LINGKARAN KEADILAN
Karya: Bertolt Brecht
Sutradara: Basuki Rachmat
Produksi: Grup Teater Surabaya & Bengkel Muda Surabaya
DI panggung, Hakim Soponyono memang kocak. Ia sering kehilangan
palu. Tapi ia dipuja rakyat: pengadilannya betapapun selalu
membela orang kecil.
Itulah fokus drama Bertolt Brecht Der Kaukasische Kreidekreis,
yang diindonesiakan oleh Basuki Rachmat menjadi Lingkaran Kapur
Putih (kemudian judulnya diubah: Lingkaran Keadilan).
Dipentaskan oleh gabungan Grup Teater Surabaya dan Bengkel Muda
Surabaya, plus Sekolah Menengah Karawitan (SMKI) di sana,
tontonan ini disambut oleh para pengunjung yang memenuhi separuh
kapasitas Gedung Purna Budaya, Yogya, 18 Maret kemarin. Itu
sudah merupakan sukses besar di Yogya -- kecuali untuk Bengkel
Teater -- mengingat ruangan yang luas itu. Tontonan ini memang
dibawa berkeliling. Dipentaskan pertama di Surabaya awal
Desember tahun lalu dan Maret tahun ini. Lalu di Jakarta 14 &
15 Maret, mengambil tempat di ruang Olah Seni Direktorat
Pembinaan Kesenian.
Naskah Brecht yang satu ini agaknya begitu menarik. Tiga
teaterwan kita menerjemahkannya: mula-mula Rendra, kemudian
Suyatna Anirun, dan kini Basuki Rachmat. Yang paling berusaha
menyesuaikan dengan lingkungannya, rupanya Basuki barusan ini.
"Saya lebih banyak memberi kesempatan berimprovisasi kepada
pemain," kata sutradara itu seusai pementasan di Jakarta. Dan
dengan mengambil gaya campuran ludruk, ketoprak dan wayang
orang, memang terasa karyanya kali ini jauh lebih akrab
dibanding pementasannya yang lalu, Anastasia karya Marcel
Maurette (1974) dan Labirin karya David Guerdon (1975).
Srimulat
Satu hal saja: kalau Rendra tetap mempertahankan nama dari
Brecht (ada Grushka, ada Mikael, ada Azdak), Basuki, redaktur
Jaya Baya, majalah mingguan berbahasa Jawa, mengubahnya menjadi
nama-nama yang sekaligus menunjukkan sifat peran itu dan (bagi
yang paham) lucu. Misalnya permaisuri bernama Gusti Putri
Drembowati (putri yang rakus) raja bergelar Prabu Mustokodowo
(kepala panjang) nama hakim itu Soponyono (siapa mengira).
Tapi lebih penting ialah gaya teater tradisi. Di pentas tak
terasa ada pengarahan bloking atau akting semua datang seperti
atas inisiatif pemain sendiri. "Memang hanya garis besar.
Selebihnya saya serahkan pemain," kata Bas. Sehingga ketika
berpentas di Surabaya, seorang penonton nyeletuk: "Kok, seperti
Srimulat," tutur Basuki. "Dinilai begitu, saya senang," katanya.
Itu memang bukan hal baru. Pementasan Rendra, Arifin, masyhur
bertolak dari teater tradisi. Hanya bila pada keduanya betapapun
kesan adanya naskah tak dihilangkan (terutama Rendra), pada
Basuki kali ini benar-benar kita merasa menonton ketoprak. Apa
lagi ada gamelan yang menghibur. Pertunjukan yang makan waktu
sekitar 3« jam ini lancar bagi mereka yang suka lelucon dan waktu
memang terasa singkat.
Hanya, mereka yang mencoba mencari tata adegan yang bagus
misalnya, atau akting yang mengesan secara visual, akan tidak
berhasil. Juga kesan kebulatan pementasan -- dari adegan awal
sampai akhir -- meski soal ini justru sering lebih "parah" dalam
teater rakyat yang asli.
Marxisme
Nilai rata-rata pemain sendiri sebenarnya belum mendukung konsep
Basuki. Kesiapan untuk benar-benar santai namun tanggap terhadap
suasana, boleh dikata hanya dimiliki pemeran Hakim Soponyono,
pemeran istri petani dan pemeran Penghulu.
Sang hakim ini (Bawong S. Nitiberi) memang boleh. Misalnya dalam
adegan persidangan, ketika berkali-kali para penggugat atau
terdakwa bikin ribut, pak hakim mengetuk-ngetukkan palu. Tapi
ketika penonton ketawa oleh ulahnya, pak hakim juga
mengetuk-ngetukkan palu. Sayang tampaknya belum semua pemain
punya 'kesadaran lingkungan' seperti itu -- kalau bukan konsep
sutradaranya yang tidak mempertimbangkan hal itu.
Tidak berarti sutradara tidak "memanfaatkan situasi". Di Yogya
misalnya. Karena Purna Budaya terletak di tengah kampus UGM,
yang waktu itu sedang penuh corat-coret NKK, Ki Dalang dalam
pementasan itu banyak mengutip isi poster-poster anti-NKK itu.
Betapapun, ini sebuah Brecht yang penuh tawa -- dan karenanya
terasa ringan. Kerugian dari konsep macam itu -- yang telah
berhasil menghadirkan sebuah tontonan yang menyenangkan ialah
menipisnya pesan alias misi keadilan yang dibawa oleh naskah.
Brecht tak terasa menggigit. Ia seperti bukan seorang yang
kecewa, oleh kehidupan kelas menengah, dan karena itu memeluk
Marxisme.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini