Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Brecht yang penuh tawa

Karya bertolt brecht, sutradara basuki rachmat, produksi group teater surabaya & bengkel muda surabaya. resensi oleh bambang bujono. dipentaskan digedung purna budaya, jogja. (ter)

29 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LINGKARAN KEADILAN Karya: Bertolt Brecht Sutradara: Basuki Rachmat Produksi: Grup Teater Surabaya & Bengkel Muda Surabaya DI panggung, Hakim Soponyono memang kocak. Ia sering kehilangan palu. Tapi ia dipuja rakyat: pengadilannya betapapun selalu membela orang kecil. Itulah fokus drama Bertolt Brecht Der Kaukasische Kreidekreis, yang diindonesiakan oleh Basuki Rachmat menjadi Lingkaran Kapur Putih (kemudian judulnya diubah: Lingkaran Keadilan). Dipentaskan oleh gabungan Grup Teater Surabaya dan Bengkel Muda Surabaya, plus Sekolah Menengah Karawitan (SMKI) di sana, tontonan ini disambut oleh para pengunjung yang memenuhi separuh kapasitas Gedung Purna Budaya, Yogya, 18 Maret kemarin. Itu sudah merupakan sukses besar di Yogya -- kecuali untuk Bengkel Teater -- mengingat ruangan yang luas itu. Tontonan ini memang dibawa berkeliling. Dipentaskan pertama di Surabaya awal Desember tahun lalu dan Maret tahun ini. Lalu di Jakarta 14 & 15 Maret, mengambil tempat di ruang Olah Seni Direktorat Pembinaan Kesenian. Naskah Brecht yang satu ini agaknya begitu menarik. Tiga teaterwan kita menerjemahkannya: mula-mula Rendra, kemudian Suyatna Anirun, dan kini Basuki Rachmat. Yang paling berusaha menyesuaikan dengan lingkungannya, rupanya Basuki barusan ini. "Saya lebih banyak memberi kesempatan berimprovisasi kepada pemain," kata sutradara itu seusai pementasan di Jakarta. Dan dengan mengambil gaya campuran ludruk, ketoprak dan wayang orang, memang terasa karyanya kali ini jauh lebih akrab dibanding pementasannya yang lalu, Anastasia karya Marcel Maurette (1974) dan Labirin karya David Guerdon (1975). Srimulat Satu hal saja: kalau Rendra tetap mempertahankan nama dari Brecht (ada Grushka, ada Mikael, ada Azdak), Basuki, redaktur Jaya Baya, majalah mingguan berbahasa Jawa, mengubahnya menjadi nama-nama yang sekaligus menunjukkan sifat peran itu dan (bagi yang paham) lucu. Misalnya permaisuri bernama Gusti Putri Drembowati (putri yang rakus) raja bergelar Prabu Mustokodowo (kepala panjang) nama hakim itu Soponyono (siapa mengira). Tapi lebih penting ialah gaya teater tradisi. Di pentas tak terasa ada pengarahan bloking atau akting semua datang seperti atas inisiatif pemain sendiri. "Memang hanya garis besar. Selebihnya saya serahkan pemain," kata Bas. Sehingga ketika berpentas di Surabaya, seorang penonton nyeletuk: "Kok, seperti Srimulat," tutur Basuki. "Dinilai begitu, saya senang," katanya. Itu memang bukan hal baru. Pementasan Rendra, Arifin, masyhur bertolak dari teater tradisi. Hanya bila pada keduanya betapapun kesan adanya naskah tak dihilangkan (terutama Rendra), pada Basuki kali ini benar-benar kita merasa menonton ketoprak. Apa lagi ada gamelan yang menghibur. Pertunjukan yang makan waktu sekitar 3« jam ini lancar bagi mereka yang suka lelucon dan waktu memang terasa singkat. Hanya, mereka yang mencoba mencari tata adegan yang bagus misalnya, atau akting yang mengesan secara visual, akan tidak berhasil. Juga kesan kebulatan pementasan -- dari adegan awal sampai akhir -- meski soal ini justru sering lebih "parah" dalam teater rakyat yang asli. Marxisme Nilai rata-rata pemain sendiri sebenarnya belum mendukung konsep Basuki. Kesiapan untuk benar-benar santai namun tanggap terhadap suasana, boleh dikata hanya dimiliki pemeran Hakim Soponyono, pemeran istri petani dan pemeran Penghulu. Sang hakim ini (Bawong S. Nitiberi) memang boleh. Misalnya dalam adegan persidangan, ketika berkali-kali para penggugat atau terdakwa bikin ribut, pak hakim mengetuk-ngetukkan palu. Tapi ketika penonton ketawa oleh ulahnya, pak hakim juga mengetuk-ngetukkan palu. Sayang tampaknya belum semua pemain punya 'kesadaran lingkungan' seperti itu -- kalau bukan konsep sutradaranya yang tidak mempertimbangkan hal itu. Tidak berarti sutradara tidak "memanfaatkan situasi". Di Yogya misalnya. Karena Purna Budaya terletak di tengah kampus UGM, yang waktu itu sedang penuh corat-coret NKK, Ki Dalang dalam pementasan itu banyak mengutip isi poster-poster anti-NKK itu. Betapapun, ini sebuah Brecht yang penuh tawa -- dan karenanya terasa ringan. Kerugian dari konsep macam itu -- yang telah berhasil menghadirkan sebuah tontonan yang menyenangkan ialah menipisnya pesan alias misi keadilan yang dibawa oleh naskah. Brecht tak terasa menggigit. Ia seperti bukan seorang yang kecewa, oleh kehidupan kelas menengah, dan karena itu memeluk Marxisme. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus