Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERSAMUHAN di Balai Kartini,, Jakarta Selatan, siang itu berlangsung meriah. Jenderal Moeldoko, yang menjadi sahibulbait, tak henti menebar senyum. Apalagi melihat sejumlah tokoh, seperti mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Amien Rais, Ketua Majelis Ulama Indonesia Ma'ruf Amin, budayawan Ridwan Saidi, dan Slamet Rahardjo, bersedia mengenakan jaket loreng dan berpose dengan gerakan salam komando. "Ini awal yang baik untuk keterbukaan TNI," kata Kepala Staf Angkatan Darat itu, disambut tepuk tangan puluhan tamu yang hadir, 8 Juli lalu.
Berjejaring dan membuka diri adalah sedikit di antara sejumlah kelebihan Moeldoko. Sumber Tempo di Istana menyebutkan ini merupakan satu dari sejumlah poin penting yang melengkapi rekam jejak Jenderal Moeldoko, yang disodorkan Markas Besar TNI, Cilangkap, ke meja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pertengahan Juli lalu. Poin lain adalah soal pengalaman operasi, kemampuan teritorial, dan kepemimpinan. "Seluruh rekam jejak itu dipertimbangkan Presiden," ujar sumber Tempo di Istana.
Sebenarnya ada tiga nama yang disodorkan Cilangkap ke Presiden: Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Moeldoko, Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Ida Bagus Putu Dunia, dan Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Marsetio. Ketiganya sama-sama angkatan 1981 dan peraih Adhi Makayasa di angkatan mereka. "Siapa yang dipilih, terserah Presiden," kata Panglima Tentara Nasional Indonesia Laksamana Agus Suhartono.
Namun hanya Jenderal Moeldoko yang diajukan Yudhoyono ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam suratnya 23 Juli lalu. Di badan legislatif, 20 Agustus nanti, sang kandidat akan menjalani uji kelayakan. "Penunjukan Pak Moeldoko sudah melalui proses pertimbangan," ujar Julian Aldrin Pasha, juru bicara Presiden. Sumber Tempo di Istana menuturkan Yudhoyono meneropong Moeldoko sejak masih taruna.
Lahir di Kediri, 8 Juli 1957, karier Moeldoko melejit setelah menjadi Wakil Komandan Batalion Infanteri 202/Tajimalela, bagian dari satuan tempur khusus pengamanan Ibu Kota. Sebelumnya, Moeldoko adalah sekretaris pribadi Hendropriyono saat menjadi Panglima Kodam Jaya. Ketika HendroÂpriyono digantikan Wiranto pada 1994, Moeldoko tetap pada posisi yang sama. Saat itu, pangkat Moeldoko masih mayor. "Dia cerdas, energetik, dan teruji. Pantas kalau dia jadi KSAD dan Panglima," kata Wiranto.
Boleh jadi karena berada di kumparan "orbit" komando, karier Moeldoko terus melejit. Dia dipercaya sebagai Komandan Yonif 201/Jaya Yudha, lalu menjadi Komandan Kodim 0501 Jakarta Pusat pada 1996. Saat itu, jabatan Kepala Staf Kodam Jaya masih dipegang Yudhoyono.
Dari sana, Moeldoko dipercaya menjadi Sekretaris Pribadi Wakil KSAD dan Perwira Pembantu Madya-3 Ops PB-IV/Sospad. Sejak itu, karier anak jogoboyo dari Dusun Purwoasri, Kediri, Jawa Timur, ini melesat. Sepanjang 2010, Moeldoko mengalami tiga rotasi untuk tiga posisi penting bintang tiga: Panglima Divisi 1 Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat, Panglima Kodam XII Tanjungpura, lalu Panglima Kodam III SiliÂwangi—menggantikan Pramono Edhie Wibowo, yang menjadi Panglima Kostrad.
Kodam Tanjungpura yang dipimpinnya adalah kodam baru yang membawahkan dua wilayah: Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Khusus Kalimantan Barat, wilayah itu berhadapan langsung dengan perbatasan negara tetangga Malaysia.
Kompleksnya masalah perbatasan diangkat Moeldoko sebagai obyek penelitian untuk disertasinya di Jurusan Administrasi Universitas Indonesia (lulus 2011). Saat itu, Moeldoko sudah dimutasi ke Jakarta, sebagai Wakil Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional, sebelum akhirnya menjadi Wakil KSAD, Februari 2013.
Dikenal tegas kepada pasukannya, Moeldoko berjanji membereskan sejumlah pekerjaan rumah di TNI: dari soal disiplin prajurit yang kian merosot, kesejahteraan prajurit, modernisasi persenjataan, soliditas TNI dan Kepolisian RI, transparansi anggaran, hingga netralitas dalam pemilu. "TNI membutuhkan prajurit yang egaliter, santun, dan rendah hati," ujarnya.
Secara keseluruhan, meski baru dua bulan menjadi KSAD, Moeldoko dianggap memenuhi syarat. Sayangnya, dia tersandung tudingan menggelar operasi sajadah saat memimpin pasukan Siliwangi. "Operasi sajadah" adalah kode sandi yang dibuat Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk "mengislamkan" pengikut Ahmadiyah. Moeldoko membantah kabar tentang operasi itu. "Tidak ada operasi sajadah. Yang ada program gelar sajadah," katanya.
Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso yakin isu operasi sajadah tak akan mempengaruhi penilaian DPR tentang Jenderal Moeldoko. "Dijelaskan saja apa adanya, biar publik yang menilai," ujarnya.
Widiarsi Agustina, Ismi Damayanti, Dian Kurniati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo