SEJARAH perhiasan dan rancangan busana terkait erat. Sulit membayangkan, seorang wanita mengenakan giwang dan kalung dan gelang dengan tak menyelaraskannya dengan pakaiannya. Dan itulah yang terjadi dari tahun ke tahun di pusat-pusat mode di Eropa maupun Amerika: para perajin perhiasan selalu menciptakan hiasan rambut sampai hiasan pergelangan kaki, sesuai dengan perkembangan mode. Tapi belakangan muncul desainer-desainer perhiasan yang melonggarkan kaitan itu. Paling tidak, mereka kini tidak lagi merasa harus bersusah payah menyelaraskan diri pada perkembangan baru dalam dunia mode. Lahirlah karya perhiasan yang mandiri, yang bisa dipamerkan sendiri tanpa ada kaitannya dengan rancang busana. Bahkan beberapa, meski mengambil ide giwang misalnya, bentuknya sudah berkembang sedemikian rupa hingga sulit untuk benar-benar dipakai oleh seseorang. Itulah yang tercermin dari pameran perhiasan masa kini dari Inggris di Galeri Institut Kesenian Jakarta, di kompleks Taman Ismail Marzuki, atas kerja sama dengan British Council, pekan lalu. Salah satu hal yang cepat mencerminkan sikap itu adalah soal bahan. Lazimnya, perhiasan yang pada awalnya menggunakan material mulia seperti emas, perak, dan mempunyai konotasi citra agung, elegan, kini tidak lagi menjadi hal yang utama. Ini berarti salah satu yang ditonjolkan dari perhiasan, sebagai simbol status, tanggal. Yang kini lebih diperhitungkan adalah soal bentuk, corak, dan warnanya. Maka, terciptalah suatu kebebasan atau keleluasaan dalam mengeksplorasi kemungkinan- kemungkinan baru. Tengok saja karya Karina Thompson dalam pameran ini. Ia merancang berbagai bros yang terbuat dari beberapa helai bulu merak, yang disusun membentuk komposisi tertentu. Atau lihat bros ciptaan Gordon Stewart, yang menggunakan etsa pada aluminium, menggambarkan potret Bob, Evelyn, John, dan Murray -- mungkin nama-nama anak Stewart. Kemudian Julie Arkell dengan karya bros berbentuk garpu atau sendok dalam ukuran yang sebenarnya, yang ditaburi manik-manik yang warnanya menyala dan kontras, yang mengingatkan kita pada renik-renik pakaian tradisi kerajaan Cina. Yang lebih ekstrem misalnya karya Geoff Roberts, berupa kalung, gelang, bros, dan anting dengan bahan semacam seng. Karya-karya Roberts bertolak dari bentuk dasar ikan dengan warna-warna merah, hijau, dan kuning metalik. Dan dalam hal ukuran, perhiasan itu terasa berlebihan dibandingkan dengan ukuran perhiasan yang lazim dipakai, hingga muncul kesan norak melihat karya-karya ini. Memang, dari sekitar 85 karya perhiasan dari 19 perajin yang dipamerkan, tidak semuanya menampilkan bentuk dan bahan yang telah menyebal jauh dari lazimnya. Tapi bisa dikatakan semua perajin mempunyai kecenderungan melepaskan diri dari bentuk perhiasan yang lazim. Andai kata cara memamerkannya bukannya di kotak kaca yang digantung, kesannya bisa sangat lain. Misalnya, tiap karya dibuatkan tempat sendiri bak sebuah patung. Lihat saja, misalnya, karya Marlene Mc Kibbin, yang menggunakan bahan perak dan akrilik, yang menampilkan kesederhanaan bentuk geometris dengan keratan-keratan tajam melingkar berwarna hitam dan dikerjakan dengan akurasi yang tinggi. Bila saja ini dipajang pada sebuah kota, mungkin saja orang akan melihatnya sebagai patung geometris mini. Begitu juga dengan karya Anne Finlay yang berupa kalung, gelang, dan anting dengan bahan dari pipa pralon, karet, pelat baja, nilon, akrilik, baja antikarat, dengan warna-warna oranye dan biru. Finlay tampaknya diilhami oleh lukisan-lukisan Jean Miro, yang menampilkan bentuk-bentuk fantastis yang mirip bentuk hal-hal yang remeh-temeh: kerang, kerikil, akar pohon, dan lain-lain. Dilepaskan dari kotak kaca itu, misalnya, karya Finlay seolah pentigadimensian bentuk dalam lukisan Miro. Bahkan dalam karya yang tampaknya biasa, misalnya karya Kim Ellwood, upaya melepaskan diri dari definisi perhiasan yang lazim terasakan. Bros-bros Ellwood berbentuk kubistis menggambarkan kucing, pesawat terbang, dan figur orang. Bahan yang dipakainya: baja dan email. Terutama dari segi bahan itulah, karya-karya Ellwood terasa tidak biasa. Di Indonesia perhiasan masih merupakan barang pelengkap tata busana. Tengok saja perhiasan yang beredar dan laku pada perajin kita, bahan batu mulia dan logam mulia serta corak ornamen yang detail menjadi pilihan utama. Memang, ada juga perancang perhiasan kita yang mencoba melepaskan diri dari fungsi perhiasan yang lazim. Tapi karya mereka masih jarang dipamerkan. Biasanya karya seperti ini lahir dari, misalnya, lomba aksesori yang diadakan oleh majalah-majalah wanita kita, belum merupakan kecenderungan, baru karya-karya yang lahir secara kebetulan. Karya seni rupa, tampaknya, bisa bertolak dari apa saja.S. Malela Mahargasarie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini