PAMERAN ini hajatan besar. Menghabiskan dana sekitar Rp 200 juta dan didukung sekitar 160 perupa berkaliber dari berbagai daerah. Manampilkan karya seni rupa berbagai disiplin. Desain dan kria, yang biasanya dianggap "bukan seni", berdampingan dengan lukisan dan patung seniman-seniman terkemuka. Pameran Besar Seni Rupa Indonesia, mata acara Jakarta Art & Design Expo 1992 yang digelar di Jakarta Design Center, 25 sampai 30 September, memang bertujuan mengetengahkan batasan baru yang tidak membedakan derajat media seni rupa. "Seni rupa adalah seni yang melibatkan proses pembuatan yang membangun gubahan estetis melalui cerapan indera rupa." Ini definisi seni rupa yang digariskan kuratornya, Jim Supangkat, pada katalog. Dan seni rupa di sini meliputi karya lukis, patung, grafis, kria, keramik, karya serat, instalasi, desain tekstil, busana, desain grafis, fotografi, dan rancangan interior. Sejumlah seniman ternama tampaknya tidak keberatan "menghadiri" silaturahmi seni rupa itu. Di gerbang ruang pameran, Srihadi Soedarsono menurunkan tiga lukisan bertema penari Bali. Satu dalam ukuran ekstrabesar. Karya-karya pilihan ini menampilkan dengan intens rekaman gerak melalui sapuan-sapuan besar yang ekspresif. Sedangkan lukisan abstrak nonfiguratif Bagong Kussudiardjo dengan bidang warna-warna menyengat, dan lukisan kaligrafi A.D. Pirous, ada di sisi bersebelahan. Kemudian, pada dinding utara ruang pameran, berderet karya pelukis yang cukup punya nama besar: Kartika Affandi yang diwakili tiga lukisan ekspresif Joko Pekik dengan dua lukisan realisme kerakyatannya yang tajam dua karya Jeihan berjudul Manusia I dan Manusia II (potret Arifin C. Noer dan Yayang, istrinya) lukisan ekspresif Sudjana Kerton dengan tema keseharian Popo iskandar dengan kucing dan macannya lukisan puitis Amang Rahman karya lembut Nasjah Djamin dan lukisan geometri Fadjar Sidik. Karya mereka berdampingan dengan karya pelukis muda seperti Nunung W.S. dan Heyi Ma'mun. Pada pelataran ruang pameran, masih di sektor utara, bertebaran karya rupa trimatra: patung, keramik, dan instalasi. Karya jernih dan liris pematung terkemuka Rita Widagdo dan karya pematung senior Amrus Natalsya berdampingan dengan patung seniman muda Anusapati, Amrizal Salayan, Yana W.S., Dolorosa. Terselip di antaranya instalasi Asmudjo Irianto, Alce Ully, dan && cukup mengejutkan -- instalasi pelukis senior Mochtar Apin. Di sayap barat terpajang karya fotografi bersama karya-karya desain grafis. Karya fotografi ini menampilkan model foto, stile life, dan human interest. Lihat saja misalnya karya Darwis Triadi Bunga II dan Kanvas, karya Firman Ichsan, Alex, Dua, dan Kaki, foto berjudul Irian dan Solo karya Tara Sosrowardoyo. Umumnya memperlihatkan keunggulan teknik, tapi hanya sedikit rongga gerak untuk imajinasi pengunjung. Karya fotografi Fendi Siregar dan Yudhi Soerjoatmodjo perlu dikecualikan. Karya Fendi, foto belantara manusia di stadion yang dicetak empat buah, dengan ukuran 60 x 60, disusun berputar dalam posisi tidur. Menimbulkan asosiasi yang tidak berhenti pada karya foto. Yudhi menggelar esai foto hitam-putih yang mengekspresikan realita depresif keluarga penjagal sapi. Perupa foto ini menyodorkan dunia lain, sebuah dunia kasar. Karya-karya desain grafis yang diikutkan pada pameran ini memang tidak istimewa. Di antaranya, logo perusahaan, katalogus, poster, kalender, buku, dan rancangan kemasan. Namun, ada yang menarik, misalnya poster perancang grafis ternama Tjahjono Abdi untuk iklan kaset Setiawan Djody. Di sini teknik foto digabungkan dengan sentuhan air brush. Juga karya kalender Surat Emas dan poster Seabad Kearsipan yang mengambil motif sulur dan flora. Masih pada sayap barat ruang pameran, sejumlah karya keramik, kria, desain produk, dan karya seni serat bertumpuk padat. Karya perupa keramik ternama Widayanto kelihatan tenggelam di antara desain kursi dan seni serta yang dipajang tergantung. Ekspresi perupa seni serat kenamaan Biranul Anas dan Yusuf Affendi sangat sulit diamati karena dipajang terlalu berdekatan. Desain produk, masih di sektor barat, tampil miskin. Hanya desain kursi yang menonjol. Karya Irvan Noe'man, Batu Chair atau kursi batu, layak dicatat sebagai rancangan maupun karya seni. Dengan ide bentuk sederhana, Irvan menggabungkan bahan kayu, batu granit, dan lajur besi yang diolah akurat. Seperti layaknya pada karya desain produk, karya Irvan menekankan sentuhan detail pada setiap pengolahan bahan. Karya desain produk yang juga menarik, karya perancang muda Hadhi Siswanto. Ia menampilkan Domba Love Seat, sebuah karya berupa meja kayu, mirip selancar yang diberi empat kaki, sementara papan mejanya dilubangi kecil-kecil dengan rapi. Kursi pasangannya menggunakan kawat, besi, dan gulungan karet dengan detail kaki yang sama dengan kursinya. Karya ini dengan kuat menonjolkan imajinasi senimannya. Tidak semata-mata ditujukan sebagai benda fungsional dengan perhitungan ergonomis. Karya ini menampilkan ekspresi pribadi yang dibayangi akurasi teknologis. H.M. Ebon, perancang kursi yang punya nama internasional, mengkhususkan bahan rotan dan bentuk-bentuk mungil. Rata-rata dengan dinding anyaman yang penuh di sekujur tubuh kursi. Karyanya cenderung kukuh serta enak dipandang. Aksentuasi pada karya ebon ini terletak pada bantalan kursi yang diberi warna-warna mencolok: oranye, hijau muda, dan merah. Selain tiga desainer produk itu, layak disebutkan perancang terkenal Farouk Kamal. Ia menyodorkan kursi makan rancangannya, yang sudah sering diikutkan dalam pameran-pameran mebel di Jakarta. Juga kursi-kursi karya Eko Prabowo, perancang yang terkenal di Bali. Yang tampaknya menarik perhatian khalayak, dalam pameran ini, karya-karya yang kebetulan ditempatkan pada sektor selatan. Selain kebanyakan karya perupa muda, di sini karya-karyanya pun mempunyai daya kejut visual karena menampilkan idiom-idiom baru. Sangat beragam dan lebih lepas dibandingkan karya-karya di sektor lain ruang pameran. Lihat saja karya Heri Dono yang menukik dengan karya instalasinya yang diberi judul Menonton Orang-Orang Marginal. Dipancang pada multipleks yang ditegakkan, karya ini menampilkan wajah makhluk-makhluk aneh dari kayu menyerupai topeng dengan berbagai peralatan elektronik pada bagian lehernya. Topeng binatang aneh ini disusun berderet menyamping, sementara di bagian atasnya digantungkan jam yang sudah dimodifikasi dengan bahan kayu menjadi berbagai bentuk aneh. Terkesan primitif. Sayang, karya yang menyertakan gerak dan suara ini tidak terpasang karena hambatan teknis. Namun, keliaran fantasi Heri Dono tetap merangsang penginderaan penikmatnya. Berdekatan dengan karya Heri Dono, Dadang Christanto tampil dengan Orang-Orang Korban. Instalasi yang memperlihatkankan proses manusia lemah yang menjadi korban kesewenang-wenangan manusia lain, ditampilkan dalan bentuk potongan- potongan gambar yang disusun merayap dari tembok pilar ke lantai. Di sektor selatan ini tampil pula pelukis-pelukis muda yang namanya mulai bermunculan: Ivan Sagito, Lucia Hartini, Agus Kamal, Dwijo Sukatmo, Acep Zam-Zam Noor, Asri Nugroho, Eddie Hara, Nindityo Adipurnomo. Lukisan-lukisan ini dijajarkan bersama karya dekoratif. Tampil di sini pelukis senior seperti Barli, Roediyat, Rachmansyah, Ida Farida, dan Sapto Hudoyo. Di sektor ini ditampilkan pula karya perunggu pematung terkemuka, G. Sidharta Soegijo, Penunggang Kuda dari Atas Angin, Pemain Kendang. Juga patung Dewi Sri karya Hadjar Satoto yang mengolah citra ketimuran berwarna-warni. Pematung Nyoman Nuarta hadir di sektor selatan dengan Miss Wooly dari bahan per, dan Tutul, patung macan yang diolah dengan teknik las kuningan. Karya-karya seni grafis dikelompokkan di sayap timur arena pameran. Sejajar dengan perkembangan seni grafis, para pegrafis (10 orang) rata-rata menuangkan karyanya dengan teknik cetak saring. Misalnya Marida Nasution, Firman, dan Soegeng Restu Adi. Pada kelompok ini terlihat pula karya gambar && lebih dikenal drawing. Tampil dengan media ini, pegrafis terkemuka G.M. Sudarta yang menggunakan bahan kertas dan tinta cina. Juga pegrafis yang mulai muncul, Satyagraha, yang mengetengahkan drawing pensil di atas kertas. Teknik klasik ini di tangan Satyagraha muncul mengejutkan. Para perupa yang menekuni bidang busana dan aksesori tidak ketinggalan hadir pula pada pameran ini. Tidak kurang dari 10 nama perancang terkenal ikut menyemarakkan pameran ini. Di antaranya Peter Sie, Lily Salim, Iwan Tirta, Harry Dharsono, Arie Yuwono, Samuel Wattimena, Keyko Audrine, dan Runa Pallar. Karya Harry Dharsono, Nave dan Of, yang mendekati seni serat, tampak menonjol dan lebih menyatu dengan pameran, dibandingkan dengan perancang lainnya. Karya interior yang layak dicatat pada pameran ini adalah Java Reviste karya Maya Suharnoko. Barang-barang pribadi yang dipajang di sebuah ruang memperlihatkan karakter perancangnya yang sering muncul pula pada rancangan interiornya. S. Malela Mahargasarie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini