Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPULUH tahun sudah dia pergi. Malam 13 Agustus 1996, seseorang mengetuk pintu rumah Fuad Mohammad Syafruddin dan menghantam kepala serta tubuh wartawan Bernas itu dengan pipa besi. Udin terjungkal berlumur darah, dan tiga hari kemudian di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta dia tewas. Ia dimakamkan ketika Indonesia merayakan hari ulang tahun kemerdekaan ke-51.
Masihkah orang-orang mengenang kisah kemati-annya? Kecuali sebuah buku yang ditulis Jose Manuel Tesoro, se-orang wartawan asal Filipina, cerita Udin hampir dilupa-kan. Pengadilan hanya bisa mengatakan Udin mati dibunuh, tapi tak pernah menemukan pelakunya. Polisi memang pernah menuding Iwik alias Dwi Sumaji sebagai pelaku pembunuhan itu dengan motif cemburu. Tapi tak ada bukti yang memperkuat tudingan itu. Ditahan 58 hari, Iwik lalu dibebaskan. Dari Iwik diperoleh kisah bahwa ia dipaksa mengakui sesuatu yang tidak dilakukannya. San-diwara demi sandiwara memang mengiringi drama penye-lidikan kasus ini.
Sejak semula kematian Udin berselimut kabut. Skena-rio politik yang melibatkan Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo hampir tak disentuh polisi. Banyak yang mempercayai tulisan-tulisan Udin di harian Bernas tentang korupsi Bupatilah yang menyebabkan kematiannya. Tapi, tanpa keputusan pengadilan, keyakinan orang ramai itu tak banyak artinya.
Belakangan terungkap, kasus ini juga jadi konsumsi politik tingkat tinggi. Panglima Kodam Diponegoro, ketika itu dijabat Mayor Jenderal Soebagyo H.S., berselisih paham dengan Bupati Sri Roso tentang penetapan calon Bupati Bantul. Sri Roso "melambung" dalam melobi Presiden Soeharto agar dipilih lagi sebagai bupati melalui jasa Noto Suwito, adik Soeharto. Kepada Soebagyo, Roso mengaku tak ingin lagi jadi bupati-sesuatu yang membuat Pangdam mencari kandidat lain.
Perseteruan lain terjadi antara polisi dan kejaksaan. Pe-tinggi kejaksaan terganggu dengan sikap polisi yang "tanpa sowan" memaparkan kasus Udin kepada Soeharto. Presiden memerintahkan agar soal Iwik segera dituntaskan kejaksa-an. Akibat ketersinggungan itu, jaksa kemudian menuntut Iwik bebas-sesuatu yang tak dikehendaki polisi.
Iwik memang diuntungkan dalam konflik polisi versus jaksa. Polisi didukung Pangdam Diponegoro untuk meng-usut Sri Roso sebagai akibat perseteruan Soebagyo versus Bupati. Tapi nyatanya kasus ini tetap menggantung: Iwik bebas, Sri Roso tak tersentuh.
Sepuluh tahun berlalu dan cerita ini tetap jadi misteri. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur kasus pembunuhan berencana akan kedaluwarsa setelah 12 tahun. Atau bisa juga sampai 18 tahun jika tergolong "makar mati"-pembunuhan yang dilakukan nyaris sempurna sehingga tersangkanya sulit dituntut di pengadilan. Dengan kata lain, masih ada waktu delapan tahun lagi.
Mestinya polisi tak membiarkan kasus ini tutup buku. Masih ada waktu untuk bertindak. Bukti-bukti lama dan para saksi bisa dikumpulkan kembali. Tokoh-tokoh politik yang membuat kasus ini sulit diungkap sudah tak berkuasa, sebagian bahkan sudah meninggal. Dengan kontrol yang kuat dari publik, pengungkapan kasus ini mestinya tidak ruwet-ruwet amat.
Yang dibutuhkan adalah niat baik aparat. Juga keingin-an untuk membuang jauh-jauh cara berpikir gampangan: banyak hal yang harus dikerjakan, buat apa susah-susah mengurus kasus masa lalu. Kematian Udin adalah tragedi. Sejarah kita tak boleh kotor oleh tragedi yang tak ter-selesaikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo