Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LETAK tanah seluas satu hektare itu tepat di jantung Kota Probolinggo, Jawa Timur. Berada di pinggir Jalan Jenderal Sudirman, harga tanah itu terbilang tinggi, per meter perseginya tak kurang dari Rp 1 juta. Tapi tanah itu bak tak terurus. Dikelilingi pagar besi berkarat, areal lahan itu sesak dengan padang ilalang. Itulah tanah sengketa yang hingga kini belum jelas siapa tuannya.
Mestinya, sengketa tanah yang letaknya berdempetan dengan markas bus PO Akas, perusahaan bus terbesar di Jawa Timur, itu berakhir pada Kamis, 15 Maret lalu. Sengketa itu sudah berjalan lebih dari 20 tahun. Rencananya, Kamis itu, Ketua Pengadilan Negeri Probolinggo, Muhammad Yusuf, akan menetapkan eksekusi. Lahan itu akan diserahkan ke Darmawan Utomo, pengusaha atap baja dari Surabaya.
Namun cerita ternyata jadi lain. Sehari sebelum eksekusi, Muhamad Yusuf dimutasi ke Kendari. Bersamaan dengan itu, datang surat Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Timur, Soetrisno, yang meminta eksekusi dibatalkan. Darmawan pun lemas. Pria 56 tahun ini sudah 23 tahun berjuang agar tanah itu diserahkan kepada dirinya. ”Sebagai pencari keadilan, saya tak dilindungi,” kata Darmawan.
Kisah Darmawan ini dimu-lai pada 1984. Awalnya, lahan itu milik Tan Liong Tjiang dan Lo Tjiat Nio. Pada 1961 Tan meninggal, lantas 20 tahun kemudian sang istri ikut menyusul. Lima dari enam anak Tan pun sepakat menjual tanah itu. Calon pembelinya sudah ada, yakni Darmawan, yang waktu itu berusia 23 tahun.
Tapi Thomas Sukmono, anak keempat Tan, tak setuju. Thomas ingin memiliki lahan itu karena ia punya pabrik limun di situ. Lalu anak-anak Tan Liong Tjiang ini pun bertarung di pengadilan. Hingga tingkat kasasi, Thomas kalah. Pada 1984 tanah itu pun dilelang dan Darmawan membelinya Rp 84 juta.
Thomas terus melawan. Dia menggugat agar pengadilan membatalkan jual-beli itu. Perkara bergulir hingga muncul putusan kasasi Mahkamah Agung pada 28 Februari 1987. Tuntutan Thomas ditolak. Kendati demikian, Darmawan belum bisa menempati tanah itu.
Ini lantaran Thomas mengantongi surat dari Ketua Mahkamah Agung, Ali Said. Isi surat bertanggal 16 Juli 1987 itu, perintah kepada ketua pengadilan untuk menunda eksekusi. Berbekal surat itulah Thomas mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) untuk membatalkan putusan kasasi yang memenangkan Darmawan. Pada 1992 keluar putusan Mahkamah yang mengabulkan PK Thomas. Namun keberuntungan memihak Darmawan. Sebab, belakangan Ketua MA Purwoto Gandasubrata menyatakan putusan PK itu cacat hukum.
Ketika sengketa itu belum rampung, pada 1993 Thomas meninggal. Meninggalnya sang penggugat ini ternyata tak serta-merta membuat urusan tanah selesai. Muncul penggugat baru, dialah Karman Amat, pemilik PO Akas. Karman menggugat dua anak Thomas, Dominicus Chojin Tedja Sukmana dan Raymond Tedja Sukmana.
Dalihnya, Thomas berutang kepada Karman Rp 300 juta. Sebagai ganti utang itu, Karman menuntut tanah dan bangunan milik keluarga Tan itu. Karman bahkan mengantongi surat menyewa tanah itu sejak April 1981 hingga April 2014. Pengadilan Negeri Probolinggo mengabulkan gugatan ini pada 1993. Berbekal putusan pengadilan, Karman lantas memecah tanah itu jadi enam sertifikat. Hanya butuh sehari pengusaha ini mengurus sertifikat yang keluar atas nama dirinya, Aminah (istrinya), serta empat anaknya.
Darmawan tidak tinggal diam. Ia pun menggugat munculnya dokumen tanah itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya. Darmawan juga membawa kasus ini ke pengadilan umum. Karena Karman pada 1994 meninggal, ahli warisnyalah yang digugat. Darmawan menuntut pembatalan jual-beli dan pengalihan hak atas tanah sangketa dari Thomas kepada Karman. Dia minta sertifikat atas enam nama itu dibatalkan.
Upaya Darmawan tak membuahkan hasil. Pengadilan Tata Usaha Negara menyatakan pengeluaran sertifikat itu sah. Demikian juga putusan Mahkamah Agung pada 12 Mei 1999. Sebaliknya terjadi pada perkara perdata. Di sini Darmawan menang. Pada 16 Juni 1999, dalam putusan kasasinya, MA menyatakan Darmawan pemilik sah tanah sengketa.
Pengadilan Negeri Probolinggo kembali menetapkan jadwal eksekusi pada 26 April 2000. Tapi, lagi-lagi, eksekusi ini terganjal ”surat sakti”. Harsono Karman, putra Karman Amat itu, ternyata mengantongi surat Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Timur, Ida Bagus Ngurah Adnyana. Isi surat tertanggal 25 April itu, perintah agar eksekusi tersebut ditunda.
Ahli waris Karman terus membawa kasus ini ke tingkat lebih tinggi. Tapi gagal. Ternyata Mahkamah Agung, dalam putusan kasasinya 12 Juli 2005, mengukuhkan Darmawan sebagai pemilik tanah sengketa.
Darmawan pun tinggal memetik hasil. Tapi, setahun menunggu, eksekusi itu tak kunjung datang. Maka, pada Januari lalu ia pun berkirim surat ke Pengadilan Tinggi Jawa Timur. Jawaban datang dari Soetrisno, Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Timur. ”Tidak ada alasan bagi Ketua Pengadilan Negeri menunda eksekusi,” begitu kutipan surat Soetrisno tertanggal 6 Maret lalu. Darmawan pun bungah.
Berdasarkan surat itulah Ketua Pengadilan Negeri Muhammad Yusuf menetapkan jadwal eksekusi pada 15 Maret lalu. Namun, itulah yang terjadi. Sehari sebelum eksekusi, Yusuf dimutasi. Bahkan pada 14 Maret Soetrisno mengeluarkan surat yang isinya meminta Ketua Pengadilan Negeri Probolinggo memperhatikan surat Adnyana.
Perintah Soetrisno itu dipatuhi Ji-had Arkanuddin, Ketua Pengadilan Negeri Probolinggo yang baru. ”Saya tidak bisa berbuat lain selain menunda eksekusi,” katanya. ”Sebab, apa yang terurai dalam surat, itu baru yang tersurat. Tapi yang tersirat, wah, berat buat saya.” Sebaliknya, Soetrisno menolak dituding mengintervensi kewenangan pengadilan negeri. ”Surat saya tak bersifat perintah menunda eksekusi,” katanya. Dia pun mengaku tak memiliki kepentingan uang di balik penundaan eksekusi.
Yang pasti, surat Soetrisno itu membuat Bambang Tjahyo, kuasa hukum ahli waris Karman, tersenyum. ”Eksekusi memang harus ditangguhkan,” ujar Bambang. Dia berpendapat, kliennya sebagai pemilik sah. Bambang menunjuk putusan peninjauan kembali tanggal 12 Mei 1992 dan sertifikat hak milik dari BPN Jawa Timur sebagai buktinya.
Sebaliknya, Darmawan juga merasa berhak. Alasannya, dia mengantongi putusan pengadilan hingga ke tingkat peninjauan kembali. Tapi, ya itu tadi, tanah itu tak juga jadi miliknya. ”Berperkara kok tak kunjung berujung,” keluhnya. Darmawan tak lagi berharap pada lembaga peradilan. Pada akhir Maret lalu ia mengirim surat ke Presiden Yudhoyono. ”Saya minta perlindungan hukum,” ujarnya. Dia berharap eksekusi atas tanahnya, yang telah ia perjuangkan lebih dari dua dasawarsa, segera terwujud. Beginilah carut-marut hukum di Indonesia, semua keputusan hakim mentah oleh surat sakti.
Nurlis E. Meuko, dan Jalil Hakim (Probolinggo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo