TERSEBUTLAH penyanyi Emilia Contessa, yang rupanya agak grogi
mengikuti Pemilihan Bintang Radio dan Televisi (PBRT) tahun ini.
Ia lapor kepada Pranadjaja, si empunya Bina Vokalia Jakarta:
"Oom, saya takut, baru sekali ini ikut" -- tutur Pranadjaja.
Sebab "dalam pemilihan bintang radio itu ada penilaian teknik,
penilaian penghayatan dan sebagainya, lain dengan festival lagu
pop, misalnya," sambung Pranadjaja, tersenyum.
Itulah mengapa Pranadjaja. salah seorang juri jenis seriosa
tahun ini (juga pernah menjadi juri Pemilihan Bintang Radio
1968 dan 1974) masih menaruh harapan. PBRT agaknya masih
dipandang.
Pun Sumaryo L.E., Ketua juri jenis keroncong, menganggap perlu
PBRT diadakan lagi. "Masih bisa untuk patokan bagaimana menyanyi
yang baik itu," kata Ketua Akademi Musik Lembaga Pendidikan
Kesenian Jakarta itu.
Memang, orang seperti tak lagi terpukau pada PBRT. Tak lagi
seperti tahun 50-an, ketika masih bernama PBR saja (sebelum
1974). Sebabnya tentu ada. "Kini banyak festival lain yang lebih
populer," kata Sumaryo. Bagi Pranadjaja, terputusnya
penyelenggaraan PBRT amat merugikan wibawa lomba menyanyi ini.
Lomba ini diselenggarakan tiap tahun sejak 1951-1968, kemudian
terhenti. Muncul lagi 1974 dan 1975. Sesudah itu baru minggu
lalu.
Si juara jenis seriosa tujuh kali, Pranawengrum Katamsi, juga
merasakan menyusutnya bobot PBRT "Kebanggaan menjadi juara
rasanya berkurang," katanya. "Mungkin karena pesertanya makin
mundur kualitasnya."
Zaman memang berubah. Ketika penyanyi hanya bisa populer lewat
RRI atau pertunjukan langsung, lomba ini memang sangat
dipandang. Meski waktu itu pemenang hanya mendapat piala,
namanya jadi buah bibir, dan setiap suaranya mengalun lewat
radio setiap telinga dipasang baik-baik.
Kemudian muncul yang disebut musik pop, yang dekat dengan jenis
lagu "hiburan" (meski sebenarnya agak sulit merumuskan
perbedaannya) -- yang segera ditopang industri kaset. Justru
waktu itu lomba menyanyi yang diselenggarakan RRI macet. Tentu
saja yang mendapat angin untuk terus berkembang hanyalah jenis
pop itu.
Dua jenis yang lain, seriosa dan keroncong, pelan-pelan memudar.
Apalagi "sudah lama seriosa dan keroncong seperti absen dari
radio, tv dan kaset," kata Pranadjaja. Dengan sendirinya itu pun
mengurangi gairah mereka yang hendak menggeluti dua jenis lagu
itu. "Untuk apa?" Bahkan generasi yang lahir pertengahan tahun
50-an ke mari, jarang yang kenal lagu seriosa. Dan lagu seriosa
ciptaan baru praktis tak ada.
Suyudono H.R., pimpinan Bina Vokalia Yogyakarta sejak 1977,
menyebut alasan lain bagi surutnya peminat keroncong dan seriosa
"juara festival pop kemudian mendapat tawaran rekaman. Juara
keroncong dan seriosa, setelah mendapat piala, selesai,"
gerutunya.
Pranadjaja yang optimistis terhadap PBRT pun mengakui ini.
Itulah sebabnya dengan Bina Vokalianya ia berniat menanamkan
apresiasi musik, khususnya bibit-bibit seriosa, kepada
anak-anak. Juga sang juara 7 kali Pranawengrum, yang kini sibuk
melatih paduan suara ibu-ibu dan anak-anak. "Ini termasuk
pengkaderan dan apresiasi seriosa," katanya. Dan tentu juga Bina
Vokalia di Yogyakarta.
Usaha yang boleh dibilang kecil-kecilan itu tentulah sulit
melawan industri musik pop. Itulah mengapa Pranadjaja mengajukan
satu resep: kalau kita mau benar-benar membina musik yang baik,
menurut dia, "ya masukkan pelajaran musik sejak sekolah dasar."
Padahal sekolah, dari SD sampai SLTA memang ada pelajaran seni
suara -- hanya bukan rahasia lagi bahwa statusnya dianggap
remeh. Bahkan lagu kanak-kanak bermutu seperti ciptaan Pak Kasur
dan Ibu Sud, kini tersisih oleh pop anak-anak.
Tapi orang RRI menolak PBRT dikatakan kekurangan pamor. "Kita
melihat PBRT tidak dari penonton, tapi dari peserta," kata
Tantrawan, anggota Panitia BRT 1980. Di tingkat nasional tahun
ini, peserta memang lumayan: 127 orang dari 27 provinsi. Yang
lolos ke babak final 36, masing-masing 6 pria, 6 wanita untuk
tiap jenis. Toh diakui juga oleh Tantrawan, pengkaderan jenis
keroncong dan seriosa kurang. Pemenangnya juga angkatan lama.
Jadi, ya memang menurun.
Lebih-lebih Binsar Sitompul, musikus dan pensiunan pegawai RRI
yang anggota juri jenis seriosa (yang lagunya, Doa, dijadikan
lagu wajib seriosa wanita). Rupanya dia agak kecewa -- karena
belum terlihat gagasan baru dalam PBRT 1980 ini. Dan itu memang
masalah yang, bersama dengan soal akan diadakannya kembali PBRT
Remaja (pernah sekali, 1976) atau tidak, akan dibicarakan dalam
satu lokakarya.
Dengan ketentuan juri untuk jenis serio sa P. Gito Martoyo,
jenis keroncong Sumaryo L,E. dan jenis hiburan Tim Kantoso, PBRT
1980 menelurkan juara-juara:
Seriosa wanita: I. Pranawengrum Katamsi (Jakarta) II. Aty
Sudaryanto (Ja-Bar) III. Susanty Sutadi (Yogyakarta).
seriosa pria: I. Teddy Sutadi (Yogyakarta) II. A,R. Empie
(Jakarta) III. Lekatompessy (Maluku).
Keroncong wanita: I. Sri Hartaty (Yogyakarta) II. Herlien
Radjiman (Ja-Bar) III. Henny Tomasoa (Maluku).
Keroncong pria: I. Subardjo H.S. (Yogyakarta) II, Toto Salmon
(Jakarta) III. Suardi Salim (Sum-Bar).
Hiburan pria: I Herry Sumarto (Sul-Ut) II, Marten Tamtelahitu
(Maluku) III. Midi Munawar (Kal-Tim).
Hiburan wanita: I. Zwesty Wirabhuana (Jakarta) II. Emilia
Contessa (Jakarta), III. Dewi De Keizer (Sul-Sel).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini