wolfgang Storch melihat banyak kepedihan dan perasaan yang tetap tak bisa diperlihatkan secara visual. De-ngan instalasi itu, Ute ingin menangkap ”sound of silence”—kesakitan yang terpendam.

Die Legende de Farbe(Legenda Warna) karya Qin Yufen adalah karya menarik lainnya. Karya ini pernah menjadi bagian set dari pementasan Berliner Ensemble. Dua puluh kemeja khas pejabat Cina berwarna biru kehitaman dan kuning digantungkan tinggi-tinggi dengan terusan rok sutra putih lurus panjang. Di dalam sutra itu disematkan mikrofon kecil yang sayup-sayup memperdengarkan nyanyian. ”Ini metafora arwah, warna putih dalam kebudayaan Cina adalah warna perkabungan,” kata Qin Yufen dalam sebuah wawancara, seperti tertera dalam katalog. Irama sayup-sayup musik itu ternyata diambilnya dari musik-musik propaganda zaman revolusi kebudayaan.

Sesungguhnya hubungan antara teater dan perupa kita cukup akrab. Danarto, misalnya, pernah membuat set untuk Teater Kecil. Diya-nto sering menata panggung Teater SAE dan Unlimited Actor. Atau, etsa-etsa karya Tisna Sanjaya banyak bertema nas-kah teater seperti Pesta Para Pencuri Jean Anouhl. Dan almarhum Rudji-to adalah maestro—bisa dibilang, ia me-nangani seluruh set teater modern kita. ”Karya-karya set Rudjito itu sen-diri bisa dibilang karya seni rupa,” kata Pu-tu Wijaya. Rudjito, menurut Putu, da-lam menyiapkan set sebuah teater tidak merancang dari awal, tapi tumbuh bersama dengan proses latihan. Betapa-pun demikian, harus diakui, ”Perkembangan skenografi dunia teater kita tak begitu semarak gagasan.”

Melengkapi pameran ini, diad-akan work-shop mengenai Mesin Hamlet karya Heinrich Muller bersama Bert Neumann dari Teater Volksbuhne Berlin. Mesin Hamlet (Hamlet Machine) disebut-sebut sebagai naskah yang sa-ngat menantang untuk sebuah tafsir pang-gung. Tahun depan, naskah ini akan dimainkan oleh Teater Garasi. ”Bert tidak mentransfer pengetahuan teknik, tapi memberikan pengetahuan bagaimana cara menyikapi benda dan teks,” kata Yudi Tajudin.

Ini adalah pengalaman berharga ba-gai teaterwan kita. ”Ketika Ong Kek Sen (sutradara Singapura) mementaskan King Lear di Berlin dengan panggung seperti lambung kapal, di sana terjadi diskusi serius atas set itu,” kenang koreografer Jecko Siompo, yang menjadi salah satu penari King Lear. Ini menunjukkan bagaimana set karya teaterwan Asia juga diakui di Berlin. Pameran ini kiranya bisa memberikan stimulus tentang pentingnya hubungan antara teater, skenografi, dan karya rupa.

Seno Joko Suyono (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus