Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Belajar Damai dari Waiyame

Waiyame adalah satu-satunya desa di Ambon yang tidak pernah terimbas kerusuhan. Apa rahasianya?

23 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEPAT benar desa ini dinamai Waiyame, yang berarti air kehidupan. Hanya di Waiyame orang-orang masih bisa merasakan kesejukan dan ketenangan. Tiada amarah, tiada amuk. Tidak ada nyawa yang meregang karena perang. Di sini kehidupan masih berjalan wajar, mengalir tenang seperti air. Waiyame, yang berpenduduk sekitar 5.000 jiwa, merupakan satu-satunya desa di Ambon, Maluku, yang tak mempan disulut api konflik. Kedamaian bahkan bisa dirasakan di Pasar Waiyame, yang selalu ramai dikunjungi orang. Pasar sayur-mayur ini menjadi tempat berkumpul para pedagang dan pembeli, baik dari Islam maupun Kristen. Mereka bertransaksi secara normal tanpa melihat asal agama. Malah, orang-orang yang berasal dari luar Desa Waiyame pun suka berbelanja di sini. Kehidupan yang tenang itu tidak datang dari langit. Semua itu merupakan hasil upaya keras warga Desa Waiyame. Ketika kerusuhan meletup di Dusun Wailete dan Desa Hative Besar pada awal 1999 silam, para tokoh masyarakat Desa Waiyame segera cepat tanggap. Agar api konflik dari desa tetangga itu tidak menjalar ke Waiyame, mereka membentuk tim pengawas yang beranggotakan 20 orang dari tokoh muslim dan Kristen. Para pengawas—ketuanya dipilih bergantian dari Islam dan Kristen—bertugas menjaga ketenteraman desa. Mereka secara terus-menerus meyakinkan warga Waiyame agar tidak terlibat konflik. Setiap pendatang atau orang asing yang masuk ke desa ini diawasi dengan ketat. Bahkan, korban kerusuhan yang berasal dari desa ini atau dari tempat lain tidak boleh dirawat di Waiyame. Warga yang tewas karena kerusuhan pun tidak boleh dikubur di desa ini. "Semua itu untuk mencegah timbulnya dendam di antara warga," kata Sahenafi Hanafi, salah satu anggota tim pengawas. Tak cuma itu. Kebiasaan buruk yang bisa menjadi biang pertikaian juga dilarang. Warga Desa Waiyame tidak diperbolehkan menjual dan menikmati minuman keras dan narkotik. Perjudian juga tidak diizinkan. Pembuatan bom dan senjata rakitan termasuk pula kegiatan yang dilarang di desa itu. Bila ada warga yang bandel, menurut Sahenafi, ia akan diusir. "Pernah ada dua orang muslim yang membuat senjata rakitan, lalu mereka diusir dari Waiyame," kata lelaki berusia 48 tahun itu. Untuk menghindari gesekan, kendaraan umum untuk kaum muslim dan Kristen di-pisahkan. Speed boat merupakan satu-satunya angkutan yang dipakai untuk warga Desa Waiyame pergi ke Ambon dan sebaliknya. Orang tidak berani melewati jalan darat karena tidak aman. Nah, orang Islam yang mau naik speed boat berangkat dari pangkalan Belakang Kota, sementara orang Kristen berangkat dari pangkalan Gudang Arang, sekitar 200 meter saja dari pangkalan yang dipakai kaum muslim. Tak cuma perahu, pangkalan ojek di desa itu juga dibuat terpisah. Selebihnya, kehidupan di Waiyame berjalan normal. Selama kerusuhan berkobar di seantero Maluku, penduduk bekerja seperti biasa dan anak-anak bersekolah dengan tenang. Dalam dua tahun terakhir, perayaan Idul Fitri dan Natal di desa ini juga berlangsung aman. Sehari-hari, penduduk Waiyame pun melakukan kegiatan ibadah dengan tenang. Malah ada sebuah masjid dan gereja tua yang berimpitan—hanya berjarak sekitar tiga meter—tapi tidak pernah memicu konflik. Bukan berarti tidak ada provokasi sama sekali. Warga Desa Waiyame sering dituding tidak setia kawan oleh orang-orang luar yang sedang bertikai. Mereka dianggap tidak mau berjuang membela agama masing-masing. Bahkan anak Pendeta John Sahalessy, tokoh Kristen di Waiyame, sempat dianiaya oleh kelompok kecil orang tak dikenal dengan maksud untuk memancing kemarahan warga Waiyame. Sejak kerusuhan yang melibatkan masyarakat Kristen dan Islam meletup tiga tahun silam, masyarakat Maluku memang gampang terpancing isu. Insiden kecil saja bisa langsung menyulut kemarahan masyarakat. Seperti yang terjadi Selasa, 11 Desember lalu, tiba-tiba Gedung DPRD Ambon dibakar. Ini gara-gara ada kapal milik orang Kristen terbakar di dekat wilayah berpenduduk Islam. Padahal saat itu belum jelas siapa sesungguhnya yang membakar kapal. Selama ini, menurut Nasir Rahwarin, dua kelompok umat beragama tersebut sudah saling tidak percaya karena kesepakatan-kesepakatan yang pernah dibuat selalu mentah lagi. Apalagi, "Pemerintah dan aparat belum berhasil menangkap dan mengadili siapa yang sebenarnya bersalah dalam konflik di Maluku," ujar dosen Universitas Pattimura itu. Dendam memang sudah telanjur lama membara, tapi tidak ada kata terlambat untuk memadamkannya. Dan mengapa mereka tak belajar dari warga Waiyame? Bina Bektiati, Yusnita Tiakoly (Ambon)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus