Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Membaca Sastra, Menangkal Radikalisme

Psikolog mendapati karya sastra membuat pola pikir narapidana terorisme lebih terbuka. Bisa mendukung program deradikalisasi.

24 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
TAHANAN dan narapidana kasus terorisme Rumah Tahanan Salemba Cabang Markas Komando Brigade Mobil Kepolisian RI, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, mengamuk dan menyerang sipir polisi dan anggota Detasemen Khusus Antiteror pada Selasa pekan lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sekelompok peneliti dari Ikatan Psikologi Sosial atau IPS mendapati program deradikalisasi narapidana terorisme mandek karena pola pikir pelaku yang kaku.

  • Lewat serangkaian riset di Lapas Surabaya dan Makassar, peneliti membuktikan kekakuan pola pikir itu bisa dicairkan lewat bacaan sastra.

  • Penelitian ini menguatkan sejumlah riset terdahulu yang menyebutkan membaca karya sastra dapat meningkatkan kemampuan empati.

KIAN banyak program deradikalisasi yang diterapkan pemerintah terhadap para narapidana terorisme (napiter). Di antaranya mengundang ulama untuk memberikan pidato atau ceramah dan berdiskusi dengan napiter. Namun belum ada yang dapat dibilang efektif. Para napiter masih meyakini ideologi radikalisme mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kami dari Ikatan Psikologi Sosial (IPS) mencoba melakukan penelitian guna merumuskan langkah yang dapat menjadi alternatif program deradikalisasi, yakni penggunaan bacaan sastra untuk mengubah pola pikir para napiter.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Temuan dari hasil penelitian kami cukup menarik. Kami mendapati perubahan pola-pola pikir napiter yang membaca sastra, dari yang cenderung tertutup (close-minded) menjadi lebih terbuka.

Mahasiswa melakukan aksi tolak ajaran radikalisme dan terorisme di salatiga, jawa tengah. ANTARA/Aloysius Jarot Nugroho

Membaca Sastra Menurunkan Pola Pikir Kaku dan Close-minded

Perubahan pola pikir para narapidana terorisme dalam penelitian kami diukur menggunakan skala need for closure, yaitu kecenderungan individu dalam menarik suatu kesimpulan dengan cepat pada pengambilan keputusan serta sulit untuk menerima ketidakpastian.

Makin tinggi need for closure individu, mereka akan makin cepat mengambil keputusan dan tidak bisa melihat ketidakpastian yang ada. Mereka cenderung menutup berbagai pilihan saat mempertimbangkan dan menafsirkan berbagai informasi. Proses berpikir mereka tidak mampu menerima ambiguitas ataupun berbagai kemungkinan lain yang ada.

Konsep berpikir seperti inilah yang membuat individu dengan need for closure tinggi berpeluang lebih besar untuk menjadi teroris. Mereka sering menarik kesimpulan dangkal atas suatu pemahaman, atau propaganda, ditambah cara berpikir mereka yang kaku dan menolak serangkaian informasi tambahan.

Melalui skema need for closure, kami melibatkan partisipan yang merupakan napiter dari dua lembaga pemasyarakatan (lapas), yakni Lapas I Makassar di Sulawesi Selatan dan Lapas I Surabaya di Jawa Timur.

Bacaan yang kami berikan berupa cerita pendek yang mengandung unsur cerita dengan tema religiusitas, kebebasan, dan tentang situasi yang penuh ketidakpastian. Beberapa di antaranya adalah Percakapan karya Budi Darma, Misbahul karya Budi Darma, Matinya Seorang Demonstran karya Agus Noor, Pelajaran Mengarang karya Seno Gumira A., Lima Kisah Mimpi Kanak-kanak karya Gus tf Sakai, Penafsir Kebahagiaan karya Eka Kurniawan, dan Angka Kematian karya Amir Syam.

Kami membagi responden ke dalam dua kelompok berdasarkan jumlah cerpen yang dibaca, yaitu kelompok yang membaca empat cerpen dan kelompok lainnya membaca tujuh cerpen.

Hasil penelitian kami menunjukkan narapidana terorisme yang diberi bacaan sastra menunjukkan penurunan grafik need for closure. Makin banyak bacaan yang mereka baca, grafiknya makin turun. Jenis bacaan sastra dan frekuensi atau waktu membaca mereka juga mempengaruhi hasil grafik.

Dari penelitian kami, dapat ditarik kesimpulan bahwa menurunkan need for closure napiter merupakan suatu langkah alternatif untuk mengubah pola pikir para mantan teroris.

Memang rangkaian proses dan penelitian lanjutan guna membuat temuan ini lebih menjanjikan masih diperlukan. Tapi hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tahap awal untuk merumuskan program deradikalisasi yang lebih efektif.

Buku sastra rekomendasi Tempo. (foto: Dok. Tempo)

Mengapa Buku Sastra?

Sebelum kami melakukan penelitian ini terhadap narapidana terorisme, kami berangkat dari sejumlah penelitian terdahulu tentang sastra.

Bacaan dan kepribadian sebenarnya punya kaitan kuat. Saat ini sudah cukup banyak penelitian yang mencoba melihat bagaimana sastra dan perilaku manusia dapat saling berkaitan.

Sebuah penelitian psikologi yang dilakukan Emanuele Castano dari Universitas Trento bersama David Comer Kidd dari Universitas Harvard membuktikan bahwa bacaan sastra memberikan pengaruh dalam meningkatkan kemampuan berempati individu.

Ada pula beberapa penelitian psikologi lain yang mengkaji bagaimana sastra dapat mengubah kondisi psikologis seseorang, seperti penelitian yang dilakukan oleh Raymond A. Mar dari Universitas York, Inggris; serta Keith Oatley dan Maja Djikic yang keduanya berasal dari Universitas Toronto, Kanada. Sastra yang baik dianggap mampu memberi gambaran yang berfokus pada karakter manusia secara psikologis.

Sastra memberikan ruang bagi pembaca untuk membawa kesadaran psikologis tokoh ke dalam dunia nyata, melawan kehidupan yang rumit dan batin yang sulit dipahami. Secara tidak langsung, kondisi tersebut mengajak seseorang untuk memahami perasaan orang lain.

Selain itu, buku sastra dapat memberikan pengaruh signifikan terhadap need for closure. Individu yang memiliki need for closure rendah cenderung memiliki kemampuan berpikir lebih imajinatif dan tidak kaku. Kondisi ini berpotensi membebaskan seseorang yang terjerat dalam ideologi radikal.

Tantangan Sastra di Indonesia

Salah satu tantangan kita adalah budaya baca bangsa Indonesia yang rendah. Ini juga menjadi tantangan dalam upaya melawan ideologi kekerasan radikalisme sejak dini lewat karya sastra.

Sistem pendidikan kita yang hanya terpaku pada urusan kognitif juga sulit untuk berkontribusi dalam melawan kekerasan sedini mungkin. Ruang afektif yang membantu kita belajar untuk lebih imajinatif, empati, atau peduli terhadap sesama kerap terabaikan begitu saja.

Membaca sastra akan menjadi pilihan yang patut dicoba demi menumbuhkan atau membuka ruang-ruang tersebut. Di masa depan, kami berharap bisa memberikan temuan yang lebih menarik tentang bagaimana bacaan sastra mampu menjadi jawaban dari permasalahan program deradikalisasi yang ada.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Artikel ini ditulis oleh Wawan Kurniawan, peneliti di Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia. Terbit pertama kali di The Conversation.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus