Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Sebuah festival yang mudah ditebak

Ffi'86 tidak lagi berhura-hura. film ibunda meraih 9 piala citra. 4 citra untuk 3 film lainnya. aktor & aktris terbaik: deddy mizwar dan tuti indra malaon. tokoh-tokoh teater berperan melahirkan film bermutu. (fl)

9 Agustus 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FESTIVAL Film Indonesia (FFI) 1986 adalah pesta film yang lain dari FFI sebelumnya. Bukan saja karena penyelenggaraannya menyimpang dari kebiasaan lama yang penuh pesta-pora, tapi juga karena para pemenangnya sudah bisa ditebak dengan hampir pasti beberapa saat setelah nominasi diumumkan. Bagi mereka yang mengamati film-film yang ikut festival, inilah pesta film yang paling tidak kontroversial. Memang. Beberapa jam sebelum pengumuman para pemenang, ketua juri, Wahyu Sihombing, yang terus merahasiakan hasil kerja tim juri, sudah mengatakan bahwa tidak akan ada surprise. "Kalian sudah bisa menduga para pemenang," kata Sihombing. Dan kebanyakan memang menduga bahwa Teguh Karya akan memborong Citra dan bahwa Deddy Mizwar bakal jadi aktor terbaik. Dugaan tidak meleset. Film Ibunda, film terbaik Teguh Karya hingga saat ini, menggondol sembilan Piala Citra (sutradara, aktris terbaik, aktris pembantu terbaik, musik terbaik, penata suara terbaik, penata artistik terbaik, penata fotografi terbaik, cerita asli terbaik, dan film terbaik) dari tiga belas Citra yang ada. Sisanya dibagi masing-masing oleh: satu untuk Kejarlah Daku Kau Kutangkap (skenario terbaik), satu untuk Arie Hanggara (pemeran pria terbaik), dan dua untuk Opera Jakarta (penyunting gambar terbaik dan aktor pembantu terbaik). Juga patut dicatat bahwa Deddy Mizwar bukan cuma aktor terbaik ia juga aktor pembantu terbaik. Inilah untuk pertama kalinya seorang aktor sekaligus memborong dua Citra yang disediakan untuk pemeran-pemeran utama dan pembantu. Tapi Deddy, yang dalam dua tahun terakhir masuk nominasi, memang orang yang dari semula dicalonkan oleh siapa saja yang menonton film-filmnya. Anak Betawi yang memulai kariernya di bidang teater ini adalah seorang aktor yang lelah berhasil membuktikan ucapan Stanislavsky, sutradara panggung Rusia terkenal, bahwa tidak ada peranan besar, tidak ada peranan kecil, yang ada cuma aktor besar atau aktor kecil. Dan Deddy selalu besar dalam peranan utama maupun hanya pembantu. Andai kata ada lebih dari satu Citra untuk pemeran pria terbaik, tidak berlebihan untuk meramalkan bahwa semuanya itu, paling tidak tahun ini, akan jatuh ke tangan Deddy. Deddy Mizwar, 31, adalah orang yang barangkali tidak terlalu terkejut mendapat Citra. Piala itu bukan macam hadiah lotre baginya. Ia telah bekerja lama untuk kemenangannya. Mulai main film di tahun 1976 -- Cinta Abadi -- sebagai pemeran utama, Deddy yang kini telah menyelesaikan 21 film masuk ke dunia seni peran lewat teater remaja sejak tahun 1970, dan melewati masa-masa subur Dewan Kesenian Jakarta yang sedang giat-giatnya mengembangkan teater di kalangan yang lebih muda lewat festival di gelanggang-gelanggang remaja. Lepas dari Sekolah Asisten Apoteker, Deddy bekerja di kantor pemerintahan DKI sembari terus berteater. "Karena capek, aku akhirnya memutuskan berhenti dari DKI dan sepenuhnya berteater," ceritanya kepada Sayadi dari TEMPO. Kemudian ia menjadi mahasiswa Institut Kesenian Jakarta, dan hingga kini masih terdaftar pada Akademi Teater jurusan penyutradaraan di situ. Di tengah gemerlapnya dunia film nasional dengan bintang-bintang yang tampan, Deddy tahu betul bahwa ia tidak begitu punya tampang. Tapi ia bukan orang pertama. Jauh sebelumnya ada Sukarno M. Noor, almarhum -- aktor pentas didikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) yang barangkali harus dicatat sebagai pelopor nontampan yang berani menerobos dunia film. Sebelum Deddy juga ada Slamet Rahardjo, aktor panggung didikan Teguh Karya yang juga membawa pembaruan, penyegaran, dan sekaligus penggondol Piala Citra. Berlainan dengan para bintang -- mereka yang cuma mengandalkan roman yang cakep, atau popularitas sebagai penyanyi, pegulat, petinju, pemain karate, dan banyak lainnya orang-orang teater ini punya cara, teknik dan tradisi artistik yang letih untuk membuat tokoh-tokoh mereka hidup sebagai yang diinginkan cerita. Untuk peranan yang tidak dikenal latar belakangnya, misalnya, Deddy mengaku menghabiskan dua atau tiga bulan untuk mempelajari sang tokoh. "Untuk peran pelukis, saya menghabiskan berlembar-lembar kertas untuk merasakan tangan pelukis. Ketika harus memainkan tokoh pembuat keramik, saya memerlukan ke Plered untuk belajar membuat keramik. Saya tinggal tiga bulan di sana," ceritanya. Tapi diakuinya juga, jarang produser yang menghargai usaha seperti itu. Pemain yang juga untuk pertama kalinya mendapatkan Citra ialah Niniek L. Karim. Aktris yang juga sarjana psikologi ini bahkan untuk pertama kalinya pula main film. Ibu dua anak ini, kendati demikian, bukan orang baru dalam dunia peran. Lahir tahun 1949 sebagai mahasiswa Fakultas Psikologi UI di tahun 1970 Niniek aktif dalam -- nah, ini juga -- kegiatan teater remaja. Dari teater remaja (ia satu angkatan dengan Deddy, jadinya), ia bergabung dengan Teater Populer pimpinan Teguh Karya. Untuk pembuaan film Ibunda, Niniek mengaku tidak melakukan latihan khusus, tapi pengalamannya dalam seni peran sudah tentu menolongnya untuk bisa melaksanakan kehendak sang sutradara yang juga orang teater. Mempersiapkan diri untuk suatu peranan, itulah barangkali hal istimewa yang diperkenalkan aktor pentas ke dalam dunia film kita akhir-akhir ini. Dan karena aktor-aktor pentas ini berangsur-angsur bisa membuktikan diri lebih potensial dalam bermain (kita ingat: Tuti Indra Malaon, pemegang Citra sebagai pemain wanita utama kali ini, barangkali aktris teater terbaik yang dipunyai tanah air) perlahan-lahan menularlah kebiasaan baik itu ke kalangan para bintang. Ada cerita tentang Rano Karno, misalnya -- yang, berbeda dari ayahnya, Sukarno M. Noor, tidak dibesarkan di dunia panggung -- yang berpayah-payah mendaki gunung. Ada kisah tentang Ray Sahetapy yang ikut latihan tinju tiga bulan untuk memainkan peranan Yoko dalam Opera Jakarta. Dan banyak lagi. Tentu saja hal-hal seperti ini harus juga dilihat sebagai akibat positif penyelenggaraan FFI yang dilakukan secara teratur. (Tanpa FFI, siapa yang memilih yang terbaik?) Akan bisakah kita mengharapkan makin meningkatnya mutu permainan para pemain film kita di masa mendatang? FFI 1986 memang lain. DiJakarta, khususnya di Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, yang paling banyak terlihat ialah kegiatan bicara -- di samping adanya layar tancap di halaman. Mula-mula ada kampanye film yang dilakukan mereka yang terlibat pada setiap film yang lolos komite seleksi. Acara yang tampaknya diadakan untuk menggantikan kegiatan pawai artis yang secara tradisional selalu ada pada setiap FFI itu tidak bisa dikatakan berhasil. "Ngecap tentang diri sendiri belum bagian dari kebudayaan kita," kata Christine Hakim. Tapi ketika tiba acara pemutaran film-film lama, disertai diskusi dengan sutradaranya, terasa ada hal yang selama ini dilupakan. Pada acara itu setiap orang boleh hadir dan bertanya. Maka, sutradara-sutradara itu dipaksa berpikir untuk menjelaskan karya-karya mereka. Dan macam-macam pikiran muncul. Yang paling mencolok, di antaranya, ialah kesan sebagian peserta bahwa film-film lama (hitam putih) umumnya lebih menyentuh daripada film-film yang dibuat dengan tata warna, layar lebar, dan peralatan yang canggih. Apakah ini karena kita sebenarnya belum lagi menguasai alat-alat itu sebagai alat ekspresi? "Ya saya kira begitulah memang," jawab Sutradara Nya Abbas Acub yang rajin ikut diskusi. Tidak semua orang film suka diskusi. Di antara mereka banyak yang mengeluh karena acara glamor dihapuskan. "Masa hanya keributan di Bandung tahun lalu harus mengubah secara total tradisi kita," keluh salah seorang. FFI di Bandung itu memang diadakan dengan amat meriah dan dengan biaya mahal. Tapi hura-hura itu nyaris saja jadi huru-hara, ketika penonton yang ingin menikmati panggung terbuka harus dihadapkan dengan polisi yang mencoba menenteramkan hadirin, antara lain dengan menggunakan anjing polisi. Sudah itu muncul pula keributan soal dana. Ada cerita korupsi, di samping ada pula keluhan mengenai terlalu banyaknya pungutan yang dilakukan panitia kepada penduduk Jawa Barat. Akibat semihuru-hara itulah maka FFI 1986 jadi amat sederhana. Juga kemudian timbul gagasan untuk menswastakan FFI seperti yang terjadi di tahun-tahun 1950-an. Suara-suara memang cukup santer, tapi melihat bahwa pemerintah masih cukup waktu dan tenaga serta dana, barangkali masih akan lama lagi lahirnya sebuah festival yang dikelola swasta. Lagi pula, dalam perekonomian seperti sekarang, ketika belum terlihat kekuatan pada orang-orang film, mungkin FFI tidak usah terlalu cepat dibebaskan dari pemerintah. Lebih penting dari itu barangkali usaha menciptakan film-film bagus, pemain dan permainan yang baik, serta juru teknik terampil yang berwawasan. Memang harus diakui bahwa kesempatan untuk membuat film yang mungkin merebut Citra cenderung hanya akan dipunyai beberapa orang. Selama ini yang paling banyak cuma Teguh Karya, Almarhum Sjumandjaja dan Arifin. Tapi jika Teguh bisa membuka kesempatan itu, seperti yang dilakukannya dengan membina sejumlah sutradara muda itu toh sudah suatu langkah yang lebih dari memadai. Akan hal Teguh, sulit untuk dibantah bahwa kemenangannya, selain karena bakat dan pengetahuan serta kerja keras, juga karena adanya grup yang dibinanya dan yang selalu bekerja bersamanya. Pengalaman membina dan bekerja dalam grup itu pun barangkali bisa disumbangkan Teguh. Dengan grup, nyatanya, Teguh bisa menghindari ketakutan Sihombing tentang akan tidak terlibatnya para awak film dalam proses kreatif (lihat Sutradara itu Babu Produser). Kelemahan dan ketidakutuhan karya kebanyakan sutradara kita pada akhirnya bersumber antara lain pada tidak adanya kerja sama yang hakiki seperti itu. Dan satu-satunya cara mengatasinya memang membentuk grup dan membuat sanggar. Di dalam sanggar yang dibina Teguh Karya, misalnya, berkumpul bukan saja mereka yang semata-mata belajar akting. Di sana juga datang macam-macam orang dengan berbagai keahlian dan latar belakang seni. Di sanggar seperti itu keterbatasan pergaulan bisa dihindari. Dan keterbatasan seperti ini, paling tidak menurut Haji Misbach Jusa Biran, Kepala Sinematek Indonesia dan salah seorang juri FFI 1986, menyebabkan sempitnya wawasan orang film. Maka, jika film-film Indonesia akhir-akhir ini kelihatan menggebrak, menurut Misbach lagi, itu karena peranan tokoh-tokoh sastra dan teater -- Teguh Karya, Arifin C. Noer, Slamet Rahardjo, Chaerul Umam, Tuti Indra Malaon, Deddy Mizwar -- yang membawa tradisi sanggar ke dunia mereka yang baru. Tapi bisakah para sutradara kita melepaskan individualisme mereka untuk masuk dalam dunia "keluarga" itu? Di tengah lemahnya modal dan carut-marutnya tata niaga film, dunia gambar hidup kita memang tidak bisa lain dari bertahan pada tingkat industri rumah tangga. Dan dengan membuat film dalam sebuah grup tetap, Teguh Karya dengan tuntas memperlakukan film sebagai betul-betul suatu industri rumah tangga. Salim Said Laporan Biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus