Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Suku sakai menyanyi karaoke

Berbagai program pembinaan untuk membuka sifat ketertutupan suku sakai dan akit di riau selalu gagal. kini penataran yang dilakukan secara in konvensional cukup berhasil. mereka tidak takut lagi.

1 September 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASIH ada suku yang hidup terasing di Provinsi Riau. Misalnya suku Sakai dan Akit. Suku-suku ini hidup dalam kultur sangat sederhana, dan terpisah dari masyarakat sekelilingnya. Sebagian malah menghindari kontak. Takut. Berbagai program pembinaan sudah dilakukan Departemen Sosial dan lembaga-lembaga sosial swasta. Namun, semua usaha itu tak berhasil membuka sifat tertutup kebanyakan suku itu. Lalu bulan Juli dan Agustus ini sebuah program pembinaan kembali dicoba. Penataran yang bertema "Bulan Orientasi Suku Asli Riau" ini dibiayai Departemen Sosial dan PMI (Palang Merah Indonesia). Pemrakarsanya dr. Tabrani Rab, Ketua PMI Riau. Ia merasa sudah waktunya dicari upaya efektif untuk membuka kehidupan suku terasing. Apalagi dewasa ini kehidupan mereka di pedalaman sudah sangat terdesak. Makanya, Tabrani bercita-cita menyorong mereka berjuang di kota. "Jadi, pengangguran di kota masih lebih besar kemungkinannya dari hidup di pedalaman," katanya. Suku Sakai adalah penduduk asli Riau yang terdesak ke pedalaman Pulau Bengkalis ketika suku-suku lain datang dan menetap di daerah ini. Dan karena kebiasaan nomad, kini mereka tersebar di berbagai kawasan permukimam di provinsi yang kaya ladang minyak ini. Mereka biasanya hidup berswadaya dengan jalan berkebun. Namun, sejak pengusaha pemegang HPH (hak pengusahaan hutan) menggarap permukiman mereka, lahannya menyusut menjadi rata-rata 0,25 hektare setiap permukiman. Lebih parah lagi kondisi suku Akit yang sebagian besar tinggal di pedalaman Pulau Rupat. Mereka bermukim di jantung Rupat, hutan yang jarang dilalui penduduk. Pakaian mereka masih sangat sederhana: celana pendek tanpa baju. Untuk mendapatkan keperluan sehari-hari mereka melakukan barter baik dengan penduduk Melayu di selatan maupun dengan nelayan keturunan Cina di utara Rupat. Untuk mengambil hasil barter biasanya mereka muncul menjelang gelap sore hari. Penampilan mereka yang senantiasa menyandang tumbak berburu menunjukkan kecurigaan yang masih besar. Namun, suku ini tidak agresif. Mereka bahkan lari bila didekati. Menjelang abad ke-21 ini keadaan suku-suku terasing itu praktis belum berubah. "Karena selama ini pendekatan yang dilakukan zending dan Departemen Sosial tidak memberikan hasil yang diharapkan," kata Tabrani. Pembinaan yang ditempuh sangat lambat. Suku terasing itu mula-mula diajari ketertiban dan agama. Kemudian, sedikit demi sedikit, diperkenalkan dengan pendidikan sederhana. "Mereka tidak pernah sesungguhnya mengenal kehidupan masa kini," kata dokter yang mengaku keturunan suku Sakai ini. "Karena merasa tetap lain, akhirnya mereka kembali ke kehidupan semula." Dan lebih parah, berbagai program tidak dilaksanakan lengkap. Permukiman dibuat tanpa mempertimbangkan persepsi suku terasing itu. Ada sekolah tapi tidak ada gurunya. "Kalau menteri sosial datang, anak-anak Sakai dipanggil," kata Tabrani. "Setelah menteri pulang, sekolah kosong. Anak-anak itu kembali ke lahan membantu orangtuanya." Setelah mempertimbangkan berbagai kegagalan itu, ia mencoba menempuh cara lain. Yaitu mengambil jalan pintas dengan membalikkan metode konvensional. Ia langsung memperkenalkan kebudayaan masa kini. "Mereka terkejut, dan malah shock," katanya. "Tapi sesudah itu mereka sadar, ternyata ada dunia lain di samping dunia mereka." Keadaan ini membuat mereka mempertanyakan apa saja yang sudah dilihatnya. Dalam penataran tersebut, sekitar 150 anggota suku terasing disertakan. Semua peserta dihimpun di klinik pribadi Tabrani. Dalam program ini, tak tanggung-tanggung, ia memperkenalkan komputer, televisi, dan bahkan karaoke -- alat musik Jepang mutakhir. Lalu, secara bergantian ia mengajak mereka keliling kota lewat udara dengan helikopter. Setelah mengalami guncangan itu, rasa takut mereka umumnya hilang. Dalam keadaan demikian, lebih mudah bagi mereka mempelajari kebiasaan yang bermanfaat. Misalnya seluk-beluk kesehatan, kemampuan menolong diri sendiri, kebiasaan menetap. "Mereka cepat belajar karena mempunyai motivasi," kata Tabrani. Tidak takut pada baju hijau, salah satu yang mereka pelajari. "Dulu penduduk kampung kami takut pada militer karena, kalau ada sengketa dengan pemilik hutan, yang maju orang berbaju hijau," kata Ridwan, kepala suku Sialang Rimbun. "Sekarang, kami tahu yang pakai baju hijau tidak selalu tentara." Siapa tahu mereka itu satpam atau hansip, kan. Ridwan menetap di Muara Basung, Kecamatan Mandau. Dia sudah mampu menguraikan mengapa air minum sebaiknya dimasak dahulu sebelum diminum. Warga kampungnya sempat mati sepertiga ketika air sungai berubah warna. "Sekarang kami tahu sebabnya," katanya. Dari 150 peserta, 32 mampu bertahan sampai akhir penataran. Dan 20 di antaranya kini disiapkan Tabrani untuk percobaan berikut: hidup di kota besar. Mereka mulai belajar berbagai keterampilan. Sisanya akan dikembalikan ke permukiman. Misalnya Desmi, 16 tahun, yang akan pulang ke permukiman di Desa Sontang, Kecamatan Kunto Darussalam, Kampar. "Saya mau tanya sama camat mengapa permukiman yang dibuat untuk kami dihuni pendatang," begitu celetuk Desmi. Kini perilaku serba takut sirna dari mereka. "Saya menelepon Wakil Gubernur minta sepatu untuk upacara 17 Agustus, tapi tak dikasih," kata Ridwan. "Seharian saya tunggu di gubernuran, tak dikasih." Toh, pada upacara peringatan hari kemerdekaan yang lalu, kepala suku itu tampil rapi. Dia bangga bersepatu kets pemberian Tabrani. Jim Supangkat dan Irwan E. Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus