Dalam tulisan ''Sebuah Alternatif untuk Mencari Titik Temu'' (TEMPO, 19 Desember 1992, Laporan Utama) ada kalimat yang barangkali sala tulis. Secara umum pembaca kiranya bisa memaklumi. Tapi bagi yang masih awam tentang sejarah Nabi Muhammad SAW, terutama tentang Piagam Medinah, itu bisa menyesatkan. Konsep toleransi dan pluralisasi sebagaimana dikemukakan Nurcholish Madjid telah dicontohkan Rasulullah SAW setelah hijrah dari Mekah ke Medinah. Jadi, bukan dari Medinah ke Mekah. Guna menciptakan suasana tenteram dan aman di Medinah, Rasulullah SAW membuat perjanjian persahabatan dan perdamaian antara umat Islam dan umat Yahudi yang berdiam di dalam dan di sekeliling Kota Medinah. Inti perjanjian itu, ditetapkan dan diakui hak kemerdekaan tiaptiap golongan untuk memeluk dan menjalankan agamanya masingmasing, saling menghormati, saling melindungi, nasihatmenasihati, serta tolongmenolong. Perjanjian ini kemudian dikenal sebagai Piagam Medinah. Saya kira benar bahwa Piagam Medinah itu semacam deklarasi damai antarumat beragama. Doktrin toleransi semacam ini yang seharusnya senantiasa kita tanamkan dalam diri kita masingmasing. Sebaliknya kalau doktrin iri hati, dengki, saling mencurigai, serta permusuhan yang ingin dipakai, saya yakin toleransi mustahil terwujudkan. Bahkan, krisis seperti Bosnia atau Ayodhya bisa terjadi di Indonesia, yang kondisi masyarakatnya lebih pluralistik dibandingkan dengan mereka. Tulisan ini, di samping sebagai koreksi, juga ungkapan rasa simpati dan partisipasi saya terhadap konsep toleransi dan pluralisasi agama. Akhirnya saya menggarisbawahi ungkapan Goenawan Mohamad dalam iCatatan Pinggirrnya, sebaiknya kita patut menyimak kembali nyanyian cinta Tagore. Ini lebih arif. PARDOYO Sagan CT V/90 Yogyakarta 55281
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini