Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Sutradara Fajar Bustomi menghadirkan biopik Buya Hamka yang dirilis pada 19 April 2023.
Menampilkan kisah sang ulama besar dalam tujuh jam dan terbagi menjadi tiga volume.
Mengisahkan Buya Hamka tak hanya sebagai ulama, tapi juga sastrawan, suami, dan ayah, serta pejuang kemerdekaan.
Koleksi di rak buku Iwan Fals bakal bertambah. "Ingin baca Di Bawah Lindungan Ka'bah dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck," kata dia kepada Tempo, Rabu, 19 April 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyanyi berusia 61 tahun itu terdorong membaca karya Buya Hamka setelah menonton Buya Hamka. Film biopik yang dirilis pada 19 April lalu—dua-tiga hari sebelum Idul Fitri—itu menceritakan perjalanan hidup sang ulama, dari lahir hingga akhir hayatnya. Oleh sutradara Fajar Bustomi, kisah 73 tahun itu dirangkum dalam tujuh jam dan dibagi dalam tiga volume.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Volume pertama berlatar 1930-an sampai 1945 saat Buya Hamka menikahi Siti Raham hingga Indonesia merdeka. Pada periode itu, tergambar perjuangan ulama kelahiran Agam, Sumatera Barat, tersebut melawan kembalinya pendudukan Belanda serta sepak terjangnya sebagai wartawan dan penulis. "Saya jadi tahu ternyata Buya Hamka jurnalis juga. Orang banyak kan tahunya kiai doang," ujar Iwan Fals. Pelantun Bento ini juga menunggu-nunggu adegan perang sang ulama.
Vino G. Bastian (kanan) sebagai Buya Hamka dan Laudya Cintya Bella (kiri) sebagai Siti Raham dalam film Buya Hamka (2023). Dok. Falcon Pictures
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Hamka merupakan salah satu ulama terbesar Indonesia. Dia lahir pada 17 Februari 1908 di Sungai Batang, Agam, Sumatera Barat—buya merupakan gelar yang disematkan bagi ahli agama di kalangan masyarakat Minangkabau.
Kembali dari menuntut ilmu di Mekah pada usia 19 tahun, Malik muda merintis karier sebagai wartawan di Medan. Dia juga aktif dalam kepengurusan Muhammadiyah, lalu terjun ke politik bersama Masyumi. Pada 1964, Hamka dituding terlibat pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera dan dipenjara. Dia memanfaatkan dua tahun masa tahanannya itu untuk menulis karya terbesarnya, Tafsir Al Azhar. Ketika Majelis Ulama Indonesia terbentuk pada 1975, Hamka terpilih sebagai ketua pertama.
Film biografi Buya Hamka merupakan gagasan Din Syamsuddin, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, saat menjabat Ketua MUI pada 2014. Diproduksi Starvision dan Falcon Pictures, film ini disebut-sebut menghabiskan Rp 70 miliar dan menyamai Foxtrot Six (2019) sebagai film termahal Indonesia—meski angka tersebut untuk keseluruhan produksi tiga episode.
Menurut peneliti film Hikmat Darmawan, visualisasi sejarah ikut mendorong tingginya biaya produksi. “Membuat film berlatar sejarah, setting waktu, hingga kostum dan makeup butuh dana besar,” kata Hikmat.
Kepada Tempo, sutradara Fajar Bustomi mengatakan, demi kebutuhan makeup saja, mereka menghabiskan Rp 3 miliar. Untuk menampilkan wajah Buya Hamka pada usia 50, 60, dan 70 tahun, kru memakaikan prostetik sekali pakai pada Vino Bastian, sang pemeran utama. "Di film ini, ada tiga karakter yang kami pakaikan makeup prostetik, yaitu Buya Hamka, istrinya, dan ayah Buya Hamka," ujar sutradara Dilan 1990 (2018), Dilan 1991 (2019), dan Milea: Suara dari Dilan (2020) ini.
Hasilnya memuaskan sejak awal. Film Buya Hamka dibuka dengan adegan Hamka di penjara Sukabumi. Vino Bastian, yang sehari-hari tampak jauh lebih muda dari usianya, 41 tahun, terlihat seperti lelaki renta yang ringkih. Lengkap dengan rambut tipis beruban dan kerutan di wajah.
Film ini beralur mundur. Adegan selanjutnya berlatar 1933, kala Hamka ditugasi memajukan Muhammadiyah di Makassar. Cerita berkembang tentang kiprah sang ulama menyebarkan Islam, mengurus organisasi Islam, menjadi pemimpin redaksi Pedoman Masyarakat, hingga kisah perlawanannya menghadapi kembalinya Belanda.
Meski hampir semua dialog berlogat Minang, film ini tetap mudah dicerna dan dapat ditonton semua kelompok umur. Pas sebagai sinema Lebaran.
Buya Hamka, diperankan Vino G. Bastian (tengah), menggalang perlawanan masyarakat untuk menolak kembalinya Belanda ke Indonesia. Dok. Falcon Pictures
Seperti Iwan Fals, banyak penonton baru mengenal kiprah Buya Hamka di luar sastra—Di Bawah Lindungan Ka'bah dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck lebih dulu populer setelah difilmkan pada 2011 dan 2013. Ario Tanigoro Aji, 19 tahun, misalnya. Warga Penjaringan, Jakarta Utara, ini tertarik menonton film tersebut setelah melihat trailernya di TikTok. "Ternyata benar-benar bagus. Walaupun film tentang ulama, menurut saya, ini cocok ditonton semua agama," ujarnya.
Ario mengagumi cara Buya Hamka menyebarkan ajaran Islam sesuai dengan fitrahnya, rahmat bagi seisi alam. "Dia enggak mengkafir-kafirkan orang dan terbuka dengan perubahan," kata dia.
Hikmat Darmawan menilai Buya Hamka berpotensi menjadi blockbuster. Menurut dia, pascareformasi, film Indonesia bisa laris karena dua hal. Pertama, diadaptasi dari buku. Kedua, faktor ketokohan, baik tokoh yang diceritakan, tokoh pemeran utama, sutradara, maupun penulis cerita. Film Buya Hamka dianggap memenuhi unsur-unsur tersebut. “Namun, untuk melihat laris-tidaknya, bioskop yang menentukan,” ujar Hikmat.
ILONA ESTERINA PIRI | INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo