Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Seniman muda dari Jawa Timur mewarnai pameran ARTSUBS 2024 di Surabaya.
Ada perempuan perupa berusia 21 tahun yang sudah berpameran berkali-kali.
Pasar seni rupa akan menguji seberapa kuat seniman bisa eksis.
KARYA seni dari minyak dan akrilik yang terpampang di kanvas berukuran 160 x 500 sentimeter (dua panel) itu memperlihatkan deretan foto beberapa perempuan muda berpakaian putih. Ekspresi dan posenya berbeda-beda, tapi semuanya tampak gembira. Tawanya lebar. Terpajang di zona 1 ruang pameran ARTSUBS 2024 Pos Bloc Jalan Kebon Rojo, Surabaya, Jawa Timur, karya Zeta Ranniry Abidin itu terlihat mencolok karena menjadi tatapan mata pertama pengunjung yang memasuki ruangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berjudul Beyond My Wildest Dream, Zeta mengatakan ingin menyampaikan pesan agar setiap orang menggantungkan mimpinya setinggi mungkin. Jadi, bila tak tercapai, kata dia, minimal masih agak tinggi. Hanya mimpilah, kata Zeta, yang membuat hidup kita terjaga kegelisahannya. Dan hanya kegelisahan yang membuat ide kreatif kita terus menyala.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Tapi mengejar impian dengan cara tetap riang gembira adalah suatu pilihan,” kata perempuan 21 tahun asal Surabaya itu.
Zeta mengakui ciri khas lukisannya adalah potret manusia. Ia berujar memotret dirinya sendiri dari berbagai sudut pengambilan sebelum memulai melukis. Ia pun mengambil salah satu pose yang dianggapnya cocok untuk dijadikan obyek lukisan. Lukisan dengan obyek serupa pernah ia tampilkan di ArtJog 2023 berjudul Chasing My Crown.
Zeta merupakan talenta muda yang karyanya lolos kurasi di ARTSUBS 2024 ini. Meski masih muda untuk ukuran perupa, ia termasuk aktif berkarya. Pada Agustus 2020, misalnya, menandai usianya yang ke-17, Zeta menggelar pameran di Kedungbaruk, Surabaya, bertema "Milestone".
Selain Zeta, Garis Edelweiss merupakan perupa muda yang ikut menyemarakkan ARTSUBS 2024. Lelaki 40 tahun asal Krapyak Rejo, Kota Pasuruan, Jawa Timur, itu mengetengahkan tiga lukisan, masing-masing berjudul Kucing Pesisir, Penunggang Pesisir, dan Sisa Malam. Bentuknya berupa karya orisinal dan reproduksi. “Yang karya orisinal saya buat menggunakan drawing pensil, adapun reproduksinya menggunakan cetak gumoil.”
Garis mengaku terkejut karyanya lolos kurasi ARTSUBS 2024. Mula-mula, kata dia, seniman seni rupa asal Malang Dadang Rukmana yang merekomendasikannya untuk ikut. “Saya dihubungi agar ikut. Saya tertarik, akhirnya ikut, dan karya saya diterima kurator,” tuturnya.
Nirwan Dewanto, di Palmerah, Jakarta, 31 Desember 2022. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Kurator ARTSUBS 2024, Nirwan Dewanto, mengatakan mengundang Zeta karena pernah beberapa kali melihatnya ikut pameran. Adapun Garis, Nirwan mengaku baru mengenalnya di event ARTSUBS tersebut. Ia menerima Garis atas rekomendasi seniman asal Malang. “Kami selaku kurator mengundang mereka karena karya-karyanya menarik. Tugas ARTSUBS ini kan memberi tempat kepada seniman-seniman muda,” ujarnya.
Ia membagi para perupa yang diundang menjadi tiga bagian. Pertama, seniman established atau yang sudah punya nama. Kedua, seniman emerging, tapi mulai muncul di arus utama. Lalu, ketiga, seniman yang masih muda sama sekali. Bagi Nirwan, Zeta dan Garis masuk kategori terakhir, meskipun untuk Zeta, ia telah mengamati karya-karyanya sejak tiga tahun terakhir. Menurut Nirwan, Zeta mempunyai ciri khas dalam karyanya, yaitu lukisan potret diri.
Nirwan menuturkan seniman-seniman muda mesti melewati tahapan-tahapan selanjutnya, misalnya menggelar pameran solo serta rajin mengikuti biennale di dalam ataupun di luar negeri. Proses kreatif serupa, kata Nirwan, juga harus terus dilakukan oleh seniman-seniman tua. “Jangankan seniman muda, seniman tua pun kami tidak tahu nasibnya. Kalau seniman established itu tidak mempunyai karya lagi, ya habislah dia. Sama saja, sih.”
Ia menilai seni rupa berbeda dengan kesenian lain. Sebab, seperti halnya di dunia sastra, segala sesuatunya harus diperjuangkan atas nama sendiri. Selain itu, seni rupa agak berbeda ujiannya karena ada pasar. Pasar itulah, menurut Nirwan, yang menguji seniman seni rupa apakah cukup kuat untuk terus eksis.
Masalahnya, iklim seni rupa di Indonesia belum sebanding dengan di Asia Timur, Amerika Utara, dan Eropa Barat. Di negara-negara tersebut, kata Nirwan, pasar menjadi satu dengan wacana teori dan kritik. Di Indonesia berbeda karena pasarnya terlalu kuat. “Apakah akademi seni rupa di sini menentukan seorang seniman itu ‘jadi’ apa enggak? Kan, tidak begitu,” ucap Nirwan.
Sementara itu, di luar kampus, kata dia, pasar seni rupa sangat menekan. Pasar sendiri dapat bermakna negatif dan positif. Negatif artinya seniman dipaksa untuk berkarya yang begitu-begitu saja. “Kalau pengertian positif, pasar itu seharusnya mendorong pembaruan.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo