KULITNYA kuning bersih. Tingginya 160 cm. Rambut lurus, tebal
menutupi telinga. Seperti anak-anak muda masa kini, kalau sedang
bicara tangannya ikut sibuk menyingkapkan rambut yang
sebentar-sebentar menutupi mata. Bila sedang mengenakan pakaian
seragam sekolah putih dan abu-abu, serta sepatu kulit hitam, ia
tak berbeda dengan anak-anak SLA yang lain.
Dia -- Muhammad Ateng -- 21 tahun Minggu malam, 28 September
lalu muncul dalam acara kuis TVRI sebagai misteri guest. Dengan
pakaian rapi dan sebuah tas kain ia tampil dengan identitas
seorang pelajar. Keempat panelis (penebak) malam itu gagal
menebak apa profesi Ateng selain sebagai pelajar. Dan dia
berhasil membawa pulang sebuah teve berwarna 14 inci sebagai
hadiah.
Siapakah Muhammad Ateng sehenarnya? Ia memang pelajar kelas 3
Paspal di SMA 17 Agustus Bogor. Kelahirdn Darmaraja, Sumedang
--anak keempat dari lima bersaudara yang tak berada. Bapaknya
meninggal ketika ia masih di kelas 4 SD. Masa kecilnya hanya
dilindungi oleh seorang ibu yang bekerja sebagai buruh tani.
Tapi ia berhasil menamatkan SD.
Pada usia 12 tahun, Ateng bekerja sebagai pembantu rumah tangga
pada keluarga Machful -- pensiunan pegawai Jawatan Gedung-Gedung
di Kodya Bogor. Tetapi semangatnya untuk meneruskan sekolah
amat besar. Dengan persetan dari keluarga Machful, Ateng
kemudian bekerja sambil bersekolah. "Guruguru saya di SD dulu
sering mengatakan kalau orang bodoh itu, tidak akan bisa
mengubah nasibnya," kata Ateng pada TEMPO. "Jadi saya ingin
jadi orang pintar, ingin mengangkat derajat hidup kakak dan
adik-adik saya."
Pertemuan Ateng dengan majikannya basraikan sebuah cerita
pendek. Waktu itu, ia baru saja tamat SD. Hampir putus asa
karena tak tahu bagaimana agar dapat melanjutkan sekolah Seorang
kakaknya yang bekerja sebagai tukang becak kemudian menyeret
Ateng ke Bogor untuk menjadi pembantu rumah tangga. Kebetulan
yang menerima adalah salah seorang langganan becak kakaknya, Pak
Machful. Dan majikan ini serta merta melihat Ateng, langsung
menawarkan untuk meneruskan sekolah. Maka jadilah Ateng pelajar
SMP 17 Agustus Bogor seak saat itu.
Hanya 2 tahun. Ateng kemudian pindah ke Jakarta mengikuti induk
semangnya. Tapi di ibukota ia sempat juga menyelesaikan SMP.
Tahun berikutnya ia tak giat di bangku sekolah, tapi mengikuti
kursus montir dan mengetik -- atas suruhan majikannya.
Kesempatan itu tak disia-siakan. Ateng masih menyimpan ijazah
kursus-kursus itu sampai seli arang.
Dengan keahlian mengetik dan jadi montir, sebenarnya Ateng sudah
bisa melepaskan predikat pembantu rumah tangga. Tapi
cita-citanya ternyata lebih panjang. "Saya ingin terus dan terus
sekolah," katanya, "kebetulan Ibu (nyonya rumah) masih bersedia
membiayai saya. "
Dan kesempatan itu segera didapatnya, setelah majikannya kembali
ke Bogor. Di situ ia memasuki SMA 17 Agustus sampai sekarang.
Kelak ia ingin melanjutkan ke IPB. Ia optimistis. "Rapornya
selalu bagus, paling rendah nilainya, 7," kata Nyonya Machful.
Ateng sangat berdisiplin mengatur waktu. Sejak subuh ia sudah
terjaga, langsung menanak air dani nasi. Sambil menunggu
masakannya beres, ia menghafal pelajaran. Sekitar pukul 6 pagi,
ia sudah menyiapkan kopi, teh dan sarapan pagi. Langsung
membereskan cucian selama satu jam -- satu jam, tidak boleh
lebih. "Soalnya kalau lebih dari sejam, pekerjaan saya yang lain
bisa telantar." ujarnya.
Sesudah itu ia mulai nyapu, ngepel kira-kira setengah jam. Pukul
9 ia sudah kelihatan sibuk di dapur untuk masak. Selesai masak,
kemudian menyeterika.
Sambil menggosok pakaian, ia menghafal segala rumus yang harus
dikuasainya dengan menuliskan rumus-rumus itu di balik almanak
bekas yang digantungkan di tembok. Ya, hanya itulah
saat-saatnya untuk belajar.
P3RT
Pukul 12 siang, seluruh kegiatannya selesai. Lalu mandi dan
bersiap-siap ke sekolah. Pulang sekolah pukul 18.30. Tidak bisa
istirahat, langsung menyiapkan makan malam. Malam hari Ateng
mengaku tak punya kesempatan menghafal. "Saya selalu berusaha
untuk tidur paling lambat pukul 10, karena badan saya memang
capek sekali," tuturnya.
Ia tidak pernah nonton bioskop atau jalan-jalan tanpa tujuan.
Pada mulanya hampir tak ada teman-teman sekolah Ateng yang tahu,
bahwa ia seorang pembantu rumah tangga. " Tapi sekarang, mereka
sudah tahu semua," katanya. Akibatnya juga ada. "Beberapa teman
menyindir, seakan-akan mereka kecewa sekelas dengan pembantu,"
katanya lebih lanjut. Menurut Ateng, langka sekali anak-anak
dari keluarga berada yang mau bergaul atau berteman dengan
pembantu. "Masyarakat menganggap status pembantu itu adalah
status paling bawah. Saya merasakan anggapan itu," kata Ateng.
"Saya sendiri di kampung ini tidak punya teman selain
pembantu-pembantu di sini."
"Ateng sebenarnya sudah kami anggap sebagai anak angkat, sama
sekali kami tidak menganggapnya sebagai pembantu," kata Nyonya
Machful. Pemuda itu juga mengiyakan. "Memang saya tidak
diperlakukan seperti pembantu di rumah ini, tapi walau bagaimana
pun saya tetap merasa sebagai pembantu. Kata orang 'kan anak
ikan mujair tetap saja anak ikan mujair, tidak mungkin jadi anak
ikan gurami," kata anak muda itu.
Di samping sibuk bersekolah dan tugas sehari-hari di rumah
keluarga Machful, Ateng mendirikan sebuah organisasi. Namanya
Persatuan Pemuda Pembantu Rumah Tangga -- disingkat P3RT.
Anggotanya 17 orang laki-perempuan -- dari kawasan Panaragan
tempat kediaman keluarga semangnya di Bogor.
Ide mendirikan organisasi itu tentu untuk kebutuhan praktis,
pada mulanya untuk pembayaran rekenin listrik. Seringkali Ateng
menunggu terlalu lama di loket PLN sebelum rekening bisa
dibayar, "Kadang-kadang sampai 3 jam kami baru dipanggil,"
ujarnya. Ini berarti pemborosan waktu. Ia mulai pikir-pikir: apa
tidak mungkin membayar rekening diwakilkan saja. "Setelah saya
tanya-tanya, ternyata bisa," katanya. Lalu Ateng mengumpulkan
rekan-rekannya sesama pembantu yang mau tolong-menolong, agar
pembayaran rekening-rekening listrik dilakukan oleh salah
seorang di antara mereka secara bergiliran.
P3RT kemudian berkembang menjadi sebuah organisasi yang punya
program pendidikan. Misalnya memberikan kursus montir, memasak,
bikin kue, menjahit dan baik menyekolahkan anggotanya ke
sekolah umum. Sementara ini para anggota hanya membayar iuran Rp
100 perbulan. "Maklum pembantu di Bogor gajinya kecil. Padahal
tadinya rencana saya dari iuran itulah program-program akan
dibiayai," kata Ateng. Lima dari 17 orang anggota P3RT juga
bersekolah seperti Ateng.
Sampai sekarang program-program P3RT terhambat. "Majikan
teman-teman saya kelihatannya takut kalau pekerjaan pembantu
mereka terhambat," kata Ateng. Misalnya saja ide gotonng royong
membayar rekening listrik masih juga belum dipaham oleh semua
majikan. "Mereka mungkin khawatir uang itu dibawa lari," kata
Ateng. Tapi pemuda ini tidak kehabisan akal. Untuk
menghilangakan kecurigaan itu, rekening listrik dibayar dulu
dengan duit organisasi. "Mungkin dengan begitu lama-lama
mereka akan mempercayai kami," kata Ateng.
Mendapat Bea Siswa
Ateng mengaku pernah belajar organisasi dari siapa pun.
"Sebetulnya saya sendiri juga ingin aktif dalam organisasi
pcnluda, tapi tidak p-rnah diajak. Saya merasa iri juga pada
KNPI, saya ini kan pemuda juga seperti yang lainnya, kok
tidak pernah diajak dalam kegiatan," keluhnya.
Harapannya sekarang adalah mencari lembaga yang bisa membantu
memberikan dana, agar ia memiliki alat-alat untuk melancarkan
program P3RT. Misalnya pelajaran memperbaiki mobil dan motor.
Ia juga berniat mengirimkan surat pada Departemen P&K untuk
minta beasiswa buat teman-temannya yang masih bersekolah.
"Barangkali dapat, katanya, "sebab saya tahu banyak juga
beasiswa sekarang ini -- tapi yang mendapatkannya aaalah
anak-anak orang berada juga." Ateng sendiri mengaku mendapat
beasiswa dari pabrik hanya Good Year sebesar Rp 4.250 per bulan
uutuk melunasi SPP-nya.
Ditanya bagaimana sampai ia bisa nyelonong ke layar teve, Ateng,
langsung menerangkan bahwa itu semua atas permintaannya. Satu
ketika seusai mengikuti acara kuis, ia menulis surat yang
antara lah- berbunyi, ". . . kalau selama ini yang muncul dalam
acara kuis aneka biasanya bintang-bintang film atau orang-orang
terkenal, apa mungkin anggota masyarakat dari golongan paling
bawah juga bisa mengikutinya? Kalau mungkin saya bersedia untuk
tampil.
"Tak dinyana permohonannya diterima, Bahkan Ani Sumadi sendiri
yang datang.
Cerita tentang Ateng mungkin masih akan panjang. Tapi sebagian
sukses Ateng adalah berkat bantuan dan dorongan keluarga
Machful. Nyonya Machful mengaku belakangan ini ikut sibuk
melayani undangan untuk memberikan ceramah: bagaimana menjadi
induk semang yang baik sehingga pembantunya beres bekerja di
rumah dan beres juga pelajaran sekolahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini