Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Djoko Pekik, Berkarya hingga Titik Akhir

Djoko Pekik berpulang. Perupa dengan karya berharga miliaran rupiah itu punya kepedulian pada seni tradisi dan sesama seniman.

13 Agustus 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pelukis Djoko Pekik dengan latar lukisan karyanya berjudul "Petruk Mantu Putra Koalisi" di rumahnya, di Bantul,Yogyakarta, 26 November 2011. TEMPO/Arif Zulkifli

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Djoko Pekik dikenal dengan karya fenomenal berjudul

  • Hingga menjelang akhir hayatnya, ia tetap semangat berkarya dan menggelar pameran.

  • Selama 10 tahun terakhir, ia menderita penyakit gula.

Sabtu pagi itu pelukis ikonik Berburu Celeng, Djoko Pekik, 86 tahun, berpulang di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Kepergian Pekik setelah sepuluh tahun menderita diabetes meninggalkan duka mendalam bagi keluarga, kerabat, dan kawan sesama perupa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Tadi, sebelum dibawa ke rumah sakit, ia sempat tak sadarkan diri," kata putra keempat Djoko Pekik, Nihil Pakuril, saat ditemui Tempo di kediamannya, di Plataran Sembungan, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, Sabtu, 12 Agustus 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nihil mengungkapkan, sang ayah selama 10 tahun terakhir mengidap penyakit gula seiring dengan usianya yang telah lanjut. Namun, ujar Nihil, ayahnya tetap bersemangat menjalani aktivitas melukis serta menggelar pameran.

"Pada Maret lalu masih pameran di Banyuwangi dan Agustus ini masih melukis." 

Kepergian Pekik meninggalkan kenangan mendalam dan membekas, terutama bagi perupa yang dekat dengan ayah delapan anak itu. 

Sahabat karib Pekik, Nasirun, dalam balutan baju berkelir serba hitam, pagi itu takziah di rumah sakit. Perupa itu punya kesan kuat terhadap Pekik. Nasirun terakhir kali bertemu dengan Pekik saat ia menghadiri pambukaan pameran tunggalnya di Oei Hang Djien Museum Magelang, Jawa Tengah, pada 26 Juni lalu. 

Pelukis, Djoko Pekik, melukis di Yogyakarta, Juli 2007. Dok. TEMPO/ Heru C.N.

Di atas kursi roda, perupa yang pernah bergabung dengan Sanggar Bumi Tarung itu mengenakan peci yang digambari obyek lukisan khas Nasirun. Pekik datang bersama anak-anaknya. 

Kepada perupa miliarder yang berpenampilan ndeso itu, Pekik berpesan agar Nasirun terus produktif melukis. Nasirun mengenal Pekik sebagai perupa yang punya kepedulian terhadap seni tradisi. “Pekik kerap mendatangi pameran berskala besar dan kecil,” ujar Nasirun ketika dihubungi pada Sabtu, 12 Agustus 2023. 

Nasirun juga mengungkapkan Pekik punya kepedulian sosial yang baik. Dia memperhatikan nasib para perupa Ikatan Istri Senirupawan Yogyakarta (Ikaisyo) yang mengalami kesulitan ekonomi dengan cara membantu mereka. Selain itu, kata Nasirun, Pekik seorang yang humoris. 

Seperti Nasirun, Pekik termasuk perupa yang gagap teknologi alias gaptek. Suatu ketika, Nasirun pernah menyaksikan anak-anak Pekik mengancam ayahnya karena berkukuh tidak mau membawa ponsel. Mereka bilang akan mengirim Pekik ke panti jompo bila tidak mau mendengarkan mereka. Nasirun kemudian menimpali bahwa dia punya teman yang sama ke panti jompo, yakni Nasirun. 

Pendiri ARTJOG, Heri Pemad, mengatakan Pekik punya perhatian dan mencintai sesama seniman. Sebagai perupa kawakan, Pekik senang bergaul dengan seniman muda dan sering kali memberi nasihat. Pemad kerap dinasihati tentang etika perkawanan. 

Peran penting Pekik dalam perkembangan seni rupa membuat Pemad melibatkannya dalam festival seni rupa ARTJOG sebanyak tiga kali. Pada 2014, di Taman Budaya Yogyakarta, misalnya, Pekik menciptakan lukisan berjudul Go to Hell Crocodile berukuran jumbo, yakni lebar 275 sentimeter dan panjang 6 meter. 

Lukisan yang dibanderol Rp 6 miliar itu menggambarkan ribuan orang yang siap menyerbu buaya raksasa yang melingkari ceruk galian tambang. Di sekelilingnya terdapat kerumunan orang bersenjatakan bambu runcing yang siap menghunjamkannya ke tubuh buaya. Judul itu mengingatkan pada ucapan Presiden Sukarno: “Go to hell with your aid".

Kepada Pemad, Pekik menyatakan rasa terima kasih karena dia masih mau melibatkan perupa sepuh seperti dirinya yang tidak mengikuti perkembangan seni mutakhir. “Pak Pekik orang yang rendah hati dan mencintai teman-temannya,” ujar Pemad. 

Djoko Pekik lahir pada 2 Januari 1937 di Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah. Karyanya yang paling terkenal lukisan berjudul Berburu Celeng, yang dibuat pada 1998. Setelah tujuh tahun dipenjara dan bekerja sebagai penjahit selama 15 tahun, Pekik menciptakan karya yang terjual Rp 1 miliar itu. Lukisan berukuran 275 sentimeter x 450 sentimeter tersebut bercerita tentang tewasnya celeng. Babi hutan itu selalu diburu orang karena dikenal rakus, suka merusak sawah. 

Lukisan itu menyimbolkan rezim Orde Baru Soeharto yang rakus dan bengis. Kekuatan lukisan Pekik adalah pada gaya realismenya yang dekat dengan persoalan rakyat dan mengusung tema sederhana yang mudah dipahami. Selain binatang seperti celeng, dia kerap menampilkan obyek atau citraan berupa penari tradisi ledek Jawa Tengah, tukang becak, dan simbok-simbok pedagang pasar.

Djoko Pekik dikenal sebagai tokoh yang bersahaja dalam memajukan dunia seni rupa Indonesia. Sastrawan Sindhunata pernah mempersembahkan sebuah patung bertajuk Berburu Celeng karya Pramono, diadaptasi dari lukisan Berburu Celeng. Karya itu bersebelahan dengan patung Djoko Pekik karya Dunadi di Omah Petroek kawasan Pakem, Sleman, Yogyakarta.

Pelukis, Djoko Pekik di Jakarta, 1990. Dok. TEMPO/Ali Said

Pekik pernah ditangkap karena dinilai berhubungan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Ia memang aktif di Sanggar Bumi Tarung, yang berdiri pada 1961. Seniman-seniman Bumi Tarung kebanyakan berhimpun ke Lekra, yang dianggap berafiliasi ke Partai Komunis Indonesia (PKI).

Namun Pekik pernah menjelaskan bahwa Lekra terbentuk karena pada 1950 Presiden Sukarno menganjurkan semua partai memiliki lembaga kebudayaan. Lekra berdiri bukan karena perintah PKI. Pendiri Lekra adalah Amrus Natalsya. Waktu itu Lekra menjadi alat propaganda politik para seniman. Misalnya perlawanan terhadap ideologi kapitalisme. Pekik banyak melukis karya anti-kapitalisme dan aktif berdemonstrasi. 

Ketika peristiwa 30 September 1965 pecah, Pekik berada di Jakarta. Ia berkumpul bersama sejumlah seniman Lekra di gedung Pendidikan dan Kebudayaan, yang khusus menangani pemberantasan buta huruf, di Jalan RA Kartini Nomor 10, Gunung Sahari, Jakarta. Waktu itu seniman-seniman Lekra sedang membuat dekorasi kota untuk penerimaan tamu negara.

Kini Pekik sudah tiada. Ia telah menunjukkan semangat dan kesetiaan berkarya hingga titik akhir perjalanan hidupnya.

SHINTA MAHARANI | PRIBADI WICAKSONO (YOGYAKARTA)

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Shinta Maharani

Shinta Maharani

Kontributor Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus