Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Film 'Jatuh Cinta Seperti di Film-film' memborong tujuh Piala Citra Festival Film Indonesia 2024.
Film karya Yandy Laurens ini terpilih sebagai film terbaik serta menang di kategori bergengsi, seperti pemeran utama pria dan pemeran utama perempuan terbaik.
Garin Nugroho terpilih sebagai sutradara terbaik lewat film Samsara.
SUARA gemuruh memenuhi hall ICE BSD, Tangerang, pada Rabu malam, 20 November 2024. Pengunjung yang diisi para sineas Tanah Air itu bersorak-sorai menyambut terpilihnya Jatuh Cinta Seperti di Film-film sebagai film terbaik Festival Film Indonesia atau FFI 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yandy Laurens, sutradara dan penulis skenario film ini, tak berkomentar banyak selain menyampaikan ungkapan terima kasih saat menerima Piala Citra. Sang produser, Ernest Prakasa, mengaku tak pikir panjang ketika pertama kali menerima skenario filmnya. "Saya langsung bilang, 'Yandy, let's do it'. Saya lupa kalau PH (production house atau rumah produksi) saya juga harus berbisnis," kata Ernest dalam sambutannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jatuh Cinta Seperti di Film-film mendominasi FFI 2024 dengan tujuh Piala Citra. Selain di kategori film cerita panjang—lebih sering disebut film terbaik—mereka terpilih sebagai yang terbaik di kategori pemeran utama pria (Ringgo Agus Rahman), pemeran utama perempuan (Nirina Zubir), pemeran pendukung pria (Alex Abbad), pemeran pendukung perempuan (Sheila Dara), penulis skenario asli (Yandy Laurens), dan pencipta lagu tema (Donne Maula).
Sebelum malam penganugerahan, publik lebih menjagokan Siksa Kubur karya Joko Anwar yang dinominasikan dalam 17 kategori dan Kabut Berduri besutan Edwin dengan 12 nominasi. Adapun Jatuh Cinta Seperti di Film-film masuk 11 nominasi.
Cuplikan film Jatuh Cinta Seperti di Film-film. Dok. Imajinari
Yandy bercerita bahwa karya itu ia tulis pada masa pandemi Covid-19. Saat itu, seperti kebanyakan orang lain, dia terimpit kesulitan finansial. Hidupnya seperti tak berwarna. Persis konsep hitam-putih yang dia angkat dalam Jatuh Cinta Seperti di Film-film. Namun istri Yandy terus mendorongnya untuk menyelesaikan skenario tersebut. "Kalau saya menyerah, dia selalu menyemangati dan bilang, 'Kamu dipanggil di dunia film buat bikin cerita yang baik'," kata Yandy menirukan ucapan sang istri.
Jatuh Cinta Seperti di Film-film mengisahkan romansa Bagus (diperankan Ringgo Agus Rahman), penulis skenario film. Dia bertemu dengan teman lamanya, Hana (Nirina Zubir). Bagus kemudian menuliskan kisahnya bersama Hana dalam skenario film. Selama 64 hari penayangan, film ini mengumpulkan 651.074 penonton.
Dewan Juri Akhir Kategori Film Cerita Panjang FFI Bambang Supriyadi mengatakan Jatuh Cinta Seperti di Film-film menawarkan gaya bertutur yang baru menggunakan visual penuh warna serta hitam-putih. "Sebenarnya sederhana. Tapi menyederhanakan sesuatu yang kompleks itu kompleks," ucap pengajar film di Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta itu.
Film berdurasi 118 menit itu, Bambang melanjutkan, menggambarkan film di dalam film. Realitas dalam film digambarkan lewat gambar berwarna dan adegan film berupa hitam-putih. Pemilihan peran dinilai pas serta akting para pemeran natural dan tidak berlebihan.
Ong Harry Wahyu, yang juga Dewan Juri Akhir FFI 2024, mengungkapkan Jatuh Cinta Seperti di Film-film layak berada di panggung FFI karena sederhana dan Indonesia banget. "Menunjukkan kecerdasan penulisnya," ujarnya.
Pengamat film Hikmat Darmawan punya pendapat lain. Ia mengatakan Jatuh Cinta Seperti di Film-film punya banyak tombol emosi yang kuat serta pintar mengaitkan retorika visual dengan dialog dan pesan.
•••
FFI 2024 seolah-olah bernuansa hitam-putih. Selain Jatuh Cinta Seperti di Film-film, ada Samsara. Film yang mengambil latar Bali pada 1930-an ini membuahkan Piala Citra untuk Garin Nugroho sebagai sutradara terbaik.
Film bisu hitam-putih ini, menurut Hikmat Darmawan, layak masuk nominasi karena tak lepas dari sosok Garin yang sudah matang dan menerobos batas-batas perfilman.
Merujuk pada karya sebelumnya, seperti Setan Jawa dan Lament, Garin mengembalikan film ke sejarah serta menghasilkan karya yang terasa baru. "Dia mengacak-acak medium modern, tapi materinya, ambil bahannya, dari tradisi Indonesia," kata Hikmat. "Apa enggak hebat tuh secara konseptual?"
Kabut Berduri, satu-satunya film panjang dalam daftar nominasi yang tidak tayang di bioskop, pun dinilai memiliki kekuatan sinematik. Menurut Hikmat, adegan-adegan di hutan, retorika kamera, latar, hingga kostum dalam film ini sangat sinematik.
Sayangnya, Hikmat melanjutkan, ceritanya kurang tergarap. Penuturan cerita lewat dialog dan alurnya seperti asyik sendiri, didaktik. Momen dramatis, seperti pengakuan "dosa" Sanja (Putri Marino) kepada Thomas (Yoga Pratama), dia nilai terasa seperti teater boneka, tidak natural.
Walau begitu, Hikmat menyebutkan akting Yudi Tajudin menjadi poin plus. Peran Yudi membuat film Kabut Berduri lebih utuh dan berbobot. "Setiap dialog yang diucapkan Yudi sebagai Pak Bujang terasa enak, natural, dan membawa saya masuk ke cerita," tuturnya.
Film horor Siksa Kubur, menurut Hikmat, menjadi satu karya terbaik Joko Anwar. Film ini layak masuk 17 nominasi karena penggarapannya matang, dari segi penyutradaraan, tema, dan retorika kamera.
Joko Anwar, Hikmat melanjutkan, biasanya mengandalkan penyuntingan. Tapi, untuk Siksa Kubur, pergerakan kameranya membuat penonton masuk ke dalam ruang ketika para tokoh berbicara. "Langsung terasa ketegangannya," ujar Hikmat. Isu yang diangkat dalam film juga menarik, yaitu mempertanyakan esensi agama, apakah sebagai sumber teror atau kebaikan.
Nomine lain adalah Crocodile Tears besutan Tumpal Tampubolon. Hikmat mengaku belum menonton film bergenre thriller-suspense tersebut. Namun ia berpendapat film ini dekat dengan arthouse cinema atau film kesenian yang bertema serius dan independen, serta ditujukan bagi penonton yang lebih spesifik. "Banyak statement dan estetikanya daripada cerita dan unsur hiburan," kata penulis buku Sebulan di Negeri Manga itu.
Terlepas dari kelima film tersebut, Hikmat menyayangkan Setan Alas yang tak menembus nominasi FFI tahun ini. Padahal film garapan Yusron Fuadi itu dinobatkan sebagai film terbaik dalam program Indonesia Screen Awards di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) pada Desember 2023 serta menjuarai kategori best editing dan best storytelling.
Menurut Hikmat, film bergenre horor tersebut sangat segar dari segi pengalaman menonton. Meski tidak rapi dalam penggunaan computer-generated imagery (CGI) dan diproduksi dengan bujet yang rendah, hasil film ini bisa maksimal. "Setan Alas bisa membuat saya terkejut."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Ihsan Reliubun berkontribusi dalam penulisan artikel ini