Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jeni Fitriasha
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pak Am menangis saat aku tanya bagaimana kronologi ia bisa kabur dari penjara bersama puluhan tahanan lain. Air mata lelaki tua itu berderai sebelum pertanyaanku ia jawab. Kusodorkan segelas teh manis hangat agar ia bisa tenang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kalau Pak Am tidak bisa bercerita sekarang, sebaiknya kita istirahat saja. Pasti Pak Am sangat lelah berlari sejauh itu."
Aku berdiri, hendak bersiap-siap mengunci pintu rumah. Tapi tiba-tiba suara parau Pak Am yang khas itu akhirnya kudengar setelah beberapa tahun menghilang karena Pak Am tertangkap polisi di rumahnya sehabis membunuh si Mutih, orang gila yang membuat anak perempuannya cacat.
"Kenapa rumah di sebelah kosong, Nak?"
Mendengar pertanyaan itu, aku kembali ke tempat duduk dan terdiam. Barangkali Pak Am tidak diberi tahu oleh keluarganya kalau mereka sudah meninggalkan rumah lima tahun lalu. Setelah istrinya meninggal sesudah Pak Am dipenjara, ketiga anaknya sering bertengkar. Anak pertama yang perempuan, yang membuat Pak Am membunuh si Mutih, ia yang pertama kali keluar dari rumah karena menikah dengan orang Jawa. Anak itu matanya jadi buta dan wajahnya juga jadi rusak akibat disiram minyak panas oleh si Mutih. Tapi ternyata jodohnya ada juga. Anak kedua yang laki-laki pergi ke Kalimantan untuk bekerja sebagai buruh tambang, dan anaknya yang terakhir, juga laki-laki, sempat bertahan hidup sendirian di rumahnya menunggu ia tamat SMA tapi tidak lulus. Mungkin karena kebingungan dan putus asa, ia menjadi preman di pasar. Rumah yang ia huni sendirian habis dipunah oleh kawan-kawannya sesama preman untuk bermain judi dan mabuk-mabukan. Akhirnya warga sekitar memanggil aparat untuk mengusir mereka. Kabar terakhir yang kudengar, anak itu kini juga masuk penjara di Padang karena kedapatan mengedarkan narkoba.
Pak Am berdiri sambil menyeka air mata. Ia berjalan menuju jendela dan sedikit menyibakkan tirai jendela tersebut untuk memperhatikan rumahnya yang berada di sebelah rumahku.
"Apa yang terjadi, Nak Herman?"
Aku tertunduk, tidak tahu harus bercerita apa. Rasanya lidahku kelu jika harus bercerita tentang rumahnya. Apalagi sekarang rumah itu sangat berantakan. Benalu tumbuh di mana-mana. Lumut dan kotoran sudah menggerogoti dinding-dindingnya. Atap rumah itu nyaris roboh karena dilumat pelan-pelan oleh anai-anai. Jendela-jendela pecah. Pintunya rapuh. Tidak ada apa-apa di sana selain hantu dan sisa kesedihan. Terasnya yang dulu menjadi tempat anak-anak tetangga bermain congklak dan dakocan kini berjejal rumput-rumput liar dan tanaman putri malu. Bahkan dari rumah itu beredar cerita-cerita horor, membuat warga yang berjalan pada tengah malam waswas apabila melewati rumah Pak Am. Mereka bilang ada hantu si Mutih bergentayangan di dalam rumah tersebut.
Pak Am harus dipenjara selama 15 tahun karena membunuh si Mutih. Pemuda gila itu suka mondar-mandir dan membuat kericuhan. Suatu kali si Mutih masuk ke rumah Pak Am ketika mendiang istrinya sedang memasak. Si Mutih masuk dari pintu dapur dan orang gila itu membuat istri Pak Am ketakutan. Anak perempuannya pun berteriak. Mungkin karena panik si Mutih malah mengambil panci berisi minyak panas yang sedang meletup-letup di atas kompor. Lalu ia lempar ke wajah anak perempuan Pak Am, yang ketika itu masih remaja. Terjadilah kecelakaan itu. Mengetahui anak perempuan satu-satuya menjadi cacat, Pak Am murka. Esok paginya, si Mutih tergeletak tidak bernyawa di emperan toko sembako di pasar pagi. Kepala dan tubuhnya penuh darah seperti habis dipukul oleh benda tumpul. Saat itu juga, Pak Am diseret oleh polisi dari rumahnya karena beberapa preman pasar sempat melihat kejadian ketika Pak Am memukul si Mutih dengan balok kayu.
"Saya hanya ingin mengetahui kabar anak-anak dan rumah. Besok pagi-pagi sekali saya akan kembali ke penjara. Mereka sudah hampir tujuh tahun tidak pernah mengunjungi saya setelah ibu mereka meninggal. Mungkin mereka malu ayahnya masuk penjara karena membunuh orang gila. Jika si Mutih tidak bikin cacat Aru, saya pasti tidak akan marah kepadanya. Tapi saya tidak tahan, setan dalam kepala saya lebih besar."
Aku melirik ke dalam bilik, memastikan Lisa, anakku yang masih kecil, dan Giska, istriku, masih tertidur pulas. Sambil menutupi rasa cemas dan takut yang muncul sejak melihat Pak Am datang, aku tidak henti-hentinya berzikir dalam hati. Tentu saja aku takut dan berhati-hati karena di hadapanku duduk seorang laki-laki yang sudah membunuh orang. Sekarang Pak Am sedang menceritakan bagaimana ia bisa membunuh si Mutih. Membunuh orang gila sama berdosa dan biadabnya dengan membunuh orang paling waras sekalipun. Bahkan Pak Am sudah lebih gila daripada si Mutih. Lagi pula sekarang anak perempuan Pak Am, si Aru, sudah bahagia. Siapa yang bisa menyangka bagaimana nasib seseorang?
Bunyi gonggongan anjing membuat pembicaraan dengan Pak Am semakin mencekam. Laki-laki itu melirik ke sana-kemari. Kedua tanganku saling menggenggam. Ketakutan dan kehati-hatian itu kutahan sejadinya. Walaupun Pak Am membunuh orang, aku tahu Pak Am orang baik. Sejak kanak-kanak aku sudah bertetangga dengannya. Tapi, karena satu peristiwa, semua berubah. Pak Am yang dulu selalu disegani warga sekitar,sekarang menjadi orang yang paling ditakuti. Orang-orang bahkan masih membicarakan betapa sadisnya Pak Am menghabisi si Mutih.
Aku sempat berkeinginan untuk tidak membukakan pintu, tapi tiba-tiba aku ingat kata ibu soal peristiwa pembunuhan si Mutih. Ketika itu terjadi, ibu masih tinggal di sini, jadi kami masih sering mengobrol. Sewaktu itu, kata ibu, Pak Am melakukan hal keji tersebut hanya karena perasaan sayangnya kepada Aru. Pak Am pasti punya banyak harapan dan cita-cita untuk Aru. Apalagi dia anak perempuan satu-satunya. Tapi, gara-gara ulah si Mutih, semua itu seperti sirna seketika. Si Mutih membuat mata Aru buta permanen. Orang tua mana pun pasti marah, bahkan kalap. Hanya, sayangnya, Pak Am memilih cara yang salah untuk menghukum si Mutih yang gila. Orang yang terlampau baik terkadang sangat gampang melewati batas. Begitulah ibu menjelaskan kejadian pembunuhan si Mutih. Sehingga terbit rasa kasihan dan aku memilih memberikan sebentar ruang yang nyaman kepada Pak Am.
"Sekarang kamu sudah banyak berubah nampaknya. Sudah berkeluarga," ucap Pak Am sembari melirik foto keluargaku yang terpaku di dinding.
"Alhamdulillah, Pak Am."
Aku menunduk berlagak malu-malu sembari memperhatikan gerak-gerik Pak Am yang sedang meneguk pelan larutan teh manis hangatnya.
"Berapa sekarang umur anakmu?"
Perasaan menegangkan merayap. Hatiku semakin waswas. Diam-diam tangan kiriku mulai menyentuh patung kucing yang terbuat dari kayu padat setinggi lutut orang dewasa yang berdiri tepat di samping kursiku. Aku berpikir sejenak, bukan karena lupa pada umur Lisa, tapi karena gerak-gerik Pak Am mulai sangat mencurigakan. Ia jadi sering melirik ke arah bilik tempat Lisa dan ibunya tidur. Mereka berdua tak tahu ada tamu tidak diundang sedang bertandang ke rumah. Mereka sudah tidur sejak pukul sembilan. Aku hanya kebetulan masih terjaga karena ingin menonton bola. Tangan kiriku mulai memegang kuat-kuat patung kucing tersebut. Aku yakin Pak Am tidak tahu bahwa aku sedang bersiap-siap hendak memukul kepalanya jika ia macam-macam dengan anak dan istriku.
"Dua tahun, Pak Am," jawabku singkat.
"Ibumu ke mana?"
"Ibu menemani ante Ros di kampung, Pak Am."
"Kakak ibumu ‘kan?"
"Iya, Pak Am."
Tiba-tiba Pak Am melirik ke arah televisi yang dari tadi menyala tapi dengan volume kecil. Aku pun ikut melirik layar televisi tersebut. Ternyata acara yang kutunggu-tunggu akhirnya dimulai. Pertandingan bola. Aku menelan ludah seketika saat melihat reaksi Pak Am. Nampaknya ia mulai betah di rumahku.
"Wah, acara bagus. Saya sudah lama tidak begitu menikmati acara bola. Di penjara, satu televisi ditonton puluhan orang. Rentan berseteru dan sangat tidak nyaman," ujar Pak Am.
Saat menonton pertandingan bola, aku pelan-pelan mulai mencoba menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada rumah Pak Am. Laki-laki tua itu tampak tenang mendengar ceritaku soal anak-anak dan rumahnya. Tapi, terakhir, ketika aku menceritakan si anak bungsunya, kulihat sepasang matanya yang warna hitam pupilnya sudah mulai pudar itu basah dan bibirnya mulai mencibir, menahan tangis. Aku pun terdiam sembari menguatkan pegangan tangan kiri pada patung kucing. Malam sudah beranjak. Sudah pukul tiga pagi dan kokok ayam sudah terdengar sahut-menyahut.
"Ayah, Lisa mau pipis."
Aku terkejut, tiba-tiba Lisa sudah berdiri di depan kamar. Kulirik Pak Am dan kupegang patung kucing itu kuat-kuat. Mendadak pikiranku kacau. Jika aku menemani Lisa ke kamar mandi, istriku yang ada di dalam kamar tidak ada yang menjaga. Aku tidak ingin meninggalkannya berdua dengan Pak Am. Tapi Lisa belum bisa ke kamar mandi sendirian. Apalagi kamar mandi kami letaknya di luar rumah dan harus melewati dapur. Aku juga takut menyuruh Lisa pergi sendirian ke sana.
"Ayah, Lisa mau pipis," ucap Lisa sekali lagi.
Aku melihat Lisa dan Pak Am secara bergantian. Tampaknya Pak Am mulai gelisah. Ia seperti hendak bersiap-siap berdiri. Kupegang patung kucing itu lebih kuat dan bersiap untuk mengangkatnya.
"Kalau begitu, saya permisi dulu, Nak Herman. Saya ingin mengunjungi istri saya dulu ke kuburan. Nanti, jika matahari sudah tinggi, saya akan kembali ke penjara. Jika ada polisi yang bertanya perihal saya, beri tahu saja saya ada di mana. Biar saya tidak perlu susah-susah mencari tumpangan ke penjara."
"Lho, Pak Am? Apa tidak istirahat dulu?" tanyaku berbasa-basi.
"Ini sudah lebih dari cukup. Saya bisa menikmati segelas teh manis hangat sambil menonton bola dan mendengar cerita soal rumah serta anak-anak saya. Itu sudah lebih dari cukup. Saya kabur dari penjara hanya untuk mengecek rumah dan keadaan anak-anak."
"Oh, iya, ini ada sedikit rezeki yang saya kumpulkan di penjara dari hasil membuat anyaman. Rencananya tadi saya ingin kasih ke si bungsu, tapi ternyata dia tidak ada. Mana tahu Nak Herman sedang membutuhkan."
Pak Am menyodorkan gulungan uang kertas ke tanganku. Aku terkejut. Hal seperti ini tidak pernah aku prediksi. Kutolak uang tersebut cepat-cepat karena aku merasa tidak pantas menerimanya. Tapi Pak Am sepertinya memaksa.
"Ambillah, Nak Herman. Biar saya tenang. Biar rasa kecewa saya tidak bisa bertemu anak-anak sedikit berkurang. Ini uang halal dari hasil menganyam."
"Maaf, Pak Am. Saya sungguh tidak pantas menerimanya."
Tiba-tiba aku kembali teringat kata-kata ibu bahwa orang yang terlalu baik kadang-kadang sangat gampang melakukan sesuatu di luar batas. Maka, dengan terpaksa aku menerima uang tersebut. Daripada dia tersinggung dan terjadi sesuatu. Aku pun langsung mengucapkan terima kasih kepada Pak Am.
"Saya yang seharusnya berterima kasih karena Nak Herman mau menerima saya bertamu. Mau bercerita soal keluarga saya. Terima kasih, Nak Herman. Semoga kamu dan keluargamu sehat selalu dan hidup rukun. Terima kasih sekali lagi," ujar Pak Am sembari melangkah mundur dan berbalik pergi melewati pintu rumah dan menjauh dari pagar, lalu hilang di antara kegelapan.
"Ayah, patung kucingnya kenapa?" pertanyaan Lisa membuat kesadaranku kembali sepenuhnya. Langsung kulirik patung kucing setinggi lutut orang dewasa itu. Ternyata aku tidak sadar sudah membawanya dari tadi. Bahkan membawanya saat pergi mengantar Pak Am ke luar.
"Ayah, siapa kakek tadi?"
Tiba-tiba aku merinding dan ketegangan memenuhi pikiran. Kuletakkan patung kucing tersebut di atas meja dan melihat Lisa. Pertanyaan Lisa sangat sulit kujawab. Seketika kembali kuingat kata-kata ibu bahwa orang yang terlalu baik, kadang-kadang sangat gampang melakukan sesuatu di luar batas. Sekarang aku mulai takut pada diriku sendiri.
Ujung Gurun,
9 Mei 2017
Jeni Fitriasha, beberapa cerpennya dimuat di sejumlah media massa. Sekarang tinggal di Padang. Buku kumpulan cerpennya, Seseorang yang Keluar dari Perutnya, diterbitkan oleh Penerbit Basabasi (2017)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo