Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mengkaji Paket Kebijakan Ekonomi

21 Desember 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

A. Prasetyantoko

Kapan momen terbaik melakukan inovasi dalam ekonomi? Joseph Alois Schumpeter, pelopor teori siklus bisnis, menjawab: pada saat krisis terjadi. Itulah yang disebut sebagai creative destruction atau penghancuran tatanan lama menjadi tatanan baru yang lebih baik. Sebab, saat krisis terjadi, orang biasanya terbuka melakukan perubahan dan perbaikan pada tatanan lama. Dampaknya, situasi buruk perlahan terangkat memasuki fase booming. Di sinilah mekanisme business cycle terjadi.

Ketika terjadi perlambatan ekonomi, kebijakan diarahkan untuk menahan siklus ekonomi agar tak lebih parah (counter-cycle). Itulah yang sebenarnya tengah dilakukan pemerintah akhir-akhir ini melalui paket kebijakan ekonomi jilid I hingga VII. Perlambatan ekonomi hendak ditahan dan siklus naik hendak didorong.

Dengan paket kebijakan yang begitu masif, cakupan persoalan yang hendak dipengaruhi begitu luas dan kompleks. Maka ada dua pertanyaan pokok yang sering muncul, yaitu bagaimana mengkoordinasi tahap implementasi dan bagaimana mengukur efektivitasnya.

Sebelum menjawab dua pertanyaan itu, lebih dulu kita tengok bagaimana urgensi paket kebijakan ekonomi tersebut. Paling tidak ada dua persoalan besar yang tengah dihadapi perekonomian kita. Pertama, mengantisipasi gejolak jangka pendek yang pemicunya ada di sisi eksternal (faktor global). Kedua, mengatasi persoalan fundamental yang telah bercokol pada struktur ekonomi domestik kita.

Suasana global

Kondisi perekonomian global sama sekali tak bersahabat. Ekonomi sebaik apa pun pasti harus melewati awan tebal yang menimbulkan turbulensi tinggi. Goldman Sachs bahkan merilis laporan mengenai krisis finansial global gelombang ketiga. Gelombang pertama terjadi saat subprime mortgage memicu kehancuran sektor keuangan Amerika Serikat. Gelombang kedua terjadi tatkala surat utang pemerintah menjerat negara Uni Eropa. Gelombang ketiga terjadi di negara berkembang, yang ditandai oleh perlambatan ekonomi Cina.

Gelombang ketiga krisis finansial global ini diperkirakan menimpa negara berkembang karena dua hal pokok. Pertama, berakhirnya booming komoditas yang menimbulkan surutnya pendapatan ekspor. Kedua, berkurangnya likuiditas yang sebelumnya begitu masif masuk ke pasar negara berkembang. Risiko kedua ini ditandai oleh semakin dekatnya normalisasi kebijakan moneter di Amerika dengan kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika.

Dampaknya, negara berkembang akan mengalami perlambatan pertumbuhan akibat anjloknya aktivitas ekspor berbasis komoditas dan meningkatnya kewajiban eksternal akibat keringnya likuiditas. Dua kombinasi persoalan ini akan menimbulkan risiko yang bakal merontokkan perekonomian negara berkembang.

Negara berbasis minyak jelas sudah kolaps. Lembaga riset RBC Capital Market Ltd menunjukkan hancurnya lima negara akibat penurunan harga minyak, yakni Aljazair, Irak, Libya, Nigeria, dan Venezuela.

Adapun Morgan Stanley mengeluarkan laporan mengenai sepuluh negara yang paling parah mengalami depresiasi mata uang terhadap dolar Amerika. Kelompok trouble ten currencies terdiri atas Taiwan, Singapura, Rusia, Thailand, Korea Selatan, Peru, Afrika Selatan, Cile, Kolombia, dan Brasil. Sepuluh negara ini merupakan tipikal negara berbasis komoditas.

Polanya sangat jelas, perlambatan perekonomian global memukul negara berkembang yang selama ini mengandalkan ekspor atau komoditas. Akibatnya, dunia tengah menuju fase baru, yakni the new mediocre—situasi serba tak meyakinkan.

Dibandingkan dengan negara lain, perekonomian kita relatif tak terkena dampak terlalu parah. Memang, jika dilihat polanya, pertumbuhan Indonesia berkaitan dengan harga komoditas. Puncak pertumbuhan ekonomi 2011 sekitar 6,5 persen terjadi saat dunia mengalami booming komoditas. Saat harga komoditas mulai surut, pertumbuhan mengalami koreksi mulai kuartal III 2012. Pertumbuhan saat itu berada di bawah 6 persen.

Pertumbuhan kuartal III tahun ini cenderung masih menurun, yaitu 4,67 persen—atau lebih rendah daripada kuartal II sebesar 4,72 persen. Tapi kuartal IV tampaknya akan lebih tinggi daripada kuartal III. Artinya, perlambatan ekonomi sudah mencapai dasar dan kini akan kembali naik. Namun seberapa besar prospek pembalikan siklus perekonomian akan terjadi secara signifikan? Di situlah letak persoalannya.

Relevansi paket kebijakan

Dalam konteks itulah paket kebijakan ekonomi yang diluncurkan pemerintah pada September tahun ini harus diletakkan. Kita tak hanya ingin keluar dari risiko likuiditas yang diakibatkan oleh kenaikan Fed Fund Rate. Namun lebih jauh ingin mengubah lanskap perekonomian yang tak kompetitif dan masih cenderung berbasis komoditas.

Karena itu, kebijakan memiliki dimensi waktu jangka pendek, menengah, dan panjang. Konteks ini agak sulit dijelaskan kepada publik yang ingin melihat dampak sekejap terkait dengan persoalan jangka pendek, seperti nilai tukar, indeks pasar, dan harga bahan kebutuhan pokok. Kebijakan jangka pendek kadang tak bisa instan karena selalu butuh waktu sebelum hasilnya bisa dirasakan.

Pada paket kebijakan jilid pertama, pemerintah meluncurkan 134 kebijakan yang terdiri atas 17 peraturan pemerintah, 11 peraturan presiden, 2 instruksi presiden, 96 peraturan menteri, dan 8 aturan lain. Kementerian Perdagangan menangani 32 aturan, Kementerian Koperasi Usaha Kecil dan Menengah 29 aturan, serta Kementerian Perindustrian 15 aturan. Lainnya tersebar di 13 kementerian dan lembaga. Paket kebijakan ekonomi jilid pertama begitu masif dan tak fokus: melingkupi perluasan investasi, pengembangan industri, perdagangan dan logistik, serta pengadaan bahan baku.

Paket kebijakan ekonomi II jauh lebih sederhana dan terfokus, yaitu hanya mengenai peningkatan investasi dan ekspor. Rincian kebijakannya juga jelas, seperti implementasi pelayanan terpadu satu pintu di bawah Badan Koordinasi Penanaman Modal serta tax holiday dan tax allowance di bawah koordinasi Kementerian Keuangan. Juga beberapa implikasi teknis mengenai investasi di kawasan hutan lindung, yang menjadi wilayah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Paket kebijakan III dan seterusnya memiliki pola yang mirip dengan paket jilid II, yaitu terfokus dan terarah pada isu tertentu. Rupanya, pemerintah belajar dari kesalahan paket kebijakan I.

Paket kebijakan VI semakin menukik pada jantung persoalan rakyat. Ada dua poin besar yang disasar, yaitu membuka akses pembiayaan masyarakat melalui percepatan sertifikasi tanah dan insentif (pajak) bagi industri padat karya. Pada fase ini, ada banyak hal positif dari paket kebijakan ekonomi yang bisa segera dirasakan kelompok masyarakat bawah.

Meski demikian, ada kelemahan paling penting dari paket kebijakan ekonomi ini, yaitu koordinasi pada fase implementasi. Namun itu persoalan klise yang sudah berurat-akar tak hanya pada persoalan ekonomi. Mitigasinya: Kementerian Koordinator Perekonomian bisa diberi wewenang dan tanggung jawab untuk melakukan fungsi implementasi paket kebijakan ekonomi.

Selain memonitor fase implementasi, yang tak kalah penting adalah mengukur dampak negatif dari kebijakan tersebut. Apa pun alasannya, setiap kebijakan ekonomi pasti menimbulkan trade-off. Jika tak disiasati sejak awal, hal ini bisa menjadi bibit masalah di kemudian hari. Bisa saja dampak buruknya baru terasa 10-15 tahun kemudian.

Karena itu, bekerja sama dengan institusi di luar pemerintah—misalnya dengan perguruan tinggi, yang memiliki kapasitas melihat persoalan dalam perspektif panjang—sangat diperlukan. Sebab, pemerintah selama ini cenderung melihat persoalan dari perspektif jangka pendek, yaitu pada periode saat mereka berada di pusat kekuasaan saja.

Rektor Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus