Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Rocky menemukan cinta

Kedutaan besar as menyelenggarakan pekan film amerika di tim, jakarta. untuk pertama kali mengetengahkan film-film komersial yang baru. berbeda dengan acara-acara sebelumnya. (fl)

28 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FILM terbaik tahun 1976, yang juga melimpahkan oscar bagi sutradaranya, muncul dalam Pekan Film Amerika yang diselenggarakan 11 s/d 16 Juli di TIM. Judulnya: Rock. Disutradarai oleh John G. Avildsen atas skenario yang ditulis dan kemudian dimainkan sendiri oleh Sylvester Stallone. Stallone, dalam usia 30 tahun, menulis skenario Rocky dalam tiga hari. Dan lohn G. Avildsen hanya memerlukan 28 hari untuk menyelesaikan pengambilan tim ukuran standar itu. Tetapi ia berhasil memotret dengan pas serta unik kehidupan seorang tukang pukul Mafia. Tukang pukul yang juga petinju ketengan yang mendapat kesempatan tak terduga untuk berhadapan dengan juara tinju kelas berat. Meskipun ia dihajar habis selama 15 ronde, pada akhir film Rocky menemukan harga diri dan cinta. Hemingway Film ini diambil di perkampungan miskin di Philadelphia. Stallone, yang memainkan sendiri tokoh Rocky, tampak seperti gabungan Robert Mitchum, Brando dan Al Pacino. Walaupun sebenarnya ia bukan seorang petinju, ia telah bermain dengan baik dan memikat. Banyak adegan yang mengesankan muncul dalam film yang dibuat dengan biaya murah ini. Diceritakan bagaimana Stallone berlatih keras, dan kita berhadapan dengan seorang lelaki kelas kecoak yang unik. Ia bicara dengan bahasa menggumam. Berkencan dengan setengah memaksa dan menjebak dengan saudara perempuan sahabatnya yang pada mulanya sangat tertutup. Mengucapkan cinta sebagaimana layaknya manusia kelas bawah, lugu dan keras. Kemudian perlahan-lahan menumbuhkan kepercayaan dirinya. Adegan Rocky berkencan pertama kali dengan pacarnya di dalam arena sepatu roda yang sudah tutup, terasa amat naif. Dengan menyogok penjaga, Stallone berlari-lari anjing mengikuti gadis itu (Talia Shire, adik Francis Ford Copolla) berputar-putar. Lalu pada akhirnya berhasil membawanya ke kamarnya dan sejak itu menjadikannya pacar. Seorang tua kemudian pada adegan-adegan selanjutnya mengetuk pintu kamar Rocky. Ia adalah pelatih sang jagoan dan ingin menjadi manajernya. Stallone mengusir dan memaki-makinya. Sampai ke jalan raya orang tua itu masih mendengar umpatan Rocky. Tapi beberapa lama kemudian sang jagoan berlari ke jalan. Memeluk pelatihnya, dan bersalaman dengan akrab. Adegan ini merupakan bagian lain yang menarik dari Rocky yang banyak mengemukakan segi-segi kemanusiaan dengan wajar. Puncak film ini adalah pertarungan Rocky. Pada ronde pertama ia berhasil menggasak lawannya mencium kanvas. Tetapi selanjutnya ia menjadi bulan-bulanan. Pada ronde ke-15 mukanya sudah bengkak dan berdarah. Dengan sangat mengharukan kita menyaksikan kenekadan yang berakhir konyol. Rocky kalah, tapi ia puas dan kita ikut menghargai usahanya yang garang dan sia-sia. Film yang juga menggambarkan soal kejantanan, tetapi dengan gaya lain, bernama Islands In The Stream (1977). Ini berdasar novel Ernest Hemingway yang terakhir yang belum rampung. Disutradarai oleh Franklin J. Schaffner dan dimainkan dengan halus oleh George C. Scott. Di sini seorang seniman (George C. Scott) hidup memencil di Pulau Karibia. la mengalami kegoncangan karena perceraian dengan isterinya. Sebagaimana cerita-cerita Hemingway yang lain, tokoh dalam cerita ini manusiawi. Mengingatkan kita pada tokoh Si Tua dalam The Old Man And The Sea yang sunyi, sendirian, dan berjuang menegakkan dirinya dalam cekikan nasib. Dikisahkan bagaimana sang tokoh melewatkan musim panas, ketika ketiga puteranya datang berkunjung. Ia membawa putera-puteranya itu mengenal laut. Memancing ikan, memegang tangkai pancing selama berjam-jam melawan ikan -- sampai tangan dan kaki anaknya berdarah. Mengajak anak itu menjadi dewasa dengan cara yang biasa dilakukan oleh manusia yang hidup di laut. George C. Scott, yang pernah begitu mengesankan dalam film Paton, menunjukkan kembali kalibernya di sini. Dengan cambang yang mirip wajah Hemingway sendiri, ia bermain tenang dan dalam. Dan berhasil menampilkan pribadi Hemingway. Tak heran kalau Pauline Kael dalam The New Yorker memujinya: " . . . satu esei yang agung tentang Hemingway si pemikir." Tokoh lelaki yang sunyi itu akhirnya menemui ajalnya, ketika ia berusaha untuk menyelamatkan beberapa orang pelarian. Dengan bersimbah darah, seorang negro yang selalu menemaninya memandang dengan tak percaya. Sementara sang tokoh teringat kembali isterinya, anak-anaknya -- yang ditampilkan dengan agak kuno tetapi masih mampu mengharukan. Kita teringat awal film pada sebuah karang yang agak menjorok. Tegak terpisah dihantam oleh ombak. Film ini seperti simbul yang agak lembek kalau dibanding dengan Rocky. Tokoh-tokoh Hemingway, kalau dilihat dari kacamata kini, memang terasa terlalu "sopan". Film yang lain tentang seorang guru muda di sebuah pulau kecil di Negara Bagian South Carolina. Judulnya: Conrack (1973) -- didasarkan pada kisah nyata yang ditulis Pat Conroy dalam buku The Water Is Wide. Mengisahkan bagaimana sang guru (John Voight) berusaha membawa cara pengajaran modern kepada sekelompok murid berkulit hitam yang tampaknya begitu terkebelakang dalam pendidikan. Meskipun telah lima tahun sekolah, tak seorang pun murid hitam itu mampu berhitung dan bicara dengan jelas. Film ini mengingatkan kita pada film Jepang bernama Buku Harian Sekolah Cabang dari Isao Kumogi, 1950 (TEMPO 31 Maret). John Voight berusaha menerapkan cara-cara pendidikan yang berbeda dari cara tradisional. Ia mendapat tantangan keras dari pemilik sekolah (Hume Cronyn). Pada akhirnya ia meninggalkan pulau. Dalam sebuah adegan puncak, anak-anak berkumpul di tepi Sungai, sementara motorbut yang membawa gurunya mulai menjauh. Salah seorang anak membawa piringan hitam dan memutar Simfoni ke-V Beethoven yang tersohor itu. John Voight bermain bebas sekali. Kadang kita terkenang pada Jack Lemmon melihat kegesitannya. Sutradara Martin Ritt telah memberikan keleluasaan sehingga bintang ini sempat merekam kejadian-kejadian akrab di sekolah. Kita melihat satu bagian dari Amerika yang kaya itu, dihuni oleh warga yang sama terkebelakangnya dengan penduduk dunia ketiga. Banyak kejadian kecil yang lucu. John Voight dan Martin Ritt telah menunjukkan bahwa kasih sayang merupakan modal yang baik dalam menyelesaikan persoalan. Tetapi mungkin karena terikat sebagai sebuah kisah nyata, film ini tidak seasyik seperti Buku Harian Sekolah Cabang. Yang paling grrr dalam rentetan film Paman Sam ini berjudul The Dutchess and The Dirtwater Fox (1976). Disutradarai dengan lihai oleh Melvin Frank serta dimainkan dengan kocak oleh Goldie Hawn dan George Segal. Film komedi ini merupakan hiburan yang segar sekali. Banyak kejutan kecil serta adegan yang menunjukkan keterampilan Melvin Frank dalam membuai-buai penonton dengan bual yang cerdik. George Segal memainkan dengan tenang sekali seorang penipu yang sialan. Ia terpental ke sana ke mari akibat sebuah tas rampokan yang berisi puluhan ribu dolar. Ia bertemu dengan Goldie Hawn yang bermain sebagai penari bar yang suka menipu. Keduanya kemudian terlibat dalam petualangan bersama, berhadapan dengan sejumlah perampok yang memburu-buru tas itu. Segal kadang berusaha menunjukkan kepahlawanannya. Misalnya dengan cara menyambar Hawn yang sedang diburu penjahat, dari atas kuda. Tapi sambaran itu luput, lalu mereka berdua terjungkil balik dengan konyolnya. Dalam kesempatan lain, sang kuda yang selalu muncul, di mana dan kapan saja kalau mendengar tuannya bersuit, membuat kejutan. Sementara Segal dan Hawn terikat fatal di tengah gurun, kuda yang semula diduga penonton akan muncul sebagai pembebas, hanya berlari dan melompati tuannya. Pekan film ini juga menyuguhkan sebuah film yang dibuat tahun 1969 bernama Alice's Restaurant. Didasarkan atas lagu Arlo Guthrie yang kemudian bermain sebagai pelaku utama. Skenario dan penyutradaraan di tangan Arthur Penn. Masalah yang digarap adalah gerakan kaum muda Amerika di sekitar tahun 60-an. Pada masa itu "generasi bunga" sedang berkembang sebagai usaha menjawab tantangan sosial yang dikaitkan berbagai problim, antara lain perang Vietnam dan jurang antar generasi. Film Standar Arlo Guthrie dan kawan-kawannya berusaha menjawab tantangan itu dengan mendirikan sebuah komune. Tata cara kehidupan mereka lain. Mereka berbaur menyalakan prinsip damai dan cinta kasih. Mereka ingin menyelesaikan problim dunia yang tak terpecahkan oleh generasi sebelumnya. Tapi sia-sia karena ternyata di dalam komune mereka juga tetap ada rasa iri hati dan sifat-sifat pribadi lainnya. Arthur Penn dengan film ini seperti membuat sebuah dokumen kecil sejarah Amerika yang panjang itu. Dokumen yang setidak-tidaknya bagi kita agak sulit dirasakan, karena masanya telah berlalu -- orang sudah mulai melupakan "generasi bunga" itu. Hal-hal yang mengharukan, penting, dan merupakan pergerakan yang serius, tiba-tiba tidak kita kenali lagi. Lalu terasa aneh dan lucu. Rangkaian film Amerika ini memperlihatkan usaha untuk kembali ke ukuran film standar. Dengan biaya yang murah kehidupan manusia kecil di tengah masyarakat yang kejam jadi amat menarik. Manusia-manusia kecil itu jadi penting: Mereka berusaha menegakkan dirinya. Berbeda dengan hero-hero Hollywood yang super dan spektakuler. Barangkali itulah pula salah satu sebab Kedutaan Besar AS telah bersusah-payah: inilah festival film Amerika yang pertama kali mengetengahkan film-film komersial yang baru. Berbeda dengan film-film lama yang sudah tinggal bernilai dokumentasi seperti pada acara-acara yang sudah. Kedutaan bahkan mengeluarkan uang yang besar untuk menyewanya -- dan membuat penonton beruntung mendapat gambaran yang lebih lengkap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus