Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Rumus-Rumus Di Balik Almanak Bekas

Seorang pelajar yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, muncul dalam acara kuis TVRI sebagai mistery guest, & berhasil mendapat hadiah tv berwarna.

11 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KULITNYA kuning bersih. Tingginya 160 cm. Rambut lurus, tebal menutupi telinga. Seperti anak-anak muda masa kini, kalau sedang bicara tangannya ikut sibuk menyingkapkan rambut yang sebentar-sebentar menutupi mata. Bila sedang mengenakan pakaian seragam sekolah putih dan abu-abu, serta sepatu kulit hitam, ia tak berbeda dengan anak-anak SLA yang lain. Dia -- Muhammad Ateng -- 21 tahun Minggu malam, 28 September lalu muncul dalam acara kuis TVRI sebagai misteri guest. Dengan pakaian rapi dan sebuah tas kain ia tampil dengan identitas seorang pelajar. Keempat panelis (penebak) malam itu gagal menebak apa profesi Ateng selain sebagai pelajar. Dan dia berhasil membawa pulang sebuah teve berwarna 14 inci sebagai hadiah. Siapakah Muhammad Ateng sehenarnya? Ia memang pelajar kelas 3 Paspal di SMA 17 Agustus Bogor. Kelahirdn Darmaraja, Sumedang --anak keempat dari lima bersaudara yang tak berada. Bapaknya meninggal ketika ia masih di kelas 4 SD. Masa kecilnya hanya dilindungi oleh seorang ibu yang bekerja sebagai buruh tani. Tapi ia berhasil menamatkan SD. Pada usia 12 tahun, Ateng bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada keluarga Machful -- pensiunan pegawai Jawatan Gedung-Gedung di Kodya Bogor. Tetapi semangatnya untuk meneruskan sekolah amat besar. Dengan persetan dari keluarga Machful, Ateng kemudian bekerja sambil bersekolah. "Guruguru saya di SD dulu sering mengatakan kalau orang bodoh itu, tidak akan bisa mengubah nasibnya," kata Ateng pada TEMPO. "Jadi saya ingin jadi orang pintar, ingin mengangkat derajat hidup kakak dan adik-adik saya." Pertemuan Ateng dengan majikannya basraikan sebuah cerita pendek. Waktu itu, ia baru saja tamat SD. Hampir putus asa karena tak tahu bagaimana agar dapat melanjutkan sekolah Seorang kakaknya yang bekerja sebagai tukang becak kemudian menyeret Ateng ke Bogor untuk menjadi pembantu rumah tangga. Kebetulan yang menerima adalah salah seorang langganan becak kakaknya, Pak Machful. Dan majikan ini serta merta melihat Ateng, langsung menawarkan untuk meneruskan sekolah. Maka jadilah Ateng pelajar SMP 17 Agustus Bogor seak saat itu. Hanya 2 tahun. Ateng kemudian pindah ke Jakarta mengikuti induk semangnya. Tapi di ibukota ia sempat juga menyelesaikan SMP. Tahun berikutnya ia tak giat di bangku sekolah, tapi mengikuti kursus montir dan mengetik -- atas suruhan majikannya. Kesempatan itu tak disia-siakan. Ateng masih menyimpan ijazah kursus-kursus itu sampai seli arang. Dengan keahlian mengetik dan jadi montir, sebenarnya Ateng sudah bisa melepaskan predikat pembantu rumah tangga. Tapi cita-citanya ternyata lebih panjang. "Saya ingin terus dan terus sekolah," katanya, "kebetulan Ibu (nyonya rumah) masih bersedia membiayai saya. " Dan kesempatan itu segera didapatnya, setelah majikannya kembali ke Bogor. Di situ ia memasuki SMA 17 Agustus sampai sekarang. Kelak ia ingin melanjutkan ke IPB. Ia optimistis. "Rapornya selalu bagus, paling rendah nilainya, 7," kata Nyonya Machful. Ateng sangat berdisiplin mengatur waktu. Sejak subuh ia sudah terjaga, langsung menanak air dani nasi. Sambil menunggu masakannya beres, ia menghafal pelajaran. Sekitar pukul 6 pagi, ia sudah menyiapkan kopi, teh dan sarapan pagi. Langsung membereskan cucian selama satu jam -- satu jam, tidak boleh lebih. "Soalnya kalau lebih dari sejam, pekerjaan saya yang lain bisa telantar." ujarnya. Sesudah itu ia mulai nyapu, ngepel kira-kira setengah jam. Pukul 9 ia sudah kelihatan sibuk di dapur untuk masak. Selesai masak, kemudian menyeterika. Sambil menggosok pakaian, ia menghafal segala rumus yang harus dikuasainya dengan menuliskan rumus-rumus itu di balik almanak bekas yang digantungkan di tembok. Ya, hanya itulah saat-saatnya untuk belajar. P3RT Pukul 12 siang, seluruh kegiatannya selesai. Lalu mandi dan bersiap-siap ke sekolah. Pulang sekolah pukul 18.30. Tidak bisa istirahat, langsung menyiapkan makan malam. Malam hari Ateng mengaku tak punya kesempatan menghafal. "Saya selalu berusaha untuk tidur paling lambat pukul 10, karena badan saya memang capek sekali," tuturnya. Ia tidak pernah nonton bioskop atau jalan-jalan tanpa tujuan. Pada mulanya hampir tak ada teman-teman sekolah Ateng yang tahu, bahwa ia seorang pembantu rumah tangga. " Tapi sekarang, mereka sudah tahu semua," katanya. Akibatnya juga ada. "Beberapa teman menyindir, seakan-akan mereka kecewa sekelas dengan pembantu," katanya lebih lanjut. Menurut Ateng, langka sekali anak-anak dari keluarga berada yang mau bergaul atau berteman dengan pembantu. "Masyarakat menganggap status pembantu itu adalah status paling bawah. Saya merasakan anggapan itu," kata Ateng. "Saya sendiri di kampung ini tidak punya teman selain pembantu-pembantu di sini." "Ateng sebenarnya sudah kami anggap sebagai anak angkat, sama sekali kami tidak menganggapnya sebagai pembantu," kata Nyonya Machful. Pemuda itu juga mengiyakan. "Memang saya tidak diperlakukan seperti pembantu di rumah ini, tapi walau bagaimana pun saya tetap merasa sebagai pembantu. Kata orang 'kan anak ikan mujair tetap saja anak ikan mujair, tidak mungkin jadi anak ikan gurami," kata anak muda itu. Di samping sibuk bersekolah dan tugas sehari-hari di rumah keluarga Machful, Ateng mendirikan sebuah organisasi. Namanya Persatuan Pemuda Pembantu Rumah Tangga -- disingkat P3RT. Anggotanya 17 orang laki-perempuan -- dari kawasan Panaragan tempat kediaman keluarga semangnya di Bogor. Ide mendirikan organisasi itu tentu untuk kebutuhan praktis, pada mulanya untuk pembayaran rekenin listrik. Seringkali Ateng menunggu terlalu lama di loket PLN sebelum rekening bisa dibayar, "Kadang-kadang sampai 3 jam kami baru dipanggil," ujarnya. Ini berarti pemborosan waktu. Ia mulai pikir-pikir: apa tidak mungkin membayar rekening diwakilkan saja. "Setelah saya tanya-tanya, ternyata bisa," katanya. Lalu Ateng mengumpulkan rekan-rekannya sesama pembantu yang mau tolong-menolong, agar pembayaran rekening-rekening listrik dilakukan oleh salah seorang di antara mereka secara bergiliran. P3RT kemudian berkembang menjadi sebuah organisasi yang punya program pendidikan. Misalnya memberikan kursus montir, memasak, bikin kue, menjahit dan baik menyekolahkan anggotanya ke sekolah umum. Sementara ini para anggota hanya membayar iuran Rp 100 perbulan. "Maklum pembantu di Bogor gajinya kecil. Padahal tadinya rencana saya dari iuran itulah program-program akan dibiayai," kata Ateng. Lima dari 17 orang anggota P3RT juga bersekolah seperti Ateng. Sampai sekarang program-program P3RT terhambat. "Majikan teman-teman saya kelihatannya takut kalau pekerjaan pembantu mereka terhambat," kata Ateng. Misalnya saja ide gotonng royong membayar rekening listrik masih juga belum dipaham oleh semua majikan. "Mereka mungkin khawatir uang itu dibawa lari," kata Ateng. Tapi pemuda ini tidak kehabisan akal. Untuk menghilangakan kecurigaan itu, rekening listrik dibayar dulu dengan duit organisasi. "Mungkin dengan begitu lama-lama mereka akan mempercayai kami," kata Ateng. Mendapat Bea Siswa Ateng mengaku pernah belajar organisasi dari siapa pun. "Sebetulnya saya sendiri juga ingin aktif dalam organisasi pcnluda, tapi tidak p-rnah diajak. Saya merasa iri juga pada KNPI, saya ini kan pemuda juga seperti yang lainnya, kok tidak pernah diajak dalam kegiatan," keluhnya. Harapannya sekarang adalah mencari lembaga yang bisa membantu memberikan dana, agar ia memiliki alat-alat untuk melancarkan program P3RT. Misalnya pelajaran memperbaiki mobil dan motor. Ia juga berniat mengirimkan surat pada Departemen P&K untuk minta beasiswa buat teman-temannya yang masih bersekolah. "Barangkali dapat, katanya, "sebab saya tahu banyak juga beasiswa sekarang ini -- tapi yang mendapatkannya aaalah anak-anak orang berada juga." Ateng sendiri mengaku mendapat beasiswa dari pabrik hanya Good Year sebesar Rp 4.250 per bulan uutuk melunasi SPP-nya. Ditanya bagaimana sampai ia bisa nyelonong ke layar teve, Ateng, langsung menerangkan bahwa itu semua atas permintaannya. Satu ketika seusai mengikuti acara kuis, ia menulis surat yang antara lah- berbunyi, ". . . kalau selama ini yang muncul dalam acara kuis aneka biasanya bintang-bintang film atau orang-orang terkenal, apa mungkin anggota masyarakat dari golongan paling bawah juga bisa mengikutinya? Kalau mungkin saya bersedia untuk tampil. "Tak dinyana permohonannya diterima, Bahkan Ani Sumadi sendiri yang datang. Cerita tentang Ateng mungkin masih akan panjang. Tapi sebagian sukses Ateng adalah berkat bantuan dan dorongan keluarga Machful. Nyonya Machful mengaku belakangan ini ikut sibuk melayani undangan untuk memberikan ceramah: bagaimana menjadi induk semang yang baik sehingga pembantunya beres bekerja di rumah dan beres juga pelajaran sekolahnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus