Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Oleh Denny Sakrie
Mungkin bisa dihitung jari sebelah tangan, penyanyi yang memiliki karakter kuat dan juga memiliki karier musik panjang serta nyaris tak pernah stagnan. Di antara para penyanyi itu adalah Broery Marantika, Benya-min S., Farid Hardja, dan yang baru saja meninggalkan kita semua, Jumat 30 Maret silam, adalah Chrisye.
Suara Chrisye berkarakter kuat karena hampir tak ada yang bisa meniru atau menyamainya. Begitu mendengar senandungnya, kita pun bisa menebak siapa siempunya suara tersebut. Kesamaan lainnya, baik Broery, Benyamin, Farid maupun Chrisye mampu menyiasati pergeseran tren yang sering bergonta-ganti dalam konstelasi musik pop. Mereka luwes berlenggang pada era-era yang berbeda. Jika banyak pemusik atau penyanyi lain yang tersungkur karena hantaman tren yang menggelegak, maka Broery, Benyamin , Farid, dan Chrisye justru menjumput penggalan elemen musik yang tengah mewabah lalu dibaurkan dengan identitas musik mereka sendiri. Tanpa sedikit pun ada kesan pemaksaan sama sekali.
Lihatlah Benyamin S. yang mampu merengkuh berbagai idiom musik yang populer pada zamannya mulai dari blues, soul, funk, rock. hingga dangdut sekalipun tanpa harus memasung identitas musikalnya yang berlatar budaya Betawi. Itu pula yang terjadi pada Broery, Farid, hingga Chrisye.
Chrisye yang mengawali karier rekaman musik pada eksperimen musik Bali Rock bertajuk Guruh Gipsy (1976) justru bermain di wilayah rock progresif yang bersanding dengan pakem musik etnik Bali. Lalu mulai meluncurkan gaya musik pop yang mungkin bisa disebut pseudo-classical pada era Badai Pasti Berlalu (1977) karena tatanan musiknya berlatar simfonik dengan dominasi unsur keyboard yang seolah menjadi imitasi keanggunan sebuah orkestra.
Ketika era 1980-an riuh dengan gerakan New Wave melalui grup-grup yang bermuasal dari Eropa seperti The Police, Madness, The Specials, Chrisye bersama kolaboratornya, Yockie Soerjoprajogo, menyerapnya dalam album Resesi (1983) dan Metropolitan (1984).
Lirik lagunya yang, antara lain, ditulis Eros Djarot tak lagi bermetafora menakwilkan atmosfer asmara seperti dalam album Badai Pasti Berlalu: ”bagaikan langit berpelangi/terlukis wajah dalam mimpi,” tapi mulai menyusupkan semangat gugat: ”resesi ekonomi dunia gelisah semakin nyata/tuntutan hidup serba harmonis/ hanya mimpi belaka”.
Bahkan lirik-lirik lagu yang dinyanyikan Chrisye seolah merupakan refleksi peristiwa yang tengah terjadi di era tertentu. Ketika di era 2000-an tengah menjejalkan kisah-kisah perselingkuhan, Chrisye pun melantunkan lirik yang ditulis Ahmad Dhani: ”Dan aku tak punya hati’ tuk mencintai dirimu yang selalu mencintai diriku, walau kau tahu diriku masih bersamanya”.
Mungkin hanya Chrisye yang bisa menyanyikan ”engkau masih anak sekolah satu SMA/belum tepat waktu begini-begitu” lengkap dengan koreografi tari yang genit. Walaupun terkadang kita merasa geli melihat gerakan Chrisye yang kaku di antara para penari Swara Maharddhika. Tapi justru di situlah letak keunggulan Chrisye. Dengan kebiasaan cuplik sana cuplik sini itulah, Chrisye akhirnya mampu menembus pelbagai strata sosial yang ada di masyarakat. Dia bisa main di atas, bisa pula bermain di bawah.
Pola semacam ini juga kita temukan dalam gaya bermusik Broery Marantika, Benyamin S., dan Farid Hardja. Karya-karya mereka menjadi immortal dari generasi ke generasi. Mari kita lihat betapa memasyarakatnya idiom ”buah semangka berdaun sirih” dari lagu Aku Begini Engkau Begitu karya Rinto Harahap yang dipopulerkan Broery. Juga, fenomena Karmila hingga Ini Rindu dari Farid Hardja serta Benyamin S. dengan Kompor Meleduk dan Hujan Gerimis.
Tepatnya, Chrisye adalah penyanyi yang selalu tepat dalam menafsirkan lagu dari siapa saja. Sudah banyak komposer yang menyodorkan lagu untuk Chrisye, mulai dari Guruh Soekarno Putra, Eros Djarot, Oddie Agam, Rinto Harahap, Dian Pramana Poetra, Adjie Soetama, Younky Soewarno, Andi Mapajalos, Bebi Romeo, Ahmad Dhani, Pongky Jikustik, dan sederet panjang lainnya. Ketika lagu-lagu ciptaan me-reka dinyanyikan Chrisye, atmosfernya lalu berubah menjadi atmosfer Chrisye.
Itu pun terjadi ketika Chrisye dalam album Dekade (2002) membawakan lagu dangdut karya A. Rafiq berjudul Peng-alaman Pertama hingga Kisah Kasih di Sekolah dari Obbie Messakh, semuanya meleleh menjadi karakter Chrisye.
Ini mengingatkan saya pada Phil Collins, drumer rock progresif Genesis yang kemudian lebih dikenal sebagai ikon musik pop. Phil Collins penyanyi yang juga menjadi mata air inspirasi Chrisye. Phil Collins adalah Midas yang mampu mengubah lagu siapa saja menjadi lagu Phil Collins. Simak saja, misalnya, You Can’t Hurry Love yang awalnya dipopulerkan The Supremes hingga Groovy Kind of Love-nya Wayne Fontana & The Mindbender. Semuanya seolah lagu karya Phil Collins.
Singkatnya, kemampuan menginterpretasikan karya adalah salah satu titik kekuatan Chrisye, di samping timbre vokal yang khas. Chrisye memang tepat disebut sebagai penyanyi bernapas panjang. Konon, semasa bergabung di Gipsy antara 1969 dan 1973,Chrisye paling sering membawakan repertoar grup brass rock Chicago dan pemusik blues kulit putih John Mayall. Karakter vokalis Peter Cetera dan John Mayall yang mengandalkan napas panjang dalam mendaki lengkingan vokal yang tinggi tampaknya membentuk karakter vokal khas Chrisye yang dikenal orang sekarang ini.
Sayangnya, sang pemilik napas panjang ini usianya tak panjang. Ketiga rekannya pun berusia tak panjang: Broery 52 tahun, Benyamin 56 tahun, dan Farid 48 tahun. Karena penyakit yang bersarang di tubuhnya, Chrisye pun pamit dari hadapan kita enam bulan sebelum dia genap berusia 58 tahun pada 16 September 2007 nanti.
Kepergian Chrisye disambut rinai hujan yang mengguyur Jakarta. Sayup-sayup terngiang suara lirih Chrisye bernyanyi di sebuah radio:
Merpati putih berarak pulang terbang menerjang badai Tinggi di awan menghilang di langit yang hitam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo