Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yunita, 25 tahun, kesal bukan kepalang. Situs referensi film yang sering diaksesnya, www.imdb.com, mendadak tidak bisa dibuka. Padahal pe rempuan yang bekerja di perusahaan asuransi itu membutuhkannya sebelum menonton film The Expendables bersama teman-temannya. ”Akhirnya tetap nonton walau tak punya background film itu,” katanya.
Kekesalan seperti itu tak hanya menimpa Yunita. Walau tak ada data pasti, jutaan orang pengguna Internet merasa gondok akibat gagal mengakses Google Adsense, Google AdWords, InfoLinks, Casalemedia, Kontera, dan Chitika. Lalu masih ada situs seni dan desain deviant art.com, situs puisi dan kutipan cinta lovepoemsandquotes.com, situs film flixter.com, situs belanja asal Jepang rakuten.co.jp, beberapa situs komunitas seperti anggunesia.takeforum.com (situs penggemar penyanyi Anggun C. Sasmi), community.livejournal.com (fo rum berbagi lagu Mandarin), serta situs yang berkaitan dengan informasi kesehatan, yang tak bisa dibuka.
Bahkan beberapa konten dalam situs berita seperti www.detik.com dan www.kompas.com juga terganggu. ”Iklannya tidak keluar karena blokir Kementerian Komunikasi dan Informatika,” ujar seorang pengelola situs detik.com.
Yang dituding sumber masalah itu Kementerian Komunikasi dan Informatika. Mereka pun mengakui ada korban salah blokir. Menurut juru bicara kementerian, Gatot Dewa Broto, selama satu pekan pelaksanaan blokir, ada 128 keluhan dari pelanggan jasa Internet. Itu tidak termasuk komplain yang disampaikan pelanggan langsung ke perusahaan penyedia jasa Internet. ”Karena situs positif mereka terkena blokir,” kata Gatot, yang mengaku sudah membenahi bila ada komplain tentang situs non-target yang terblokir.
Semangat sensor situs sebenarnya bukan hal baru sejak Tifatul Sembiring diangkat menjadi Menteri Komunikasi dan Informatika. Kepada Tempo, Tifa tul sempat mengungkapkan keinginannya membatasi Internet yang mengandung kekerasan, perjudian, penghina an, dan blasphemy (penistaan).
Contohnya adalah Rancangan Peraturan Menteri tentang Konten, yang menjadi polemik pada Februari lalu. Rencana itu ditentang banyak pihak, dari pengelola situs, penyedia layanan Internet, sampai pengakses Internet. Gara-gara rancangan yang me nuai kritik dan dituding sebagai usaha pemerintah membungkam kebebasan berekspresi, bekas Presiden Partai Keadilan Sejahtera itu ”ditegur” Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Menteri Tifatul kembali mendapat angin dengan memanfaatkan momen Ramadan. Sehari menjelang hari pertama puasa, 9 Agustus lalu, Kementerian Komunikasi mengumpulkan enam operator telekomunikasi terbesar Indonesia: Telkom, Telkomsel, Indosat, Indosat Mega Media (IM2), XL Axiata, dan Bakrie Telecom di kantor Kemente rian, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Keenam operator itu dianggap merepresentasikan saluran Internet terbesar di Indonesia, karena menguasai hampir 87 persen pangsa pasar akses Internet di Tanah Air. Mereka dianggap bisa mendukung target pemerintah mengurangi sekitar 90 persen trafik situs porno selama Ramadan. Menurut Menteri Tifatul, ketika sistem penyaringan ope rator diuji, sekitar 80 persen situs terblokir, seperti Playboy, 17tahun, Youporn, atau situs mengandung penghinaan seperti KomikMuhammad di Blogspot. Ketika situs tersebut dibuka, muncul notifikasi access was denied. Tifatul mengklaim sudah ratusan situs ”haram” diberangus.
Menteri Tifatul menganggap tindak annya sudah sah karena dilindungi tiga undang-undang, yaitu Undang- Undang Telekomunikasi Nomor 36 Tahun 1999, Undang-Undang Pornografi Nomor 44 Tahun 2008, serta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008. Situs yang memuat pornografi seperti adegan sanggama, pose telanjang, dan lainnya menjadi target. ”Kami hanya memblokir konten vulgar,” kata Tifatul dalam konferensi pers peluncuran pemblokiran pada 10 Agustus lalu.
Lain tujuan, lain pula kenyataannya. Bukan hanya situs porno yang tak bisa di akses, situs lain pun kena getahnya. Menurut Kepala Bidang Sumber Daya Internet Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Valens Riyadi, salah sasaran itu bisa terjadi karena pemerintah mene rapkan database blokir untuk keperluan skala kecil, misalnya program desa pintar, tak pernah diuji untuk skala besar. ”Nah, ketika diimplementasikan ke skala besar, timbul masalah, situs yang tak punya kaitan dengan pornografi juga kena blokir,” katanya.
Yang juga bermasalah, perintah blo kir itu hanya disampaikan secara lisan kepada pengelola jasa Internet (internet services provider) yang diundang, dan melalui surat edaran. ”Tak ada keputusan menteri atau keputusan direktur jenderal,” ujar Valens. Ketiadaan alas hukum itu dikhawatirkan para penyedia jasa Internet. Karena dalam tiga undang-undang tersebut tidak ada wewenang memfilter konten Internet.
”Tidak ditentukan siapa yang memfilter, itulah yang bikin rancu. Jika tanpa aturan malah bisa terjadi pelanggaran pasal 28 f Undang-Undang Dasar 1945,” ujarnya. Pasal itu menyatakan setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, meng olah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Karena itulah, dari 200-an provider yang ada di Indonesia, yang bersedia me lakukan pemblokiran hanya bebera pa operator seluler. ”Tak sampai 10 ISP. Sebagian besar provider menganggap pemblokiran sebagai pilihan,” ujar Valens.
Lagi pula, menurut Valens, pemerintah tak perlu menetapkan kebijakan berdasarkan prasangka buruk, karena Asosiasi Penyedia Jasa Internet juga sudah lama mendukung kampanye Internet sehat. Bahkan, di Yogyakarta, asosiasi cabang mengembangkan sistem pemblokiran bersama, langsung ke warung Internet. ”Kami tetap konsisten, konten terfilter itu merupakan pilihan,” kata Valens.
Sebagai pemilik provider Citra Net, yang melayani sekolah, madrasah, dan perkantoran, Valens mengaku sudah lama melakukan filter menurut permintaan pelanggan. ”Bukan hanya pornografi, tapi juga Facebook dan Yahoo Messenger. Bahkan ada kantor mau cuma Internet untuk e-mail saja,” katanya.
Ahli teknologi informasi Onno W. Purbo sepakat dengan Valens bahwa apa yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika itu bukan cara yang efektif. Karena pemblokir an seperti itu membutuhkan mesin yang sangat besar agar semua proses pemblo kiran dapat dilakukan tanpa mengurangi kecepatan akses Internet di Indonesia. Sedangkan peranti yang digunakan pemerintah tak digdaya, yang mengakibatkan salah sasaran, ser ver hang, dan Internet lambat, bahkan tewas.
Ahmad Taufik, Tito Sianipar, Biro Yogya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo