Tanggapan dari Junus Jahja cukup menarik (TEMPO, 22 Januari 1994, Komentar). Tampaknya, dalam tanggapan itu, terjadi kerancuan antara spesivitas dan kesempatan, antara sarana dan tujuan, dan tetap pada ilusi "primordialisme". Sudah lama dikemukakan oleh Alvin Toffler, seorang futurolog, bahwa salah satu respons yang menghambat perkembangan yang sangat pesat adalah fenomena pengelompokan "sejenis". Jadi, itu bukan entity primordialisme, tapi hanya suatu fenomena, tanda zaman. Karena itu, maaf, jika saya mengatakan bahwa pandangan dalam surat Junus Jahya itu bertumpu pada wawasan nasional eksklusif sempit, yang mungkin cocok untuk Junus Jahja ketika seusia penulis. Wawasan dalam surat Junus Jahja tersebut belum mengakomodasi fenomena globalisasi dan era informasi dewasa ini, serta megatrend pada abad mendatang. Juga kurang berdasar. Coba uraikan, adakah untungnya berpolitik, bersikap rasialistis, khususnya bagi para pengusaha WNI. Suku "keturunan" Cina di Indonesia khususnya sudah terbukti "mudah diatur", mudah diajak bekerja sama dalam menyukseskan setiap program pembangunan. Dalam pembangunan jangka panjang tahap pertama (PJPT I), misalnya, kita melihat mereka memperoleh kemudahan besar untuk mengembangkan ekonomi nasional. Lalu, dalam PJPT II, mereka juga tidak dikekang, melainkan "diarahkan" sebagai mitra yang "penurut" untuk ikut memikirkan pengentasan warga miskin. Bukti tentang itu berlimpah. Kesenjangan sosial-ekonomi merupakan salah satu tantangan PJPT II, dan para "konglomerat" WNI sudah menyatakan komitmennya, antara lain dalam sistem bapak angkat, pemilikan saham oleh koperasi, sistem kemitraan, KUK, serta dengan RSS. Di luar negeri, para konglomerat mampu bersaing dan "membawa" Merah Putih di forum bisnis global. Sebab itu, mereka merupakan aset nasional dan harus tetap dipelihara untuk berkembang. Hal itu dapat disimak dari forum dialog yang dihadiri Menteri Perdagangan RI, pengusaha Fadel Mohammad, dan pengamat Hidayat, dipandu oleh Chris Kelana, beberapa minggu lalu di RCTI. Atas dasar wawasan global, keterbukaan, dan fakta nasional itulah tampaknya, hingga mereka tak dicekal oleh pemerintah RI. Apalagi Lee Kuan Yew, yang dekat dengan presiden kita, berwawasan luas dan terbukti mampu membangun suatu bangsa dan negara yang teguh mandiri. Usaha Lee kali ini mendirikan benteng bisnis Asia yang kuat untuk mengimbangi kekuatan bisnis belahan bumi lain. Bagaima- napun, di Asia, pengusaha yang siap diorbitkan menghadapi tantangan global itu adalah pengusaha Cina. Sebagai keturunan Cina, dia tahu betul metodenya. Konvensi itu adalah taktik dan sarana, bukan tujuan. Ternyata itu berhasil dan mendapatkan dukungan yang luas. Di bumi Indonesia, keragaman rasial dan sebagainya dilihat sebagai suatu fakta yang wajar. Mereka bebas berasosiasi, termasuk dalam bisnis seperti yang dilakukan Hipmi. Ini bisa kita terima sebagai suatu kewajaran, suatu fenomena dan sarana ikatan wajar, bukan tujuan.DR. WILLIE JAPARIESPeneliti Utama BRM Div. Kes. Sos.Jalan Cempaka Putih Tengah II/1 Blok D-23 Jakarta 10510
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini