Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran Peringatan 111 Tahun Sultan Hamengku Buwono (HB) IX yang mengusung tema Rindu Rajaku.
Sebanyak 23 perupa menghadirkan karya dengan beragam tafsir dan gagasan.
Pemimpin harus hadir dalam tiap napas kehidupan rakyatnya, bukan hanya saat pergantian takhta dan pemilu.
Patung KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur duduk mojok di atas kursi roda di bekas Gedung KONI DIY yang kini menjadi ruang pamer Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Baju yang dikenakan tak biasa. Tubuhnya dibalut surjan cokelat bergaris dan kain jarik batik. Kepalanya dibebat belangkon dan kaki beralas sandal jepit hitam. Posisi kepala agak miring ke kiri, seolah-olah tengah mendengarkan serius suara-suara di sekitarnya. Seorang pengunjung berpose jongkok sambil sungkem Gus Dur sembari difoto temannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Uniknya, patung sosok presiden ke-4 Indonesia itu duduk sendirian di tengah lukisan-lukisan tentang Peringatan 111 Tahun Sultan Hamengku Buwono (HB) IX yang mengusung tema “Rindu Rajaku” yang digelar pada 17-22 Mei 2023. Menurut Dunadi, seniman yang membuat patung Gus Dur itu, karya tersebut menjadi pilihan karena Sultan Hamengku Buwono X pernah melarang membuat patung ayahnya. Larangan itu disampaikan HB X saat Dunadi meminta izin membuat monumen HB IX dalam pertemuan keduanya pada 2008.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Jangan," kata Sultan (HB X). Makanya sampai sekarang tidak ada monumen patung HB IX. Kalau setengah badan ada,” kata pematung Monumen Panglima Besar Jenderal Sudirman di Mabes TNI di Cilangkap pada 2019 itu saat dihubungi Tempo melalui telepon seluler, Jumat malam, 19 Mei 2023.
Akhirnya, pilihan jatuh pada patung Gus Dur. Sosok pemimpin sederhana yang merakyat, toleran, dan berjiwa besar. Karakter kepemimpinan itu yang menurut Dunadi adalah persamaan antara HB IX dan Gus Dur. “Sama-sama berjiwa besar dan sederhana,” ucap Dunadi. Karena itu pula, Dunadi menjadikan celetukan familier Gus Dur “gitu aja kok repot” menjadi judul karyanya tersebut.
"Gus Dur" karya Dunadi dan lukisan karya Heru Dodot dalam pameran seni rupa mengenang 111 tahun Sri Sultan Hamengku Buwono IX bertajuk "Rindu Rajaku" di Museum Sonobudoyo Yogyakarta, 19 Mei 2023. TEMPO/Pito Agustin Rudiana
Di dinding sebelah kiri patung Gus Dur terpampang lukisan berukuran besar karya perupa realis Heru Widodo, yang akrab disapa Dodot. Ia menampilkan kekhasannya, yakni menggunakan material seng dan lukisan mata uang dolar. Material seng dibentuk berlekuk-lekuk sehingga menyerupai daratan dan perbukitan panjang. Dodot memolesnya dengan cat warna kuning, merah, dan abu-abu.
Dodoy melukis uang dolar membentuk kupu-kupu besar. Wajah-wajah Presiden Amerika Serikat pada mata uang itu ia ganti dengan wajah HB IX. Di sebelahnya ada kupu-kupu lebih kecil. Dodot menganalogikan proses kelahiran raja atau pemimpin yang punya nama harum seperti metamorfosis ulat menjadi kupu-kupu. Ada pemimpin yang rakus seperti ulat. Ada juga pemimpin yang menawan seperti kupu-kupu. Dan proses metamorfosis menjadi kupu-kupu itulah yang sangat dirindukan rakyat.
Lewat karyanya, Dodot menyampaikan pesan bahwa peringatan 111 tahun HB IX layak dijadikan pembelajaran untuk mengelola negara dan mengayomi rakyat. Bahwa pemimpin harus hadir dalam setiap napas kehidupan rakyatnya. Bukan hanya saat pergantian takhta raja maupun momentum pemilihan umum. “Maka, pameran inisiatif rakyat seniman ini adalah momentum mawas diri,” kata Dodot.
Kerinduan akan sosok pemimpin juga ditorehkan perupa Wuri Hantoro. Secara imajiner, Wuri menghadirkan HB IX meriung dalam satu meja dengan para tokoh bangsa lainnya. Pada satu kanvas berlatar jingga itu tampak pula presiden pertama Sukarno, Panglima Besar Jenderal Sudirman, Pangeran Diponegoro yang dinilai mbalelo dari keraton, pendiri Muhammadiyah Kiai Ahmad Dahlan, dan pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Kiai Hasyim Asy’ari. Tampak HB IX yang mengenakan setelan jas gelap tengah berbicara dengan sebatang rokok terselip di jari. Sedangkan lima tokoh lainnya menyimak.
“Itulah HB IX bisa mengumpulkan orang-orang top negeri ini. Untuk apa? Rapat mikirin negara,” kata kurator pameran Taufik Ridwan kepada Tempo.
Ketokohan Pangeran Diponegoro juga dimunculkan dalam lukisan perupa Setyo Priyo Nugroho yang diberi judul Berbisik Leluhur. Setyo melukis sosok HB IX tengah duduk di singgasana dengan baju surjan hitam putih. Pandangan matanya tajam ke depan. Di belakangnya terbentang lukisan Raden Saleh tentang kisah penangkapan Diponegoro oleh tentara Belanda yang mengkhianati perjanjian.
Lukisan "Berbisik Leluhur" karya Setyo Priyo Nugroho dalam pameran seni rupa mengenang 111 tahun Sri Sultan Hamengku Buwono IX bertajuk "Rindu Rajaku" di Museum Sonobudoyo Yogyakarta, 19 Mei 2023. TEMPO/Pito Agustin Rudiana
Taufik mengungkapkan, pameran tersebut merupakan inisiatif para seniman yang notabene adalah rakyat. Ada 23 perupa yang ikut berpartisipasi sebagai bentuk kepedulian kepada bangsa dan keistimewaan Yogyakarta. Mereka adalah para seniman yang telah lahir saat HB IX berkuasa. Lalu, apakah tema “Rindu Rajaku” merupakan bentuk kritik para seniman terhadap kepemimpinan raja saat ini? Taufik Ridwan tertawa kecil.
Menurut Taufik, ada lukisan yang menyampaikan kritik. Ia menunjuk sebuah lukisan berlatar hijau segar yang menggambarkan pepohonan belantara hutan. Kemudian di tengahnya berdiri kursi singgasana raja berwarna hijau pula yang dihiasi bunga kamboja. Di atasnya tergolek mahkota raja berwarna merah. Di depan singgasana terdapat kolam kecil dengan bebatuan. Burung bangau dan merpati putih tampak berdiri di seputar singgasana.
“Jadi, raja itu tak seindah yang dibayangkan. Kadang panas karena orang tak suka. Tapi ada juga yang suka sehingga dirindukan,” Taufik menjelaskan lukisan karya Syarif Hidayat itu.
Di satu ruangan di sisi belakang ruang pamer juga dipajang lukisan wajah HB X dan HB IX dalam kanvas berbeda. Lukisan yang berdampingan berupa mozaik dari susunan keramik itu dibuat perupa asal Klaten, Anshori. Wajah HB X dilukiskan tengah tersenyum. Ia mengenakan beskap merah dan berbelangkon.
Adapun HB IX digambarkan mengenakan pakaian tanpa lengan dan berkalung dengan bandul liontin besar. Serta mengenakan ikat kepala putih yang membentuk kuncung di depannya. Senyumnya pun merekah hingga memperlihatkan deretan giginya yang putih. Penampakan sosok ini mengingatkan pada tokoh Punakawan, Semar. Anshori memberi judul kedua karyanya itu: Bukan Raja Biasa/Pangemong.
PITO AGUSTIN RUDIANA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo