Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Danang Priatmodjo
Bila ada kesempatan, mari berkeliling Kota Jakarta pada Minggu sore. Kita akan menemukan ”taman rekreasi kaget” tersebar di berbagai wilayah Ibu Kota. Tempat rekreasi keluarga ini bisa berupa bantaran sungai, lahan pembatas jalan, tanah pekuburan, atau lahan-lahan kosong yang belum dimanfaatkan oleh pemiliknya. Tebing miring di Cawang, tepatnya di tepi akses keluar dari jalan tol Jagorawi; bantaran sungai di kawasan Tanah Abang; taman kecil di antara rel KA dan pemakaman Tanah Kusir serta pemakaman Prumpung di kawasan Cipinang; semuanya menjadi pusat keramaian pada setiap Minggu sore. Di taman-taman instan itu anak-anak bermain bola atau layang-layang, sementara sang ayah dan ibu duduk-duduk mengawasi anak-anak mereka.
Di bantaran sungai sepanjang satu kilometer di kawasan Tanah Abang terdapat setidaknya enam lapangan sepak bola. Setiap Minggu sore, semua lapangan ini dipakai bersamaan. Pemain di tiap lapangan bervariasi dari anak-anak tak beralas kaki sampai klub-klub berkostum dan bersepatu yang didukung oleh suporter yang melambaikan bendera klub pujaan mereka. Karena lapangan terletak di tepi sungai, setiap beberapa kali tendangan, bola akan tercemplung ke air. Jangan khawatir, di pinggiran kali telah siap anak-anak yang hari itu bertugas berenang memungut bola.
Apa yang dapat dibaca dari gejala di atas? Jawabannya: Jakarta kekurangan ruang publik bagi masyarakat golongan bawah. Pusat-pusat belanja yang memakai nama mal, plaza, atau town square dibangun di mana-mana. Gedung-gedung megah tempat belanja tersebut memang dapat berfungsi sebagai ruang publik, tapi tidak mampu menjangkau golongan masyarakat terbawah. ”Anak-anak singkong” yang berbaju lusuh dan tanpa alas kaki tentu tidak bisa masuk shopping mall. Demikian juga orang tua mereka. Sementara itu, sebagai makhluk sosial, mereka juga memerlukan tempat rekreasi. Maka, mereka mencari tempat-tempat yang dapat dijadikan sarana rekreasi keluarga secara cuma-cuma.
Kultur membangun ruang publik agaknya perlu ditumbuhkan kembali. Taman atau plaza kota yang besar di Jakarta semuanya adalah peninggalan Belanda. Plaza Fatahillah adalah eks Stadhuisplein, civic center Batavia sejak awal abad-18. Lapangan Banteng dan Lapangan Monas adalah eks Waterlooplein dan Koningsplein, civic center Weltevreden sejak abad-19. Setelah kemerdekaan, Jakarta hanya membangun taman-taman kecil di Kebayoran Baru serta di berbagai kompleks perumahan yang beruntung dirancang dengan baik. Di antara taman lingkungan yang hanya sedikit itu, sebagian telah berubah fungsi menjadi pompa bensin, kantor polisi, kantor kelurahan, gudang Dinas Pertamanan, bahkan ada yang menjadi golf driving range dan townhouses (di Kebayoran Baru) serta shopping mall raksasa (di Pluit).
Ketika ada wacana Dinas Pertamanan DKI Jakarta akan meminta kembali taman-taman lingkungan yang selama berpuluh tahun telah ”dipinjamkan” kepada individu-individu untuk dijadikan pompa bensin, reaksi keras datang dari para pengelola pompa bensin ini. ”Kami tidak bisa diusir begitu saja!” kata mereka. Aneh tapi nyata: peminjam bisa lebih galak dari pemilik tanah.
Jakarta sebagai kota tepian air (waterfront city) juga tidak menyisakan pantai publik bagi warganya. Pesisir kota dari barat ke timur telah diblok oleh perumahan mewah Pantai Indah Kapuk dan Pantai Mutiara, Pelabuhan Sunda Kelapa, kawasan industri dan perumahan mewah Ancol Barat, Dunia Fantasi dan Taman Impian Jaya Ancol (TIJA), perumahan mewah Ancol Timur, serta Pelabuhan Tanjung Priok. TIJA memang menyediakan sebidang pesisir yang dinamakan ”pantai publik”, tapi untuk sampai ke pantai tersebut orang harus membayar karcis yang sangat mahal bagi ukuran rakyat kecil. Maka, sesungguhnya Pantai Ancol bukanlah pantai publik.
Privatisasi pantai tidak hanya terjadi di Jakarta. Sepanjang Anyer-Carita, hanya beberapa jengkal pesisir pantai yang masih bisa diakses oleh publik. Sisanya adalah pesisir ”milik” hotel-hotel yang menguasai lahan sepanjang pantai. Di Manado, pantai di sisi boulevard ditutup oleh jajaran warung seafood, sementara bagian pantai lainnya diblok oleh bangunan-bangunan pertokoan setinggi empat lantai. Keindahan pemandangan laut tak lagi bisa dinikmati warga Kota Manado. Di Pontianak, tempat bermain anak-anak nelayan di tepi Sungai Kapuas terancam tergusur oleh pembangunan kompleks perbelanjaan raksasa ”Pontianak Town Square”.
Lain lagi cerita di Kota Solo. Pada awal abad ke-20, Paku Buwono X dan Mangkunegoro VII membangun taman-taman kota yang asri: Sriwedari, Balekambang, Tirtonadi, dan Minapadi. Juga lapangan yang luas: Manahan. Setelah kemerdekaan, taman tersebut tidak diurus dengan baik dan terancam menjadi lahan privat. Sriwedari menjadi kumuh, tapi dikomersialkan habis-habisan; Balekambang dan Tirtonadi menjadi lahan kosong yang kumuh; sedangkan Minapadi telah berubah menjadi permukiman. Lapangan Manahan kini telah tertutup oleh gedung pertunjukan, gedung pertemuan, dan stadion sepak bola. Yang tersisa di Solo adalah Alun-alun Utara dan Alun-alun Selatan. Karena merupakan bagian kompleks keraton, kedua lapangan ini selamat dari ancaman privatisasi.
Alun-alun adalah ruang publik utama di suatu kota. Lapangan luas ini merupakan ujud pelayanan penguasa kota (raja atau bupati) kepada rakyatnya. Berbagai jenis hiburan rakyat, seperti pasar malam, perayaan Sekaten, sirkus, pentas ketoprak keliling, dan pentas musik dangdut, sering ditampilkan di alun-alun kota. Selain itu, alun-alun juga memiliki arti penting sebagai cadangan lahan untuk membangun sarana pelayanan darurat. Beberapa saat setelah terjadi gempa besar di Yogyakarta dan sekitarnya, sebuah rumah sakit tenda raksasa didirikan di Alun-alun Utara Yogyakarta. Kota-kota kabupaten di Jawa pada umumnya masih memelihara alun-alun dengan baik. Tapi di Bandung, alun-alun ”dipangkas” untuk perluasan masjid agung.
Pada masa pra-reformasi, cukup banyak ruang publik di kota kita ”dibeli” oleh investor swasta dan disulap menjadi sarana bisnis-komersial. Kini, setelah masyarakat lebih berdaya mengawasi sepak-terjang pengelola kota, diharapkan tidak ada lagi alun-alun, taman kota, atau lapangan yang dialihfungsikan menjadi shopping mall atau ruko. Betapapun, telanjur banyak kota kita mengalami kelangkaan ruang publik.
Di era otonomi daerah sekarang ini, seyogianya para bupati dan wali kota tidak hanya mendorong pembangunan mal perbelanjaan, tapi lebih memikirkan penyediaan ruang publik. Bangunlah taman-taman kota, promenade di tepi sungai atau tepi laut, serta lapangan yang dapat digunakan oleh segala lapisan masyarakat tanpa harus membayar karcis. Penghargaan Adipura hendaknya tidak hanya didasarkan atas penilaian terhadap keindahan dan kebersihan (yang sering direkayasa sesaat menjelang masa penilaian), namun juga mempertimbangkan apakah suatu kota telah menyediakan ruang publik yang layak bagi warganya.
Selain berfungsi sebagai sarana rekreasi gratis, ruang publik kota juga menjadi wadah berbaurnya warga kota tanpa dibebani oleh sekat-sekat strata sosial atau perbedaan primordial lainnya. Terkait dengan rencana untuk merevisi UU Penataan Ruang, hendaknya DPR dan pemerintah menghadirkan pasal-pasal yang mampu menjamin publicness pesisir tepian laut, danau, dan sungai, serta mengamanatkan penyediaan ruang publik sebagai bentuk pelayanan pengelola kota kepada warganya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo