Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari bumi Riau, kelompok musik Blacan Aromatic Ethnic Project menyuguhkan irama musik Melayu yang rancak. Dengan instrumen sederhana, yang terdiri atas gambus, akordeon, flute, biola, bas, dan perkusi, mereka bermusik di saluran YouTube Budaya Saya selama hampir satu jam. Pertunjukan itu ditayangkan pertama kali pada Ahad, 10 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kelompok ini beranggotakan Zalfandri Zainal Matrock yang memegang gambus, Rakis menggesek biola, Iskandar memainkan akordeon, Bayu meniup flute, Yendra Pratma menabuh perkusi, dan Aprido memetik bas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka memulai pementasan itu dengan tembang Blacan Yo. "Inilah Blacan Yo," kata Matrock, pemetik gambus, ketika menyapa penonton yang melihat pertunjukan musik mereka di sebuah teras bangunan rumah yang kokoh bercat putih. Lalu mengalirlah irama musik yang riang dan ngepop dari instrumen yang dibawakan enam musikus yang duduk berjauhan itu.
Nomor kedua yang mereka bawakan berjudul Serap. Dalam nomor itu, suara gambus memimpin, disusul akordeon yang cukup mendominasi dan tepukan rebana. Lagu yang sangat kental irama Melayu itu juga bernada riang. "Serap itu seperti trance, seperti hilang ingatan. Kita tidak pernah sadar, ketika hilang ingatan itu, apakah mengalami hal positif atau negatif," ujar Matrock. Namun mereka menerjemahkan Serap sebagai peristiwa positif. "Ada yang baik, bisa dijadikan teladan."
Selanjutnya, mereka menghadirkan sebuah komposisi yang cukup menyentuh berjudul Jelatik. Nomor ini diciptakan Zalfandri Zainal Matrock, pemimpin kelompok musik itu. "Jelatik mengisahkan kapal pengangkut yang berlayar dari Kepulauan Meranti ke Pekanbaru." Kapal itu, menurut Matrock, punya jasa besar membawa kehidupan menjadi lebih baik. Mereka menggunakan jelantik untuk pergi ke kota dan pulang kembali ke desa. "Berbakti kepada kampung kita sendiri."
Tiupan flute dan iringan akordeon mengawali komposisi ini. Lengkingan nada dari gesekan biola dan akordeon serta tepukan lambat perkusi menciptakan suasana syahdu. Namun, menjelang pengujung lagu, terdengar irama dalam tempo cepat, seakan-akan berkejaran dalam nada yang sama. Ada nada rindu kampung halaman yang mengemuka dalam nomor itu. "Wah, enggak jadi pulang kampung kita karena wabah," ujar Matrock kepada teman-temannya.
Kelompok musik yang pernah menerima penghargaan Karya Non-Buku Pilihan Sagang 2013 ini juga menampilkan lagu Coupel, yang berarti banyak cakap. Menurut Matrock, lagu ini berpesan agar seseorang tak banyak bicara dan tak sombong. "Jangan banyak cakap, tak boleh sombong, tak boleh bilang tak akan kena virus corona. Virus ini masih jauh. Jangan. Hendaklah kita waspada," ujar dia. Lalu meluncurlah tembang yang didahului oleh gesekan gitar dan gambus yang bernuansa riang.
Selanjutnya, mereka membawakan nomor berjudul Negeri Tematu, yang idenya berasal dari pohon nipah. "Pohon ini aneh. Dalam satu pohon, pelepahnya disebut nipah, tapi buahnya disebut tembatu. Ada keragaman," ujar dia. Keragaman ini menjadi inspirasi lagu tersebut, seperti keragaman di negeri ini. Lagu itu termaktub dalam album pertama kelompok ini, yang berjudul Kala Sunyi Kuala Bunyi.
Muatan komposisi ini memang sangat berwarna. Irama jimbe, rebana, dan gambus yang meriah menyelinap di tengah musik dengan nuansa jazz dari bas dan akordeon. Irama dendang kemeriahan berjoget dalam irama Melayu, yang kemudian sedikit berubah dengan irama jazz dan kembali lagi ke entakan rebana. Musik tradisi Melayu dan jazz saling berbagi ruang. Komposisinya cukup panjang dibandingkan dengan komposisi lain.
Blacan Aromatic Ethnic Project memang membawakan karya-karya yang memadukan musik tradisi dengan musik modern. "Elemen-elemen dari instrumen musik pesisir itu kita padukan ke dalam bentuk modern. Kita jadikan satu kemasan yang bisa dikonsumsi siapa saja," tutur Matrock. "Sifatnya adalah world music."
Komposisi lain yang dibawakan berjudul Hungkal in a Minor. Petikan gambus dengan nada sendu Matrock mengawali komposisi ini, lalu ditimpali gesekan biola. Namun nada minor itu segera berganti dengan nada yang lebih ceria dan ringan.
Menutup pertunjukan, mereka menyajikan sebuah tembang dengan lirik sangat kekinian yang dibawakan sang pemain biola, Rakis. Menurut Matrock, tembang berjudul Corona ini menjadi viral dan digemari banyak orang. Liriknya pun pendek-pendek dan sangat mudah diingat. Dengan lagu ini, mereka mengajak masyarakat untuk tidak menganggap remeh pandemi. "Jangan terlalu memandang simpel dalam menghadapi wabah ini," ujar dia.
Bernyanyilah Rakis yang ditimpali kendang berirama rancak. //Kalaulah mau keluar, eloklah di rumah/ kalau berkumpul, nanti kena corona.// Kalaulah mau ngopi, eloklah di rumah, kalau ngopi di luar, nanti kena corona// Kalau nak berayo, janganlah ke kampung/ kalau kau ke kampung, kau kena kurung// Ado telinga, jangan kena buat pekak, kalau dah keno, nanti engkau berserak// Tando dah keno demam dan sesak// Jangan keluo kato orang tuo...Jangan keluo kata orang tuo…. DIAN YULIASTUTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo