FILM terbaik tahun 1976, yang juga melimpahkan oscar bagi
sutradaranya, muncul dalam Pekan Film Amerika yang
diselenggarakan 11 s/d 16 Juli di TIM. Judulnya: Rock.
Disutradarai oleh John G. Avildsen atas skenario yang ditulis
dan kemudian dimainkan sendiri oleh Sylvester Stallone.
Stallone, dalam usia 30 tahun, menulis skenario Rocky dalam tiga
hari. Dan lohn G. Avildsen hanya memerlukan 28 hari untuk
menyelesaikan pengambilan tim ukuran standar itu. Tetapi ia
berhasil memotret dengan pas serta unik kehidupan seorang
tukang pukul Mafia. Tukang pukul yang juga petinju ketengan yang
mendapat kesempatan tak terduga untuk berhadapan dengan juara
tinju kelas berat. Meskipun ia dihajar habis selama 15 ronde,
pada akhir film Rocky menemukan harga diri dan cinta.
Hemingway
Film ini diambil di perkampungan miskin di Philadelphia.
Stallone, yang memainkan sendiri tokoh Rocky, tampak seperti
gabungan Robert Mitchum, Brando dan Al Pacino. Walaupun
sebenarnya ia bukan seorang petinju, ia telah bermain dengan
baik dan memikat. Banyak adegan yang mengesankan muncul dalam
film yang dibuat dengan biaya murah ini.
Diceritakan bagaimana Stallone berlatih keras, dan kita
berhadapan dengan seorang lelaki kelas kecoak yang unik. Ia
bicara dengan bahasa menggumam. Berkencan dengan setengah
memaksa dan menjebak dengan saudara perempuan sahabatnya yang
pada mulanya sangat tertutup. Mengucapkan cinta sebagaimana
layaknya manusia kelas bawah, lugu dan keras. Kemudian
perlahan-lahan menumbuhkan kepercayaan dirinya.
Adegan Rocky berkencan pertama kali dengan pacarnya di dalam
arena sepatu roda yang sudah tutup, terasa amat naif. Dengan
menyogok penjaga, Stallone berlari-lari anjing mengikuti gadis
itu (Talia Shire, adik Francis Ford Copolla) berputar-putar.
Lalu pada akhirnya berhasil membawanya ke kamarnya dan sejak itu
menjadikannya pacar.
Seorang tua kemudian pada adegan-adegan selanjutnya mengetuk
pintu kamar Rocky. Ia adalah pelatih sang jagoan dan ingin
menjadi manajernya. Stallone mengusir dan memaki-makinya.
Sampai ke jalan raya orang tua itu masih mendengar umpatan
Rocky. Tapi beberapa lama kemudian sang jagoan berlari ke jalan.
Memeluk pelatihnya, dan bersalaman dengan akrab. Adegan ini
merupakan bagian lain yang menarik dari Rocky yang banyak
mengemukakan segi-segi kemanusiaan dengan wajar.
Puncak film ini adalah pertarungan Rocky. Pada ronde pertama ia
berhasil menggasak lawannya mencium kanvas. Tetapi selanjutnya
ia menjadi bulan-bulanan. Pada ronde ke-15 mukanya sudah bengkak
dan berdarah. Dengan sangat mengharukan kita menyaksikan
kenekadan yang berakhir konyol. Rocky kalah, tapi ia puas dan
kita ikut menghargai usahanya yang garang dan sia-sia.
Film yang juga menggambarkan soal kejantanan, tetapi dengan gaya
lain, bernama Islands In The Stream (1977). Ini berdasar novel
Ernest Hemingway yang terakhir yang belum rampung. Disutradarai
oleh Franklin J. Schaffner dan dimainkan dengan halus oleh
George C. Scott. Di sini seorang seniman (George C. Scott) hidup
memencil di Pulau Karibia. la mengalami kegoncangan karena
perceraian dengan isterinya. Sebagaimana cerita-cerita Hemingway
yang lain, tokoh dalam cerita ini manusiawi. Mengingatkan kita
pada tokoh Si Tua dalam The Old Man And The Sea yang sunyi,
sendirian, dan berjuang menegakkan dirinya dalam cekikan nasib.
Dikisahkan bagaimana sang tokoh melewatkan musim panas, ketika
ketiga puteranya datang berkunjung. Ia membawa putera-puteranya
itu mengenal laut. Memancing ikan, memegang tangkai pancing
selama berjam-jam melawan ikan -- sampai tangan dan kaki anaknya
berdarah. Mengajak anak itu menjadi dewasa dengan cara yang
biasa dilakukan oleh manusia yang hidup di laut.
George C. Scott, yang pernah begitu mengesankan dalam film
Paton, menunjukkan kembali kalibernya di sini. Dengan cambang
yang mirip wajah Hemingway sendiri, ia bermain tenang dan dalam.
Dan berhasil menampilkan pribadi Hemingway. Tak heran kalau
Pauline Kael dalam The New Yorker memujinya: " . . . satu esei
yang agung tentang Hemingway si pemikir."
Tokoh lelaki yang sunyi itu akhirnya menemui ajalnya, ketika ia
berusaha untuk menyelamatkan beberapa orang pelarian. Dengan
bersimbah darah, seorang negro yang selalu menemaninya memandang
dengan tak percaya. Sementara sang tokoh teringat kembali
isterinya, anak-anaknya -- yang ditampilkan dengan agak kuno
tetapi masih mampu mengharukan. Kita teringat awal film pada
sebuah karang yang agak menjorok. Tegak terpisah dihantam oleh
ombak. Film ini seperti simbul yang agak lembek kalau dibanding
dengan Rocky. Tokoh-tokoh Hemingway, kalau dilihat dari kacamata
kini, memang terasa terlalu "sopan".
Film yang lain tentang seorang guru muda di sebuah pulau kecil
di Negara Bagian South Carolina. Judulnya: Conrack (1973) --
didasarkan pada kisah nyata yang ditulis Pat Conroy dalam buku
The Water Is Wide. Mengisahkan bagaimana sang guru (John Voight)
berusaha membawa cara pengajaran modern kepada sekelompok murid
berkulit hitam yang tampaknya begitu terkebelakang dalam
pendidikan. Meskipun telah lima tahun sekolah, tak seorang pun
murid hitam itu mampu berhitung dan bicara dengan jelas.
Film ini mengingatkan kita pada film Jepang bernama Buku Harian
Sekolah Cabang dari Isao Kumogi, 1950 (TEMPO 31 Maret). John
Voight berusaha menerapkan cara-cara pendidikan yang berbeda
dari cara tradisional. Ia mendapat tantangan keras dari pemilik
sekolah (Hume Cronyn). Pada akhirnya ia meninggalkan pulau.
Dalam sebuah adegan puncak, anak-anak berkumpul di tepi Sungai,
sementara motorbut yang membawa gurunya mulai menjauh. Salah
seorang anak membawa piringan hitam dan memutar Simfoni ke-V
Beethoven yang tersohor itu.
John Voight bermain bebas sekali. Kadang kita terkenang pada
Jack Lemmon melihat kegesitannya. Sutradara Martin Ritt telah
memberikan keleluasaan sehingga bintang ini sempat merekam
kejadian-kejadian akrab di sekolah. Kita melihat satu bagian
dari Amerika yang kaya itu, dihuni oleh warga yang sama
terkebelakangnya dengan penduduk dunia ketiga.
Banyak kejadian kecil yang lucu. John Voight dan Martin Ritt
telah menunjukkan bahwa kasih sayang merupakan modal yang baik
dalam menyelesaikan persoalan. Tetapi mungkin karena terikat
sebagai sebuah kisah nyata, film ini tidak seasyik seperti Buku
Harian Sekolah Cabang.
Yang paling grrr dalam rentetan film Paman Sam ini berjudul The
Dutchess and The Dirtwater Fox (1976). Disutradarai dengan
lihai oleh Melvin Frank serta dimainkan dengan kocak oleh Goldie
Hawn dan George Segal. Film komedi ini merupakan hiburan yang
segar sekali. Banyak kejutan kecil serta adegan yang menunjukkan
keterampilan Melvin Frank dalam membuai-buai penonton dengan
bual yang cerdik.
George Segal memainkan dengan tenang sekali seorang penipu yang
sialan. Ia terpental ke sana ke mari akibat sebuah tas rampokan
yang berisi puluhan ribu dolar. Ia bertemu dengan Goldie Hawn
yang bermain sebagai penari bar yang suka menipu. Keduanya
kemudian terlibat dalam petualangan bersama, berhadapan dengan
sejumlah perampok yang memburu-buru tas itu.
Segal kadang berusaha menunjukkan kepahlawanannya. Misalnya
dengan cara menyambar Hawn yang sedang diburu penjahat, dari
atas kuda. Tapi sambaran itu luput, lalu mereka berdua
terjungkil balik dengan konyolnya. Dalam kesempatan lain, sang
kuda yang selalu muncul, di mana dan kapan saja kalau mendengar
tuannya bersuit, membuat kejutan. Sementara Segal dan Hawn
terikat fatal di tengah gurun, kuda yang semula diduga penonton
akan muncul sebagai pembebas, hanya berlari dan melompati
tuannya.
Pekan film ini juga menyuguhkan sebuah film yang dibuat tahun
1969 bernama Alice's Restaurant. Didasarkan atas lagu Arlo
Guthrie yang kemudian bermain sebagai pelaku utama. Skenario
dan penyutradaraan di tangan Arthur Penn. Masalah yang digarap
adalah gerakan kaum muda Amerika di sekitar tahun 60-an. Pada
masa itu "generasi bunga" sedang berkembang sebagai usaha
menjawab tantangan sosial yang dikaitkan berbagai problim,
antara lain perang Vietnam dan jurang antar generasi.
Film Standar
Arlo Guthrie dan kawan-kawannya berusaha menjawab tantangan itu
dengan mendirikan sebuah komune. Tata cara kehidupan mereka
lain. Mereka berbaur menyalakan prinsip damai dan cinta kasih.
Mereka ingin menyelesaikan problim dunia yang tak terpecahkan
oleh generasi sebelumnya. Tapi sia-sia karena ternyata di dalam
komune mereka juga tetap ada rasa iri hati dan sifat-sifat
pribadi lainnya.
Arthur Penn dengan film ini seperti membuat sebuah dokumen kecil
sejarah Amerika yang panjang itu. Dokumen yang setidak-tidaknya
bagi kita agak sulit dirasakan, karena masanya telah berlalu --
orang sudah mulai melupakan "generasi bunga" itu. Hal-hal yang
mengharukan, penting, dan merupakan pergerakan yang serius,
tiba-tiba tidak kita kenali lagi. Lalu terasa aneh dan lucu.
Rangkaian film Amerika ini memperlihatkan usaha untuk kembali
ke ukuran film standar. Dengan biaya yang murah kehidupan
manusia kecil di tengah masyarakat yang kejam jadi amat menarik.
Manusia-manusia kecil itu jadi penting: Mereka berusaha
menegakkan dirinya. Berbeda dengan hero-hero Hollywood yang
super dan spektakuler.
Barangkali itulah pula salah satu sebab Kedutaan Besar AS telah
bersusah-payah: inilah festival film Amerika yang pertama kali
mengetengahkan film-film komersial yang baru. Berbeda dengan
film-film lama yang sudah tinggal bernilai dokumentasi seperti
pada acara-acara yang sudah. Kedutaan bahkan mengeluarkan uang
yang besar untuk menyewanya -- dan membuat penonton beruntung
mendapat gambaran yang lebih lengkap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini