Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ancaman Baru Astra

Cycle&Carriage mencari pinjaman guna menutup utang yang dipakai untuk membeli saham Astra International. Bonafiditas juragan baru Astra dipertanyakan.

16 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Juragan baru Astra International sedang mencari pinjaman. Cycle&Carriage, distributor mobil Singapura yang berhasil memperoleh tender saham Astra, Jumat ini akan menerbitkan surat utang senilai S$ 500 juta. Surat utang berjangka dua tahun itu akan dipakai untuk membayar kasbon dari Standard Chartered Bank (SCB) yang sebelumnya digunakan Cycle&Carriage untuk membeli saham Astra. Berbarengan dengan itu, di Jakarta Astra mengumumkan pembatalan rencana penambahan modal. "Saya tegaskan," kata Wakil Presiden Astra, Aminuddin, "tahun ini tak akan ada penerbitan saham baru." Sebelumnya, rapat umum pemegang saham Astra memutuskan penjualan saham baru untuk membayar utang sekitar US$ 160 juta yang jatuh tempo tahun ini. Tapi semua kewajiban itu, kata Aminuddin, kini bisa ditutup dengan kas Astra. Persoalannya: apakah pembatalan rencana penambahan modal Astra berhubungan dengan situasi keuangan majikan barunya yang tampak kurang "bonafide"? Betul, membeli saham dengan dana pinjaman bukan perbuatan terlarang, bukan pula pelanggaran hukum. Sepanjang rasio pinjaman dibandingkan dengan jumlah modal tetap dalam batas yang aman, langkah ini tentu tidak ada salahnya. Namun, dalam hal Astra, juragan yang kantongnya pas-pasan akan sangat merugikan produsen mobil terbesar Indonesia itu. Untuk menyelesaikan beban pinjaman US$ 1,2 miliar (sebagian besar sudah dijadwalkan ulang pembayarannya) dan Rp 1 triliun lebih, jika perlu Astra memerlukan sejumlah tambahan dana kontan. Untuk itu, pemegang saham Astra sudah menyetujui rencana penambahan modal—selain melakukan penjualan aset. Nah, penambahan modal akan sulit dilakukan jika pemegang saham terbesar Astra duitnya terbatas. Bagi Cycle&Carriage, pembelian Astra mengakibatkan beban keuangan yang tak kecil. Dari 39 persen saham yang dibeli konsorsium, Cycle&Carriage mendapat "jatah" 23 persen. Untuk itu, perusahaan yang dimiliki Jardine Strategic Holding itu harus menyiapkan dana sekitar S$ 530 juta. Dari jumlah itu, ternyata cuma S$ 30 juta yang dibayar kontan, S$ 500 juta sisanya dilunasi dengan dana talangan dari SCB. Galian kasbon inilah yang akan dicarikan penutupnya dengan penerbitan surat utang, Jumat ini. Apakah situasi ini tidak membahayakan Astra? Deputi Ketua BPPN, Mahamudin Yasin, mengaku tak tahu-manuhu dengan kemampuan keuangan Cycle&Carriage. Yang penting, katanya, konsorsium ini menunjukkan bank garansi bahwa mereka mampu membayar. "Dan ternyata duitnya memang sudah disetor," katanya. Bahwa dana itu berasal dari pinjaman, bahwa penjualan saham Astra ke perusahaan Singapura ini mungkin akan menyulitkan masa depan Astra, "Itu bukan urusan BPPN karena Astra bukan lagi milik pemerintah." Pendek kata, pokoknya Astra sudah terjual dengan harga lumayan baik. Tapi Aminuddin mengaku tak risau dengan kemampuan finansial Cycle&Carriage. "Itu urusan pemerintah yang menjual saham," katanya. Ia memastikan penundaan rencana penambahan modal itu juga tak ada urusannya dengan keterbatasan dana Cycle&Carriage, tapi karena kas Astra membaik lantaran penjualan mobil naik tajam. Ia memperkirakan, total penjualan mobil tahun ini akan menanjak hampir tiga kali lipat dari 94 ribu menjadi 240 ribu. Analis industri otomotif di bursa Jakarta, Erwan Teguh, juga merasa tak perlu menyangsikan Cycle&Carriage sebagai juragan baru Astra. Menurut Erwan, penerbitan surat utang itu justru akan menyehatkan struktur permodalan perusahaan distributor mobil itu. Selama ini, katanya, Cycle&Carriage tak punya utang yang berarti, sehingga pemanfaatan modalnya malah terlihat kurang optimal. Erwan justru menakutkan rencana anggota konsorsium Cycle yang belum sepekan sudah berniat menjual saham "jatah"-nya. Menurut Erwan, satu investor besar yang tergabung dalam konsorsium ini sedang menawarkan 4 persen saham Astra (sekitar 100 juta saham) kepada sejumlah pemodal. "Langkah ini justru menimbulkan tanda tanya," katanya. Analis dari SocGen Global Equity ini justru menyebut hampir berakhirnya kerja sama Toyota Motor dengan Astra sebagai ancaman yang lebih serius. Dengan kelonggaran aturan tata niaga impor, kini Toyota bisa saja langsung memasarkan produknya ke Indonesia tanpa lewat Astra. Nasib ini jugalah yang menimpa Cycle&Carriage ketika kehilangan hak impor Mercedes, Desember lalu. Bukan mustahil, Astra dan juragannya akan bernasib sama: kehilangan bisnis. Dwi Setyo, Lea Tanjung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus