SEBUAH pertunjukan dengan maksud yang serius. Sebuah pentas yang agak kaku. Di sebelah kiri: sekelompok kecil pemain gamelan. Di sebelah kanan: pemain gagaku, musik kuno Jepang. Menghadapi prosenium, para penonton, yang memenuhi tiga perempat teater yang agak dipergelap itu. Malam itu, mungkin buat pertama kalinya orang Tokyo menyaksikan sebuah eksperimen yang unik di panggung teater Cocoon di gedung kesenian Bunkamura yang megah itu: bagaimana sebuah karya tari dari Indonesia bergabung dengan satu ekspresi teater kontemporer Jepang. Itulah drama-tari Prahara di Borobudur yang dilahirkan lagi, Selasa pekan lalu, di antara sejumlah pertunjukan dalam Festival ASEAN yang pertama di empat kota Jepang tahun ini. Sebelumnya lakon ini digelar di Jawa Tengah, di halaman museum di wilayah candi Budha yang termasyhur itu (TEMPO, 22 Agustus 1992), ketika malam bulan purnama: sebuah pertunjukan yang terbangun dengan mengesankan, meskipun belum sepenuhnya matang. Kini, di Jepang, Prahara mengalami perubahan latar. Juga perubahan efek. Katsura Kan, koreografer dari Kyoto, salah satu penerus ekspresi butoh dalam tari Jepang, berkunjung ke Indonesia sekitar sebelas tahun yang lalu. Ia menemukan bahwa seniman tari Indonesia ternyata tak asing dengan butoh, sebagai konsep. Dalam catatan yang ditulisnya untuk Prahara di Borobudur, Katsura Kan melihat bahwa bagi seniman Indonesia, sifat "Jepang" dalam butoh (yang dilihat oleh orang Barat) "seakan melenyap seperti kabut di sinar surya". Sebab, "melintasi tapisan tubuh Asia mereka, mereka sama-sama berbagi, sama-sama merasakan, 'sebuah tarian yang manusiawi benar'." Berangkat dari sana Katsura Kan menghubungi Suprapto Suryodarmo, seniman tari dari Sala yang kemudian aktif sebagai seorang Budhis dalam sebuah perguruan yang disebut Padepokan Lemah Putih. Mereka berdua mencoba menyusun sebuah koreografi bersama, untuk mengungkapkan sebuah kesan tentang Borobudur. Candi ini, menurut Katsura Kan, mempengaruhi batinnya sebegitu rupa: "Saya merasa sesuatu diwedar dari dalam diri saya." Borobudur adalah butoh itu sendiri, tulisnya. Tapi, tampaknya proses kerja sama itu tak dengan sendirinya mudah. Katsura Kan menyatakan bahwa pementasan di Borobudur itu baru mencapai "25%" dari yang dikehendakinya. Tapi ternyata yang tampak di Tokyo malam itu adalah sebuah versi yang kurang pekat. Suasana tak terbangun. Adegan berlangsung seakan mencari-cari klimaks yang tak kunjung sampai. Para penari Jawanya tampak seperti kehilangan penguasaan ruang. Para penari Katsura Kan serasa tak bisa memberi respons kepada suasana yang dicoba dihadirkan oleh Suprapto. Cuma penari Rosa Yuki, yang mengingatkan akan kesubliman gerak penari gugaku di pura Shinto, yang berhasil membangun mood bersama dengan bedaya Jawa, tapi itu pun cuma selintas. Panggung dicoba dihidupkan dengan adegan wayang pada layar yang dibentang panjang, tapi terasa mencari efek. Menjelang akhir, ada penyorotan slide tentang Borobudur sebagai latar belakang, tapi terlampau merebut fokus. Prahara, di Bunkamaru, bukanlah sebuah pementasan yang mengesankan. Padahal, dari semua acara panggung dalam Festival ASEAN ini, drama tari itulah yang paling bisa diharapkan menghadirkan sesuatu yang lebih serius, secara spiritual maupun artistik. Ia bukan sekadar "pengantar" perkenalan dengan sebuah negeri jauh. Peran "pengantar" agaknya toh sudah dilakukan oleh pementasan Cilik-Cilik Bali, serangkaian tarian anak-anak Bali dari grup Tedung Agung di Ubud. Juga, dalam tingkat lain, oleh Beauty World, sebuah musikal dari Singapura. Sebagaimana dinyatakan penulisnya sendiri, Michael Chiang, drama-nyanyi ini dengan sadar berkaitan dengan "melodrama ala Kanton" yang dimuntahkan oleh pabrik film Hong Kong yang menyusup ke dalam sensibilitas orang keturunan Cina di Singapura. Dipentaskan dalam bahasa Inggris dengan warna setempat, drama-nyanyi ini mungkin memikat terutama sebagai sebuah komentar ironis -- sebuah alegori yang meriah -- tentang suatu kenangan lokal. Kurang jelas bagaimana orang di Jepang menerimanya. Dari variasi acara itu, tampak bahwa Festival ASEAN pertama dengan biaya 710 juta yen ini memang menghadapi soal seleksi. Diprakarsai oleh Masahiko Noro, 49 tahun, yang pernah bekerja di pusat kebudayaan Jepang di Jakarta, festival yang diselenggarakan ASEAN Cultural Center ini (sebuah lembaga yang belum lagi berumur tiga tahun) dimaksudkan untuk "mengubah citra tentang Asia Tenggara di tengah masyarakat Jepang". Citra itu, seperti ditegaskan Noro, masih terbentuk hanya oleh kegiatan bisnis dan kehadiran orang Asia Tenggara sebagai buruh kasar. Tetapi kesenian apa yang bisa dianggap layak mewakili Asia Tenggara masa kini -- itu memang tak mudah menentukannya. Malaysia diwakili penyanyi semi-rock yang populer, Zainal Abidin. Muangthai diwakili trio pop Sarm Tone yang baru dibentuk 1990. Rhoma Irama juga manggung (TEMPO, 26 September 1992, Pokok & Tokoh). Semua itu menunjukkan usaha melintasi batas antara kesenian yang "serius" dan yang "hiburan", antara yang mencerminkan kekuatan kreativitas murni dan hiburan yang didukung masyarakat luas. Mungkin juga kombinasi itu dipilih untuk mengundang peminat yang lebih beragam di masyarakat Jepang, yang tampak belum tertarik benar datang. Walhasil, festival ini masih mencari watak dan mutu. Tetapi tak pelak lagi ini hajat yang serius dari Pusat Kebudayaan ASEAN di Tokyo. Goenawan Mohamad dan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini