Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Endo Suanda
Struktural adalah sebutan lain aparatus pemerintah. Sistemnya memang terstruktur, seperti kerucut, dari titik puncak kekuasaan (raja atau presiden) melebar ke bawah sampai ke tingkat RW dan RT. Mekanisme hubungannya instruksional, perintah (mungkin karena itu pula disebut pemerintah), dari atas ke bawah, searah, tidak dialektis. Tingkatannya tersusun dalam jenjang eselon. Bawahan disumpah untuk ”loyal pada atasan”.
Tidak demikian sistem berkesenian (baca juga: kebudayaan). Sumber kekuatan hidupnya bukan instruksi atasan. ”Atasan” seorang seniman banyak, tak terhitung, mulai dari Tuhan sampai nuraninya sendiri, mulai dari keterampilan teknis sampai daya spiritual yang tak diketahui. Kesenian lahir dari pengalaman empiris, buah interaksi suatu diri dengan pelbagai hal: baik jasadiah maupun sukmawiah, rencana maupun spontanitas.
Dengan demikian, mustahil suatu pemerintahan dijalankan dengan sistem kesenian, dan sebaliknya seniman berkarya menurut prinsip birokrasi. Pertanyaannya, bagaimana suatu negara bisa mengatur dan bertanggung jawab terhadap kehidupan kesenian; atau sebaliknya, kesenian bisa hidup dalam suatu sistem pemerintahan? Yang pertama, adalah pemberian ruang pemahaman seluas mungkin—bukan menuntut yang satu turut sistem yang lain. Atas dasar itu, ruang gerak diciptakan. Itu pula yang mungkin membuat negara maju memiliki lembaga kebudayaan—seperti Japan Foundation, Goethe Institute, British Art Council, Pusat Kebudayaan Prancis, dan lain-lain—yang didanai pemerintah, tapi berada di luar struktur.
Di Indonesia, konsep seperti itu pernah dimiliki dan dijalankan di tingkat ibu kota pada masa Gubernur Ali Sadikin. Ketika mendirikan Pusat Kesenian Jakarta (TIM) akhir 1960-an, Bang Ali mengatakan dengan tegas dan tanpa beban: ia tidak mengerti kesenian, tapi meyakini kesenian penting untuk bangsa. Karena itu, TIM yang didirikan dengan mahal diserahkan pengelolaannya kepada para seniman, dengan biaya pemerintah DKI. Pernyataan dan kebijakan Bang Ali menarik, karena 30 tahun kemudian, saya dengar hal yang sama dari Wali Kota Osaka di Jepang dalam suatu festival kesenian di sana. Artinya, pandangan Ali Sadikin mungkin aneh untuk Indonesia, tapi logis dari pemikiran kebudayaan.
Orde Baru adalah sistem pemerintahan yang memuja ketertiban dan keamanan. Memang, kita semua perlu itu. Tapi, dengan dalih itu, segala cara seolah dilegalkan, hanya menurut logika sepihak (pemerintah), sedangkan logika publik (termasuk seniman) diberangus. Kesenian pun harus tertib. Kebebasan dan spontanitas, kekuatan penting dalam kreativitas, menjadi makhluk haram yang mahal sekali untuk hidup. Semua sektor terkendali dari pusat, diterapkan secara sistemis melalui instrumen pemerintah, termasuk lembaga pendidikan seni yang juga miliknya.
Kegiatan kesenian di zaman Orde Baru sangat marak. Festival-festival tingkat nasional dan regional diadakan nyaris tiap tahun di pelbagai tempat. Semua diatur aparat, seperti oleh Direktorat Kebudayaan dan Direktur Kesenian (kala itu), Taman Budaya, Perguruan Tinggi Seni, dan lain-lain. Festival mereka artinya lomba: kesenian dari pemerintah-bawahan dipertandingkan untuk didapat unggulan yang dinobatkan sebagai model ”kemajuan pembangunan”. Tertib, tepat waktu, megah, dan variatif, secara umum menjadi ukuran penilaian dewan juri yang terdiri dari atau pilihan para birokrat.
Sistem Orde Baru berjalan begitu lama hingga merasuk menjadi mental dan spirit bangsa, bahkan hingga kini. Aparat dengan jabatan Kepala, Pembina, Penilik, umpamanya, dulu bertindak sebagai ”komandan” atau ”juragan” seniman. Di tingkat kota, para seniman yang memiliki keberanian, tidak menggubris sistem itu. Tapi seniman di desa tak berdaya. Mereka tunduk terhadap ”penertiban”, karena kekuasaan birokrasi ini diperkuat dengan ancaman politik menakutkan: tuduhan ”liar” dan bahkan ”komunis.”
Tumbuhnya forum kesenian internasional, mempengaruhi negeri. Pada 1990-an (bahkan sebelumnya), banyak seniman Indonesia yang diundang secara pribadi, tidak lewat jalur pemerintah. Para peneliti kesenian asing merasuk sampai di kampung. Mereka lebih paham realitas daripada birokrat. Pemerintah pun berangsur sadar, atau terpaksa mengakui ketidakpahamannya. Festival Kebudayaan Indonesia Amerika Serikat (KIAS) yang berjalan selama satu setengah tahun (1989-1991), tidak bisa (diterima) jika hanya atas pilihan birokrat.
Jika festival pemerintah seolah otomatis berupa lomba, festival kesenian oleh kalangan seniman mengacu pada kepentingan substansi. Indonesian Dance Festival, Jakarta International Film Festival, Yogyakarta Gamelan Festival, Biennale, dan lain-lain adalah contoh-contohnya. Kurator unsur paling penting untuk jelasnya suatu festival. Ia mengamati kesenian apa, di mana, oleh siapa, yang cocok dengan tema festival. Kurator Utan Kayu International Literary Festival, ucap Sitok Srengenge, harus menelaah karya-karya yang diterbitkan. Untuk sastra lisan, ia pelajari melalui mitra kerjanya di wilayah. Lebih dari itu, kurator adalah orang yang terlibat dengan keseniannya hampir sepanjang hayat, bukan sesaat sebelum festival—hal yang tak terjadi pada birokrat, yang umumnya ditunjuk bukan berdasar keahlian seni.
Karena keterlibatannya itu, kalangan seniman (paling tidak sebagian) paham terhadap infrastruktur yang dinamis, secara sinkronis maupun diakronis. Sedangkan birokrat, yang dikuasainya adalah jalur struktural, sehingga representasi peserta festival pun mengacu pada wilayah geopolitik, bukan pada isu.
Dalam satu-dua dekade terakhir terlihat perkembangan menjanjikan. Pemerintah kini jauh lebih terbuka daripada sebelumnya. Banyak aparat yang menyadari tidak bisa bekerja efektif tanpa bantuan masyarakat. Dewan Kesenian di tingkat provinsi dan kabupaten umumnya dibentuk di luar struktur. Block grant Departemen Pendidikan, termasuk untuk kesenian, sebagian didistribusikan lewat lembaga swasta. Forum komunitas mulai diakui dan ada yang didukung. Jiffest tahun lalu mendapat bantuan pemerintah (DKI, melalui DKJ dan AJ) sampai Rp 1,2 miliar, yang memenuhi sekitar 30 persen dari seluruh biaya—namun tahun ini konon kembali nol. Utan Kayu International Literary Festival ketiga, 2006, mendapat bantuan pemerintah Rp 100 juta, atau 10 persen dari seluruh biaya. Bantuan pemerintah memang tidak harus berbentuk tunai. Sapto Raharjo, direktur Yogyakarta Gamelan Festival (internasional), merasa terbantu dengan rekomendasi pemerintah, dengan mana ia lebih bisa mencari dana.
Andaikata keterbukaan pemerintah terus berkembang, kepercayaan publik terhadap pemerintah pun niscaya tumbuh. Becermin pada negara-negara maju, kegiatan kesenian seperti pameran, festival, penataran, tidak dilaksanakan oleh aparat. Pejabat memiliki kebijakan pengalokasian dana negara, pelaksananya adalah kelompok independen. Di Amerika, ada NEA (National Endowment for the Arts) yang mendistribusikan dana pemerintah terhadap kelompok kesenian. NEA bukan bagian dari struktur.
Yang mungkin masih berat untuk berubah, program kesenian dilihat sebagai proyek ber-uang, yang menjadi lahan penghasilan aparat. Kapan para pejabat rela menjadikan itu sebagai ”ladang” publik, dan bukan ladang dirinya? Jawabannya sebagian mungkin akan berputar pada masalah kelayakan gaji dan sistem yang korup. Namun, jika memang mau mengacu pada akuntabilitas publik dan kejujuran, pemegang dana negara semestinya tidak boleh ”belanja”. Departemen Budpar, misalnya, tak semestinya menjadi pelaksana proyek, atau apalagi memiliki grup kesenian sendiri. Kalangan seniman pun, jika mendapat dana negara, harus terdorong memperhatikan kepentingan publik, bukan pada diri atau kelompoknya sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo