APAKAH konglomerat Indonesia itu baik atau buruk, bukan hal yang sederhana. Setidaknya, beberapa kondisi perlu dipertimbangkan, seperti yang diuraikan oleh kumpulan karangan ini. Sebenarnya, terlepas baik atau buruk, yang paling mendesak adalah UU Antimonopoli, sebagai alat pembatas gerak merajalelanya para konglomerat. Bagi Kwik, perlu dipertanyakan perilaku dan pikiran orang-orangnya, sebab konglomerat sebagai profit centers jelas baik, walau polemik konglomerat memang lebih banyak bernada negatif ketimbang positif. Christianto Wibisono menekankan proses menjadi konglomerat, berkat kerja keras atau "tuyul modern". Ini didasarkan pada pernyataan Presiden Soeharto ketika menerima pengurus REI pada November 1989: menjadi kaya boleh saja asal lewat jalan yang halal, kerja keras. Dengan pemikiran tersebut, PDBI melakukan kajian terhadap 300 konglomerat yang mempunyai lima perusahaan atau beromset di atas Rp 20 milyar. Hasilnya, ada 263 konglomerat kerja keras yang menguasai omset Rp 52 trilyun. Sisanya adalah 14 crony conglomerates, dan 23 bureaucratic conglomerates, yang menguasai omset Rp 17 trilyun. Tapi itu tadi, "tuyul" atau kerja keras, tetap dibutuhkan UU Antimonopoli untuk menghindari keserakahan dalam masyarakat Pancasila. Kwik Kian Gie sebenarnya sudah punya draft UU Persaingan Ekonomi yang konon siap diajukan ke DPR. Sebelum ada UU, kuncinya hanya pada harapan atas kepekaan sosial para konglomerat, atau anjuran Presiden untuk menghibahkan sahamnya pada koperasi. Apalagi kondisi faktual saat ini mendorong improvisasi dan pengurasan sumber daya secara tidak bertanggung jawab oleh perusahaan raksasa. Ini menjadi perhatian B.N. Marbun. Menurut dia, semua perusahaan sebaiknya punya seorang manajer khusus untuk pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan dan membantu perusahaan kecil atau koperasi. Lewat kumpulan karangan para ahli ini, hanya sifat kasuistis yang bisa disodorkan terhadap keraguan baik-buruknya konglomerat. Agaknya, memang tidak ada pretensi penerbit untuk menuntaskannya. Mereka tampaknya cuma memanfaatkan ramainya polemik konglomerat di masyarakat untuk menerbitkan buku ini. Liston P. Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini