Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Raibnya Perhiasan Emas Mataram

Sebanyak 87 koleksi emas Museum Sonobudoyo digondol maling. Ada kemungkinan sudah dibawa ke luar negeri, termasuk sebuah koleksi istimewa berupa topeng emas.

23 Agustus 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Serpihan kaca berserakan di dalam ruang pameran khusus koleksi emas Museum Sonobudoyo, Yogyakarta, Rabu pagi dua pekan lalu. Di bagian atas dinding timur ruang emas itu, terali besi dan kaca yang melindungi satu dari tiga bouven semacam ventilasi berukuran 40 x 60 sentimeter tampak rusak parah seperti bekas dibobol se seorang.

Kondisi itu membuat Bambang, petugas kebersihan museum, terenyak. Dan ia kian terkejut ketika mengetahui beberapa vetrine, lemari kaca tempat memajang koleksi emas, rusak parah dan sebagian besar isinya raib. Bersama Muji Taryono, petugas keamanan museum, Bambang pun bergegas melapor ke Kepala Museum Martono, sebelum akhirnya meneruskannya ke Kepolisian Kota Besar Yogyakarta.

Berita hilangnya koleksi emas kuno museum di Jalan Trikora 6, Gondoma nan, kawasan Alun-alun Yogyakarta, itu sangat menggegerkan. Sebanyak 87 koleksi perhiasan emas peninggalan Kerajaan Mataram Hindu sekitar abad ke-8 hingga ke-9 digondol maling. Diduga pencuri masuk pada Selasa malam dua pekan lalu dengan mencongkel te rali besi dan memecahkan kaca nya memakai alat pencongkel ban mobil. Lalu pencuri memecahkan kaca vetrine yang memiliki ketebalan 1,2 sentimeter, dan meraup isinya.

Sonobudoyo, museum kedua terbesar di Indonesia setelah Museum Nasional, memiliki 43.235 koleksi. Bangunan ruang koleksi emas berada di unit I yang berdampingan dengan unit II. Untuk mencapainya, orang lebih dulu harus melewati lorong-lorong dari bangunan sekitarnya. Saat museum tutup, pengamanan hanya mengandalkan alarm dan kamera CCTV (closed-circuit television).

Ironisnya, saat pencuri beraksi, alarm yang dipasang di beberapa vetrine tak satu pun yang menyalak. Padahal, jika terjadi penekanan kaca vetrine saja, alarm akan meraung-raung. Lalu kamera CCTV yang dipasang di dalam ruang koleksi emas juga tak menangkap tindak kriminal itu. ”CCTV-nya tidak aktif, hanya dinyalakan kalau ada pe ngunjung,” kata Martono.

Ruang emas itu memiliki 15 lemari kaca atau vetrine. Tiga vetrine dijarah maling: vetrine 2, 9, dan 10. Sebanyak 87 koleksi emas dengan kadar 16-18 karat raib. Dari ketiga vetrine yang dibobol, hanya vetrine 9 yang menyi sakan barang koleksi. ”Tersisa arca emas kepala dewa dan beberapa peripih emas,” kata Winarsi, Kepala Seksi Koleksi, Prepa rasi, dan Konservasi Museum Sonobudoyo.

Adapun yang digondol berupa kalung dengan aneka bentuk, baik berbandul motif binatang, buah-buahan, untir, manik-manik, maupun bulan sabit. Lalu lempengan emas dan perak, fragmen perhiasan, perhiasan berbentuk ular dan bulat sabit, patung Dewi Tara, dan Awalokitesworo. Plus sebuah topeng emas yang merupakan salah satu koleksi istimewa Sonobudoyo.

Topeng emas itu memiliki tinggi 14,5 sentimeter, lebar 11 sentimeter, dan tebal 3,8 sentimeter. Benda itu masuk dalam nomor inventarisasi koleksi museum 04.2.381. Proses pembuatannya dengan cara cetak langsung gores. Dari ukirannya, rambut topeng dibuat melengkung-lengkung seolah menunjukkan sosok berambut keriting. Hi dungnya besar dengan sepasang mata agak sipit dan alis yang sama-sama tebal. Ukiran pada bibir menunjukkan ada lengkungan garis ke atas di kedua ujungnya. Dan topeng itu menyisakan tiga lapis garis horizontal yang disusun bertingkat untuk menggambarkan bentuk leher.

”Topeng emas itu ada sejak museum ini belum berdiri pada 1936. Jadi masih berupa Java Institute (embrio Museum Sonobudoyo),” ujar Winarsi. Herni Pramastuti, Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Daerah Istimewa Yogyakarta, menyatakan topeng emas itu ditemukan di Dusun Nayan, Desa Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman. Di dusun itu pula Herni tinggal sejak 1980. ”Lokasi penemuannya di galengan sawah, sebelah rumah saya,” kata Herni di kantornya di Desa Bogem, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Rabu siang pekan lalu.

Menurut Herni, tak ada kejelasan pasti nama topeng emas itu. Ada yang menyebut topeng Puspasarira. Ada pula yang menyebutnya topeng Kertolo. Berdasarkan informasi yang dikutip dari buku Topeng Sang Hyang Puspasarira karangan M. Sukarto, Kertolo adalah pelayan Panji, tokoh hero legendaris yang berasal dari Jawa Timur. Secara fisik, Kertolo mirip tokoh Bisma: sama-sama mempunyai sepasang mata yang menonjol, juga mempunyai jurus pu kulan tangan kosong yang dahsyat. ”Tapi itu hanya perkiraan, belum bisa dipertanggungjawabkan.”

Herni juga membantah informasi yang menyatakan bahwa topeng emas itu merupakan persembahan Raja Majapahit Hayam Wuruk untuk neneknya, Ratu Gayatri. ”Ngarang itu, jangan di tulis seperti itu,” ujarnya. Sejauh ini, menurut Herni, belum ditemukan prasasti, baik dari batu maupun logam, yang menjelaskan perihal topeng itu.

Akan halnya Tri Lestari, anggota staf bagian arkeologi Sonobudoyo, menyodorkan pendapat berbeda. Ia percaya topeng itu ada kaitannya dengan Maja pahit. Mengutip buletin Sana Budaja terbitan Desember 1960, ia mengatakan topeng emas itu ditemukan di Desa Nalan, tak jauh dari Candi Prambanan, oleh petani bernama Madijana. Saat itu Madijana menemukan guci berisi topeng emas dan lempengan emas berbentuk sosok tubuh yang berkalung bulan sabit emas. Jika dirangkai, antara topeng dan lempeng itu membentuk sosok orang-orangan.

Diduga temuan itu berasal dari zaman Kerajaan Mataram Kuno masa Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra. Tak jauh dari situ, di Dusun Plembon, Desa Taji, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, sebelumnya juga ditemukan topeng emas berukuran 12 x 8 sentimeter.

Menurut Tri Lestari, besar kemungkinan model topeng emas seperti yang ditemukan di dua desa itu diwariskan ke Majapahit. Seperti diketahui, pada abad ke-9, Mataram Kuno pindah ke Jawa Timur, hingga pada akhirnya berdiri Majapahit. Menurut Tri, di Maja pahit ada tradisi jika raja atau keluarga raja wafat, dibuatlah boneka orang-orangan yang melambangkan tubuh mendiang. Dalam kitab Negarakertagama, boneka itu disebut Sang Hyang Puspasarira. ”Jadi topeng emas itu ada kemungkinan perlengkapan ritual kematian untuk menutupi wajah mayat,” kata Tri Lestari.

Akan halnya Agus Arismunandar, arkeolog Universitas Indonesia, sangsi bahwa topeng emas yang hilang di Sonobudoyo berasal dari zaman Maja pahit. Soalnya, tak ada bukti tertulis yang menyatakan Majapahit memiliki topeng emas. Ia menilai pernyataan bahwa topeng itu pemberian Raja Majapahit Hayam Wuruk kepada neneknya, Ratu Gayatri, hanya hipotesis yang belum terbukti. Memang, dalam cerita Pararaton, menurut Agus, disebutkan Hayam Wuruk memainkan tari topeng. ”Tapi topeng yang digunakan topeng kayu, bukan topeng emas,” katanya.

Agus pernah melihat topeng berlapis emas yang hilang itu. Bentuknya tipis dan memiliki kelengkapan seperti hi dung, alis, mulut, kumis, dan matanya bolong. Topeng jenis ini berbeda dengan topeng prasejarah yang biasanya tidak detail dan cenderung kasar. Menurut dia, topeng emas pada zaman prasejarah biasa digunakan untuk menu tup mayat. Adapun mayat pada zaman Ma japahit biasanya dibakar sehingga muka mayat tak ditutupi topeng.

Topeng pada zaman Majapahit, kata Agus, biasa digunakan dalam upacara keagamaan. Kaum Brahmana menggunakannya untuk menyamarkan wajah. Menurut Agus, topeng di zaman itu juga bisa digunakan untuk fokus meditasi yang biasa disebut Ekagrata. Ekagrata bisa berupa arca kecil, simbol lingga dan yoni kecil, atau topeng. Ekagrata diletakkan di kuil pribadi untuk membantu bermeditasi. ”Tapi bukan sebagai bekal kubur,” katanya.

Topeng emas, Agus menambahkan, biasa dibuat dengan kadar 18-22 karat. Agus menyatakan sangat mungkin koleksi emas Sonobudoyo yang hilang sudah dilarikan ke luar negeri. Biasanya, barang emas kuno digosok lagi sehingga mengkilat dan terlihat baru seperti barang kerajinan. ”Kalau dianggap barang baru, bakal lolos dari pabean.”

Pito Agustin Rudiana, Pramono, Nurdin Kalim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus