Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Perginya Pakar Makam Islam

Dunia arkeologi Indonesia kehilangan pakar kepurbakalaan Islam. Bidang langka yang sepi peminat.

22 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERITA duka itu diterima dari mailing list Ar-keologi. Prof Dr Hasan Muarif Ambary telah tiada, Kamis yang lalu. Dia pergi begitu saja. Di malam hari ia tidur di rumahnya- di bilangan Klender, Jakar-ta Timur, dan tidak pernah- ba-ngun kembali. Setiap orang lalu mencari kenangan terba-ik bersama sang pakar makam kuno Islam berusia 67 tahun itu.

”Dia bekas kepala pusat pe-nelitian yang super baik. Dia suka bikin masakan yang kami makan bersama-sama di Paris tahun 1999,” kenang- Kasmanian Setiagama, mantan mahasiswa Arkeologi- UI. ”Dia memimpin seper-ti ba-pak,” ka-ta Bambang Bu-di Utomo, salah seorang pe-neli-ti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeo-logi Na-sional. Bambang ju-ga me-ngenang ulahnya yang slebor,” Di kantor, kaus ka-ki-nya terkadang ada di mana-ma-na.”

Dunia arkeologi Indonesia kehilangan dua pakarnya tahun ini. Februari lalu Profesor Ayatrohaedi wafat. Dia me-rupakan pakar senior ke-pur-bakalaan Islam. Hanya berselang tiga bulan, Hasan Muarif menyusul.

Bukan kebetulan bila seba-gai lulusan Arkeologi Universitas Indonesia Hasan Muarif nyemplung ke bidang kepurbakalaan Islam. Hasan lahir dan dibesarkan di tengah keluarga ulama atau ajengan.- ”Kepurbakalaan Islam sa-ngat- penting bagi bangsa yang mayoritas Islam ini,” ka-tanya dalam sebuah wawancara, tujuh tahun lalu.

Berbeda dengan Ayatrohae-di yang menyumbangkan ilmunya di bidang pendidik-an, Hasan memilih bergiat se-ba-gai peneliti. Sepulangnya- dari Paris, Prancis, setelah menyelesaikan master dan doktor di École des Hautes Étrude en Science Sociales pada 1984, ia bergabung dengan Lembaga Pur-bakala dan Peninggalan Nasional.

Di lembaga yang kelak berganti nama menjadi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional itu, Hasan langsung menjadi Kepala Bidang Kepurbakalaan Islam. Tiga tahun kemudian dia menjadi orang nomor satu di lembaga itu. Hasan menggantikan Profesor R.P. Sujono, salah satu pakar arkeologi prasejarah Indonesia.

Sosok yang fasih berbahasa Inggris, Arab, dan Prancis, ini 10 tahun berkutat dalam penelitian. Setelah pensiun pada 1997, dia sempat menyepi di Paris untuk menyelesaikan bukunya, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia yang kemudian terbit pada 1998.

Pada 1998 itu dia kembali ke Indonesia dan mulai mengajar di pro-gram sarjana dan pascasarjana Arkeologi di Kampus Universitas Indone-sia di Depok selama beberapa tahun. Setelah itu, dia lebih ba-nyak- mencurahkan waktu untuk mengajar di Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta. Di sana juga ia menjadi guru besar luar biasa. Sembari mengajar, Hasan juga mengepalai Museum Bait Quran di Taman Mini Indonesia Indah.

Kepakarannya di bidang ar-keologi Islam dibuktikan dengan banyaknya buku dan artikel di berbagai jur-nal- dan penerbitan ilmiah yang ditulisnya. Selain itu, Hasan juga menulis bab khusus kepurbakalaan masa Islam di buku Sejarah Nasional- Indonesia terbitan Balai Pustaka.

Tetapi ketertarikannya tak melulu soal Islam. Hasan juga menulis beberapa arti-kel mengenai kepurbakalaan Buddha Sriwijaya di Sumatra Selatan. Dia pun terlibat dalam proyek Taman Purba-kala Kerajaan Sriwijaya yang dirancang pemerintah daerah setempat pada 1993.

Setahun terakhir ini kondisi kesehatannya menurun.- Asam urat dan diabetes meng-ganggunya. Diduga, penyakit itulah yang membuatnya tertidur panjang tanpa sempat meninggalkan pesan, tanpa tanda-tanda. ”Istrinya baru ta-hu ia tiada sewaktu akan membangunkannya untuk salat subuh. Kata dokter, ia sudah meninggal tiga jam sebelumnya,” cerita Bambang Budi Utomo. Ia belum sempat meluncurkan dua buku yang ditulisnya, Sejarah Perkembangan Kota Palembang dan Sejarah Indonesia. ”Padahal nas-kahnya sudah selesai,” ujar Bambang lagi.

Satu per satu sosok pen-ting- arkeologi Indonesia pergi-. Sementara banyak sar-ja-na arkeologi- yang tak nyemplung ke bidang-nya sendi-ri. Kesempatan untuk bergiat di bidang- ini juga minim. ”Bila tak segera dipecah-kan, kekayaan waris-an budaya Indonesia akan habis selama-lamanya,” kata Hasan dengan cemas, tujuh tahun lalu.

Tak ada solusi untuk membuat Hasan tenang. Kecemasan itu terus dibawa-nya, sampai ia dimakamkan di rumah ter-akhirnya di Majalengka.

Deddy Sinaga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus