Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Petang Terakhir Joyland Festival 2024: Menyaksikan Estafet Kegelapan MONO dan Nostalgia Blueboy

Malam terakhir Joyland Festival 2024 menampilkan musisi-musisi yang saling bertabrakan satu sama lain secara warna musik.

29 November 2024 | 16.33 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Malam terakhir Joyland Festival 2024 pekan lalu menampilkan musisi-musisi yang saling bertabrakan satu sama lain secara warna musik. Festival musik besutan Plainsong Live ini menampilkan musisi dari mancanegara dan selalu mengedepankan musisi Asia atau yang berakar dan cenderung independen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada banyak daftar nama-nama musisi yang sebelumnya jarang didengar, sementara beberapa lainnya tak terbayangkan sebelumnya bisa bermain di Indonesia. Kemudian festival musik ini juga menyajikan pelbagai wahana rekreasi lainnya seperti Cinerillaz untuk pemutaran film dan area White Peacock yang didedikasikan berbagai workshop selama tiga hari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Untuk musik yang menjadi inti festival ini, ada tiga panggung yakni Joyland Stage, Plainsong Live Stage, dan Lily Pad.

Ada keunikan sendiri dengan panggung-panggung ini, misalnya Joyland Stage dan Plainsong Live Stage yakni panggung besar bersebelahan tanpa jarak dan pembatas dan saling estafet menampilkan para musisi. Sementara di seberang ada panggung Lily Pad yang jauh lebih kecil namun berhasil menyajikan dua hal yang kontras dengan adanya stage seperti acara gig dan stage kecil melingkar untuk DJ set.

Di hari ketiga yang diawali guyuran hujan di Jakarta pada Minggu, 24 November 2024, Tempo menyaksikan estafet antara MONO di Joyland Stage dan Blueboy di Plainsong Live dalam gelaran Joyland Festival Jakarta 2024.

Panggung Kegelapan MONO di Joyland Festival 2024

Unit post-rock dan instrumental asal Tokyo, Jepang, MONO bermain kala matahari mulai tak tampak dan menyambut hari yang kian gelap. Sedang menjalani rangkaian tur album ke-12 bertajuk OATH, MONO beraksi di atas panggung selama satu jam dari pukul 18.00 hingga 19.00 WIB, dan hanya sekali menggunakan satu-satunya mikrofon yang ada di atas panggung.

“Apa kabar Indonesia? Senang rasanya kami bisa kembali ke sini. Semoga kalian menikmati musik kami,” kata Gitaris MONO Takaakira Goto sebelum mengambil gitarnya.

Penampilan Band Instrumental asal Jepang Mono menghibur penonton Joyland Festival Jakarta 2024 di Lapangan Baseball Kompleks Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, 24 November 2024. TEMPO/Ilham Balindra

Para penonton yang mengenakan jas hujan dan payung itu pun disuguhkan dengan lagu pembuka “Run On” dari album teranyar mereka yang dirilis tahun ini. Beranggotakan Takaakira Goto (Gitar), Tamaki Kunishi (Bass, Piano), Yoda (Gitar), dan Dahm Majuri Cipolla (Drum), band yang sudah berusia 25 tahun itu mampu memikat penonton yang rela berdiri sembari terguyur hujan.

Dengan rata-rata durasi lagu di atas 10 menit, MONO membuka penampilannya di panggung besar itu dengan keheningan para penonton. Para penonton yang sudah berkumpul di depan panggung sekitar 30 menit sebelum MONO tampil itu, merasakan campur aduk yang terbersit dari raut wajah kala menyaksikan Goto dan Yoda menggerus gitarnya.

“Dunia sedang gila sekarang, tetapi kami masih bisa bertahan hidup dan kami punya teman dan keluarga. Jadi kami bisa lebih banyak memfokuskan pada hal-hal positif. Jadi saat penggarapan album itu penuh energi positif sebenarnya,” kata Goto.

MONO melanjutkan memainkan lagu-lagu dari OATH, bukti tur yang sedang mereka jalani bagian dari promosi album yang diproduseri oleh Steve Albini itu. Nomor-nomor seperti “We All Shine On” dan “Hear the Wind Sing” disajikan kepada para penggemarnya di Jakarta secara beruntun.

Penampilan Band Instrumental asal Jepang Mono menghibur penonton Joyland Festival Jakarta 2024 di Lapangan Baseball Kompleks Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, 24 November 2024. TEMPO/Ilham Balindra

Usai memainkan tiga lagu, beberapa kali terdengar teriakan penonton menggunakan bahasa Jepang. Memang, di antara kerumunan mata yang menyaksikan atraksi MONO beberapa di antaranya orang Jepang dan juga orang kulit putih. 

Lagu-lagu mentereng dari kuartet instrumental ini disajikan kepada penonton Joyland seperti “Innocence” dari album Pilgrimage of the Soul yang dirilis pada 2021 dan “Ashes in the Snow” dari album Hymn to the Immortal Wind pada 2009. Saat memainkan “Ashes”, duo gitaris Goto dan Yoda memainkan lagu berdurasi 12 menit itu dengan duduk, sementara Kunishi mengawali lagu itu dengan membelakangi penonton sembari memainkan glockenspiel. 

Usai membawa dua lagu di luar album OATH, MONO menutup penampilannya dengan lagu berdurasi sembilan menit dalam OATH bertajuk “Time Goes By” seolah mengukuhkan ucapan selamat tinggal dan sampai bersua kembalikepada para penggemarnya di Jakarta.

Pengulas musik asal Jakarta, Ralka Skjerseth, mengatakan panggung dengan kualitas sound yang disajikan Joyland untuk menampilkan MONO sangat tepat. Apalagi, kata dia, jadwal penampilan MONO yang diletakkan di antara pertukaran sore menuju malam menambah nuansa yang terkandung dalam musik-musiknya.

“Super asyik, indah banget! Seperti sedang proyeksi astral begitu. Benar-benar nuansa dan cara yang tepat untuk menyajikan penampilan musik post rock. Sound-nya juga bersih,” katanya kepada Tempo.

MONO jadi salah satu penampil yang membuat Ralka datang ke hari ketiga festival musik di Senayan yang penuh keragaman itu. Ia mengaku ketika di bangku SMP memiliki fase mendengarkan musik-musik post rock karena dipantik oleh Sigur Ros, band asal Islandia.

“Lagu pembuka “Run On” jadi favorit saya dari OATH, jadi pas menyaksikan secara langsung seperti ada perasaan sentimental saja,” katanya. Kerap mengulas musik-musik black metal, Ralka juga mengaku suka musik bernuansa blackgaze—perpaduan antara black metal dan shoegaze. “Ini kadang post rock juga seperti Deafheaven, Alcest, atau Oathbreaker. Makanya mungkin saya bisa beradaptasi dengan black metal dan post rock.”

Keceriaan dan Nostalgia bersama Blueboy di Plainsong Stage

Atraksi Blueboy di Joyland Festival Jakarta 2024, 24 November 2024. Foto: TEMPO| Muh. Ilham Balindra.

Estafet antara Joyland Stage dan Plainsong Stage pun berlangsung. Usai MONO menyelesaikan lagu terakhirnya maka berpindah ke kiri panggung di mana Blueboy siap menyajikan musik indie pop nan polos di hadapan indie kids.

Orang-orang yang datang di hari ketiga Joyland tentu saja tak ingin ketinggalan dengan penampilan Blueboy. Band asal Reading, Inggris ini baru saja aktif kembali dengan menelurkan dua single bertajuk “One” dan “Deux” yang juga dibawakan di Jakarta itu.

“Kami telah mempersiapkan diri sejak saat kami diminta datang ke Joyland, kami telah berkumpul dan berlatih sebanyak mungkin. Kami ingin single kedua kami dirilis dan selesai sebelum kami datang ke sini, jadi kami akan memainkannya malam ini,” kata Gitaris Blueboy Paul Stewart kepada Tempo, dua jam sebelum naik panggung.

Sedikit sekali yang menyangka pentolan label rekaman independen Sarah Records itu aktif kembali setelah 24 tahun memutuskan hiatus atau bubar pada 1999. Mereka andil dalam skena indie pop di Inggris Raya pada medio 1989 hingga 1999 dengan merilis tiga album bertajuk If Wishes Were Horses dan Unisex di tahun yang sama, 1994 lewat Sarah Records, dan kali terakhir The Bank Of England pada 1998 lewat label rekaman Shinkansen Recordings.

Atraksi Blueboy dalam Joyland Festival, 24 November 2024. Foto: TEMPO| Muh. Ilham Balindra.

Selain membawakan dua single terbarunya, Paul Stewart (Gitar), Gemma Malley (Vokal), Mark Cousens (Bass), dan Martin Rose (Drum), selama satu jam menyajikan kepada penggemarnya nomor-nomor di tiga album yang sudah ada dalam waktu 30 tahun silam itu.

Dibuka dengan lagu “Popkiss”, “Candy Bracelet”, dan “Clearer”, Stewart dan tiga personel lainnya tampak cangguung berada di panggung sebesar itu. Saat membawakan lagu “Clearer” yang menjadi batu lompatan pertama mereka di Sarah Records, Malley sesekali melompat-lompat di atas panggung.

Total dalam aksi panggung selama sejam itu, Blueboy membawakan 14 lagu yang dinantikan para penggemarnya. Lagu-lagu mentereng seperti “Sea Horses” dan “Air France” turut dinyanyikan Malley dengan alunan genjrengan gitar Stewart, ketukan drum Rose, dan bunga-bunga suara bass khas Cousens. 

Puncaknya saat tiga lagu terakhir, “Joy Of Living” yang membuat para penggemar Blueboy di Jakarta sorak-sorai bergembira. Mereka dengan riangnya mengikuti Malley yang lebih akrab dikenal sebagai penulis fiksi itu melantunkan “Joy Of Living”.

Kendati lirik-liriknya Blueboy acapkali bernuansa emosional dan sedih, namun perasaan nostalgia membuat apar penonton amat bergembira. Blueboy mengajak anak-anak muda menjelajahi skena indie pop di Inggris pada tahun 90-an dengan etos DIY (do it yourself) yang dimotori oleh Sarah Records.

“Mereka memainkan Blueboy saat berjalan menuju altar, atau mereka memainkan Blueboy saat menina-bobokkan anaknya hingga tertidur pulas. Kamu bayangkan bagaimana rasanya jadi kami mendengar cerita mereka, ini sangat-sangat mengharukan dan luar biasa. Kami tak menyangkan bahwa kami telah menjadi bagian dari kehidupan mereka selama sekitar 20 tahun terakhir tanpa menyadarinya,” kata Malley di sore yang mendung itu, sebelum malamnya menyapa penggemar di Jakarta.

Iqbal Muharam Nurfahmi misalnya, mengatakan senang sekali bisa menyaksikan Blueboy akhirnya kembali bermusik, menyaksikan aksi Stewart dan Malley memainkan musik yang dianggap culun pada 25 tahun silam itu. Meski kini Blueboy harus bermain tanpa kerabat Stewart yang sama-sama membentuk band itu, Keith Girdler yang telah meninggal pada 2007 silam.

“Menonton mereka dari jarak yang begitu dekat, walaupun tanpa Keith. Sayangnya dengan panggung sebesar itu dengan set Blueboy terdengan “flat” dan hambar,” kata Iqbal.

Ia datang ke hari ketiga Joyland Festival 2024 untuk menyaksikan Blueboy, karena menurut dia semua orang suka Sarah Records dan semangat yang diusungnya. Sarah Records digadang-gadang sebagai label rekaman independen yang menelurkan musisi-musisi pop, namun paling punk sedunia. Hal itu mengingat etos DIY dan pertentangan mereka terhadap budaya macho dan kapitalisme.

“Saya suka “Joy Of Living”. Sebetulnya saya ingin sekali melihat dan mendengarkan cello di lagu itu, tapi karena setnya tak mendukung akhirnya suara penonton yang melantunkan nada cello-nya,” katanya.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus