Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
mungkin ini sebuah kebetulan. Mungkin juga tidak. Tapi, tepat 10 tahun silam, ketika Amerika dan dunia diguncang teror 11 September, mungkin para produser merasa masyarakat membutuhkan superhero yang mampu mengangkat jiwa mereka yang dirontokkan. Musim panas memang selalu menjadi waktu yang tepat untuk makan duduk bersender, mengunyah berondong sembari menyaksikan superhero berlaga. Tahun ini ada Thor, Green Lantern, dan Captain America. Tak tanggung-tanggung.
Tapi Captain America memang mempunyai tenaga tersendiri untuk masyarakat Amerika yang sangat nasionalis dan bangga atas pencapaiannya. Captain America ciptaan Joe Simon dan Jack Kirby, yang diterbitkan Marvel Comics pertama kali pada 1941, berkisah tentang seorang pemuda ringkih bernama Steve Rogers (Chris Evans) yang penyakitan tapi berambisi bergabung dengan wajib militer untuk menghajar Nazi pada Perang Dunia II. Lima kali mencoba dengan lima identitas berbeda, tetap saja Rogers ditolak karena kondisi fisiknya yang lebih mirip sehelai kertas, sementara sahabatnya, Bucky (Sebastian Stan), sudah siap dikirim ke medan perang.
Ilmuwan asal Jerman, dr Abraham Erskine (Stanley Tucci), sudah bermigrasi ke AS. Percobaannya membuat serum yang baru setengah jadi menciptakan monster mengerikan: Johann Schmidt, salah satu tangan kanan Adolf Hitler yang juga megalomaniak.
Adapun Erskine memilih Steve Rogers yang bertubuh tipis sebagai kelinci percobaannya untuk menjadi tentara khusus yang bertubuh sempurna dengan injeksi serum yang sudah saatnya diuji coba. Percobaan berhasil. Tubuh ringkih itu mengembang menjadi tubuh perkasa berotot baja. Meski semula Kolonel Chester Phillips (Tommy Lee Jones) menolak Rogers bergabung dengan pasukannya—dan untuk sementara Rogers digunakan sebagai alat propaganda di atas panggung agar harga saham untuk membiayai peperangan bisa melejit—akhirnya Rogers menjadi pahlawan Amerika yang berhasil menembus sarang Johann Schmidt a.k.a. Red Skull untuk menyelamatkan sohibnya, Buck, dan tentara lain.
Untuk para penggemar komik Marvel, ini sebuah pesta. Captain America dengan adegan laga yang habis-habisan, perisai sebagai ciri khasnya yang melambangkan bendera Amerika, bahkan calon kekasihnya, Peggy Carter (Hayley Atwell) yang cantik, tegas, mandiri, dan seksi pun asyik ditonton.
Yang membedakan superhero ini dengan yang lain adalah setting yang digunakan bukan di sebuah planet, luar angkasa, atau sebuah negara antah-berantah. Lokasi dan latar belakang film diambil dari sejarah. Kita menyaksikan film yang menyalurkan nasionalisme Amerika (dan kemarahan dunia) kepada Hitler serta para algojonya.
Problem film ini—jika bisa dikatakan problem—adalah para penggemar fanatik film tak akan merasakan sesuatu yang istimewa. Kita sudah menyaksikan seorang "pecundang" atau katakanlah "underdog", seperti Steve Rogers, berubah menjadi superhero. Namanya Peter Parker, yang berubah menjadi Spider-Man. Teknik pemiuhan tubuh dengan computer-generated imagery (dari Chris Evans yang sehari-hari memang bertubuh kekar dan tampan menjadi Steve Rogers yang kerempeng dan pucat) juga sudah kita saksikan dalam film "The Curious Case of Benjamin Button".
Kita juga merasa ada sesuatu yang kita kenal saat melihat film ini bermain-main dengan sejarah. Tentu saja. Quentin Tarantino sudah memulainya dengan Inglourious Basterds. Meski sejarah mencatat bahwa Hitler akhirnya bunuh diri, para kreator (baik sineas maupun sastrawan) lebih suka membuat versinya sendiri. Dan ini penting betul bagi Amerika, yang masih belum selesai dengan duka 10 tahun silam.
Jika memang tujuan sutradara Joe Johnston ingin mengangkat semangat penonton Amerika, mungkin dia berhasil. Mungkin film ini berhasil menjadi penyegaran bagi masyarakat yang sudah sumpek mengingat tragedi 11 September. Tapi, bagi orang di belahan bumi lain, film ini membutuhkan suntikan yang lebih khas. Karena film superhero tahun ini begitu banyak—dan jangan lupa, seri akhir Harry Potter juga sudah menyedot penonton—film ini tak bisa dikatakan film superhero paling menonjol dalam sejarah. Dark Knight arahan Christopher Nolan masih yang paling unggul.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo