Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Sebelum Nonton Film Mencuri Raden Saleh Ketahui 2 Versi Lukisan Penangkapan Diponegoro

Film Mencuri Raden Saleh meraih jutaan penonton dalam minggu awal penayangan. Tahukah Ada 2 Versi Lukisan Penangkapan Diponegoro?

5 September 2022 | 16.25 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Film Mencuri Raden Saleh meraih jutaan penonton dalam minggu awal penayangan sejak 25 Agustus lalu. Film garapan sutradara  Angga Dwimas Sasongko, ini berkisah tentang sekelompok anak muda yang mencuri lukisan “Penangkapan Diponegoro” karya Raden Saleh. Ini merupakan drama berplot heist pertama yang ditayangkan Visinema pada 2022, dibintangi Iqbaal Ramadhan, Angga Yunanda, dan Aghniny Haque.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lukisan “Penangkapan Diponegoro” dibuat Raden Saleh pada 1857. Lukisan ini menggambarkan peristiwa ditangkapnya Pangeran Diponegoro oleh Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock pada 28 Maret 1830. Karya seni berumur lebih dari 150 tahun ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya jenis benda oleh pemerintah. Tak hanya itu, “Penangkapan Diponegoro” diklaim istimewa karena merupakan lukisan sejarah pertama di Asia Tenggara beraliran Eropa, yang dilukis oleh orang Asia Tenggara, dinukil dari buku Raden Saleh: Kehidupan dan Karyanya oleh Werner Kraus.

Dua Versi Lukisan Penangkapan Diponegoro

Mengutip laman setkab.go.id, sebenarnya ada versi lain lukisan tentang peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro. Lukisan Penangkapan Diponegoro ini merupakan versi “ralat” dari lukisan karya pelukis Belanda, Nicolaas Pieneman berjudul “Penaklukan Diponegoro” yang dibuat pada 1830 hingga 1835. Lukisan Pieneman ini dibuat setelah Perang Diponegoro berakhir. Tujuan pembuatan lukisan itu sebagai catatan peristiwa penting dalam sejarah administrasi pemerintahan Hindia Belanda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah Kolonial Belanda menganggap penangkapan Pangeran Diponegoro sebagai sebuah peristiwa besar. Lantaran dalam perang yang dipimpin langsung Pangeran Diponegoro itu, sangat menguras waktu, korban, dan keuangan Hindia Belanda. Pieneman memang menonjolkan kepentingan kolonial, sehingga peristiwa dalam lukisannya mencerminkan kemenangan Hindia Belanda dan Jenderal de Kock yang dianggap sebagai pahlawan di negerinya.

Dalam lukisannya, Pieneman menggambar Jenderal De Kock dengan postur tubuh bertolak pinggang, menunjuk kereta tahanan di belakang Pangeran Diponegoro, seolah memerintahkan penahanan. Sedangkan Pangeran Diponegoro digambarkan sebagai sosok yang tidak berdaya dengan raut muka penuh kepasrahan dan kedua tangan terbentang. Para pengikut Pangeran Diponegoro juga dilukiskan seolah-olah menerima hal tersebut.

Dua dekade berselang, pelopor lukisan modern Tanah Air, Raden Saleh yang sempat tinggal di Belanda selama bertahun-tahun, kemudian membuat “lukisan balasan”. Secara sekilas, lukisan itu tampak serupa. Raden Saleh menggambar peristiwa penangkapan itu untuk menunjukkan bahwa Pangeran Diponegoro tidaklah takluk seperti yang digambarkan Pieneman. Raden Saleh, lewat lukisannya, ingin memberitahu bahwa peristiwa itu bukanlah penaklukkan. Melainkan intrik Belanda yang menipu Pangeran Diponegoro untuk berunding.

Belanda meminta gencatan senjata dan mengundang Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya. Namun yang terjadi kemudian adalah pengkhianatan oleh Belanda dan berujung penangkapan. Raden Saleh menggambar gesture Pangeran Diponegoro tengah berdiri tegak dengan dada membusung, ekspresi wajahnya tegas dengan mata menatap Jenderal de Kock. Bahasa tubuh Pangeran Diponegoro dalam lukisan Raden Saleh itu mencerminkan bahwa ia adalah seorang pejuang yang kuat, berani, dan tidak takut sedikit pun kepada petinggi Belanda.

Raden Saleh bahkan menempatkan Pangeran Diponegoro di sebelah kanan, sejajar dengan posisi de Kock. Sedangkan komandan Belanda berada di sebelah kirinya. Dalam budaya Jawa, posisi sebelah kiri merupakan sebuah simbol sebagai tempat untuk perempuan. Hal ini berarti bahwa pejabat Belanda menempati posisi kedua. Tak hanya itu, Raden Saleh juga melukis sosok pribumi yang hadir dalam peristiwa itu, memiliki raut wajah yang sama dengan Pangeran Diponegoro. Sedangkan Jenderal de Kock digambarkan sebagai sosok yang diam membisu seolah merasa malu dengan cara penangkapan tersebut.

HENDRIK KHOIRUL MUHID

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus